Pattado-tado Ulu: Di Antara Gugatan Ingatan Kolektif dan Jalan Lurus Saja
![]() |
Sumber gambar di sini |
#1
Ada tantangan yang tidak mudah
dilewati ketika melakukan kerja kreatif atas sesuatu yang tumbuh di banyak
kepala lintas generasi. Patok ini bisa menimpah siapa saja dan model kerja
kreatifnya seperti apa. Dalam film, misalnya, melakukan konstruksi ulang atas
ingatan kolektif itu tentu tak bisa memuaskan semua pihak. Seri pertama
tetralogi buru, Bumi Manusia yang
digarap Hanung Bramantyo menjadi contoh paling mutakhir yang mengundang lapisan
pembaca novel Pramoedya Ananta Toer bersuara.
Meski harus dipahami memang, kalau
metode kerja sutradara dan novelis itu berbeda. Mengingat proses semacam ini
sudah berlangsung lama. Ada pula yang mampu melewatinya dengan baik. Sisanya
berakhir di kepala masing-masing penonton.
Sejak diumumkan bakal diputar di
gedung tua di area bekas kantor PT Semen Tonasa I. Film pendek Pattado-tado Ulu telah berusaha
membangkitkan dua ingatan sekaligus. Pertama,
gedung tua yang dimaksud itu dulu memang pernah menjadi gedung bioskop yang
memutar sejumlah film Indonesia di akhir dekade 90 an. Kedua, Pattado Ulu cerita fiktif yang selalu menjadi senjata bagi
orangtua menakuti anak-anak mereka agar tidak berkeliaran di siang bolong atau
di waktu malam.
Sejauh mana cerita Patado Ulu menjadi kebenaran. Takarannya,
salah satunya, bisa dilakukan ke dalam medium seni sebagai ruang pertarungan
interpretasi. Sebagai cerita (oral) yang dituturkan orangtua atau siapa saja
dan berhasil menghentikan langkah anak-anak berkeliaran, maka pada posisi
itulah kebenarannya. Kebenaran fiksi, tentu saja.
Prakondisi cerita ini tumbuh di alam
totaliter. Minus refleksi dan referensi. Hasilnya kebudayaan bisu. Dan, itu
merupakan tujuan yang dikehendaki. Sebagai cerita yang diperuntukkan untuk
anak-anak tentu saja buruk. Kalaupun cerita ini diperuntukkan semua kelompok
usia, bayangan menggurui jelas ada. Tabiat usia dewasa selalu menekankan kuasa
pada usia di bawahnya.
Wujud mutakhir dari horor Pattado Ulu sebagai lanskap horor
kekuasaan bisa dijumpai dalam teror penembak misterius (Petrus) kadar
kebenarannya sungguh dirasakan untuk menguatkan rezim Orba. Ini proyek kerangka
sosial dalam menciptakan stabilitas. Manusia yang susah diatur atau, berpotensi
merusak kekuasaan akan dihilangkan. Konstuksi kebenaran fiksinya bisa dijumpai
di lagu Iwan Falls, Ada Lagi yang Mati
atau di sejumlah cerpen Seno Gumira Adji Darma, utamanya yang terangkum di kumcer
Saksi Mata.
Jika menyangkakan, dan itu yang banyak
dilakukan kemudian diterima sebagai satu-satunya rujukan, perihal Pattado Ulu ini pada kondisi masyarakat
ketika belum mengenal teknologi. Bila mencari di Google referensi kaitan kepala
manusia dengan konstruksi jembatan, mentok pada penjelasan berulang mengenai kesalahpahaman
yang ditangkap warga (terbelakang) dengan ahli (diasosiasikan seorang ahli dari
luar dalam hal ini para penjajah yang pernah datang. Bisa orang Belanda,
Inggris, Portugis, atau Jepang). Sekali lagi, rujukan tersebut sungguh multi
tafsir. Tetapi, jika mengacu banyaknya bangunan di nusantara (Hindia Belanda)
adalah orang Belanda yang banyak melakukan pembangunan infrastruktur.
#2
Pattado Ulu, makna literernya horor. Ada proses
bengis dalam mewujudkannya. Mata kamera di awal film berusaha membingkai itu. Dua
orang mengintai perjalanan tiga pelajar yang akan melakukan kerja kelompok di
rumah temannya. Dialog pelajar menjelaskan Pattado
Ulu yang menjadi pengantar pertama bagi penonton.
Selanjutnya, adegan komikal
diperagakan Si Pattado Ulu. Saya melihat
ada dua tujuan. Pertama, pelaku Pattado Ulu ingin dikembalikan sebagai
ulah manusia dengan segala keterbatasannya dan bukan sebagai kekuatan magis
yang tidak bisa dilawan atau dihindari oleh calon korban. Kedua, ini ambigu sekaligus bentuk kecelakaan. Ambiguitas menyasar
pada konsep bahwa, apakah film ini horor atau komedi. Kalau keduanya benar,
maka itu kecelakaan untuk menertawakan minimnya referensi atau gegabah
menyimpulkan di awal mengingat itu baru adegan awal.
Kembali ke asumsi awal kalau ini
merupakan ingatan kolektif. Pattado Ulu
adalah horor. Lapisan ingatan tiap generasi yang bisa saja berbeda. Namun, yang
terekam kuat dan menjadi kunci tetap mengacu pada tindakan brutal yang
ditimbulkan oleh pelaku. Tiga anak yang berlari menghindari dua orang Pattado Ulu menguatkan asumsi pertama di
atas.
Pengantar kedua didapatkan oleh Baso
yang menjelaskan teror Pattado Ulu kepada
Dinda, seorang mahasiswa yang pulang kampung. Apa boleh buat, adegan komikal
dua Pattado Ulu sebelumnya telah meruntuhkan
asumsi horor. Pada dasarnya, kita tidak bisa berdalih pada medium film pendek
atau film panjang. Durasi itu bukan batasan merelakan atau terpaksa menghindari
visual yang berguna menguatkan cerita.
Film pendek atau panjang mengandung
kualitasnya masing-masing. Upaya merayakan ingatan kolektif itu praktis tidak didapatkan
dari sangkaan utama. Tujuan mendapatkan kepala manusia untuk penguatan
konstruksi jembatan. Hal ini tentu pilihan, apakah melanjutkan cerita yang
tidak jelas itu ataukah melakukan rekonstruksi rekaan untuk mendapatkan
kebenaran fiksi.
Film ini memilih melanjutkan cerita
yang mencari hidup di benak untuk generasi tertentu. Adegan pemenggalan kepala
sebagaimana biasa ditampilkan di film bergenre gore. Penuntasan misteri Si Pattado
Ulu yang menjadi ciri genre thiller
tidak ditempuh meski, tentu saja, peluang itu sangat lapang dilakukan.
Atau paling tidak, kita bisa memiliki
jembatan ingatan lain yang dijadikan kebenaran fiksi. Misalnya, saja, ada
prakondisi jembatan selalu ambruk karena motode konstruksinya belum memakai
pendekatan teknologi. Atau linear dengan salah satu penjelasan kalau salah satu
cara membangun jembatan haruslah menggunakan semen yang kokoh, kuat, dan
terpercaya supaya itu tidak berakhir sebagai cameo iklan semata karena ini diproyeksikan sebagai film.
Sebagai produksi indie, tentu tidak
adil jika kita menuntut banyak adegan di film ini karena itu berkaitan cakupan
suprastruktur dan infrastuktur. Tetapi, sebagai hasil produksi kreatif, kita
perlu angkat topi karena mampu menggerakkan kaki-kaki untuk datang ke gedung
tua di Tonasa I di pemutaran perdananya pada 27 Agustus lalu.
Sebagai lanjutan, nonton bersama dan
diskusi karya ini menjadi pintu pembuka membicarakan beragam hal. Tidak banyak
karya insan kreatif di Pangkep yang mampu menyedot perhatian seantusias ini
(mengacu pada pemutaran perdana).
Secara umum dunia sinema di Indonesia
masih berkutat pada kuantitas penonton. Gejala ini tentu tak lepas dari logika
industri. Di titik tertentu bukanlah yang haram dilakukan. Namun, menjadi lain
jika ada produksi karya visual yang kemudian memantik dan menggerakkan orang
untuk menyaksikan.
Kita tahu bersama di Pangkep, ruang
apresiasi dan kritik karya belumlah
dianggap aset. Nonton bareng dan diskusi film ini tentulah menggembirakan dan menjadi gejala demokratis bila diupayakan terus
menerus.
_
Data Film
Judul : Pattado-tado Ulu
Sutradara : Arman Pio
Produksi : Komunitas Jalan Cerita
Pemain :
Gilang Ramada, Rifdayanti R, Akbar Subandir, Bekz M Nasir
*Disampaikan
pada nonton bareng yang digelar BEM STAI DDI Pangkep
di Aula
Kampus pada 10 September 2019.
Komentar