Lipatan Tragedi September


Apa hubungan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau dengan aksi serentak mahasiwa turun ke jalan di sejumlah kota. Bagaimana mengaitkan tindakan rasis yang dialamatkan ke mahasiswa Papua di Surabaya dengan amuk massa di Wamena dan aksi solidaritas sebelumnya di Papua.

Lalu di mana posisi DPR dan Pemerintah ketika hendak mengesahkan revisi UU KPK dan RUU KUHP. Bagaimana membaca rentetan peristiwa itu yang terjadi hampir bersamaan atau, semuanya menemukan puncaknya di September ini. Belum selesai, Ambon diguncang gempa berkekuatan 6,8 SR.

Semua peristiwa itu adalah tragedi yang datangnya begitu cepat. Menumpuk di pelupuk mata bersamaan remah peristiwa yang lain. Semuanya diakses di genggaman melaui layar gawai. Bagaikan sajian sinetron dan kita bebas mengganti saluran mana yang hendak ditonton.

Memori kita menyimpan dan melakukan seleksi peristiwa mana yang ingin diperbincangkan di meja makan atau di warung kopi yang, kira-kira, bisa mengusik kepentingan publik kita. Sebagai perbandingan, ketika gempa dan tsunami melanda Palu, emosi publik bersimpati dengan galangan dana. Tidak ada peristiwa lain yang menutupi kejadian itu. Hal berbeda ketika kini gempa di Ambon. Emosi publik masih fokus pada isu regulasi di DPR.

Apakah gempa Ambon terlupakan oleh publik. Persisnya tidak seperti itu. Hanya saja, rentetan peristiwa saling menumpuk dan menyita perhatian di satu titik. Di luar peristiwa gempa Ambon yang bersifat alamiah, meski, tentu saja, masih bisa diperdebatkan apakah gempa itu murni tidak ada keterlibatan ulah manusia dalam memperlakukan alam.

Tragedi ini menumpuk dan di antaranya akan segera terlupakan atau dilupakan. Persis ketika lipatan tragedi di tahun 1998 jika ingin mengambil perbandingan. Naiflah jika dikatakan rentetan peristiwa ini tidak berkorelasi. Muaranya bisa dipacak pada keputusan politik yang dinarasikan di pusat pemerintahan.

Kekuasaan punya modal lengkap mengacaukan korelasi peristiwa ini di balik narasi menjaga keutuhan negara. Benturan argumentasi yang tersaji menjadi berakhir menjadi tumpukan narasi kosong. Belum lama berselang debat keren Budiman Sudjamitko dengan Dandhy Laksono yang menyajikan argumentasi bernas. Eh, Dhandy malah ditangkap menyusul Ananda Badudu dengan sangkaan klise memakai regulasi yang sedari mula tidak menyehatkan proses demokrasi.

Di tempat terpisah, presiden meminta agar jangan diragukan dalam menjaga demokrasi. Tentu sulit dinalar ketika peristiwa jungkir balik ini berlangsung tidak berselang lama. Di sisi lain komitmen penyelesaian peristiwa lampau masih saja terlipat menumpuk.

Novelis Milan Kundera mengingatkan kalau perjuangan yang dilakukan di situasi banyaknya lipatan tragedi adalah melawan lupa. Tren perjuangan macam ini kemudian melahirkan varian lebih kaya dalam tuntutan. Demonstran menangkap dampak dari RUU KHUP dengan teriakan lebih sensitif dan mengoyak nalar sekaligus melahirkan komedi pada saat bersamaan. “Selangkanganku bukan urusan negara.” salah satu teriakan demonstran menjadi penguat melek dampak dari rancangan regulasi yang absurd.

Membaca rentetan peristiwa yang melahirkan lipatan tragedi di waktu yang bersamaan, barangkali saja persoalan biasa bagi negara di balik narasi lain yang sedang dibangun. Namun, bisakah itu diterima sebagai sesuatu yang wajar. Bukankah sudah horor ketika aparat membungkam demonstran dengan pentungan dan gas air mata. Sudah tidak terperikanlah ketika sudah ada demonstran yang meninggal. Apakah negara mencatat itu selaku tindakan gagal dalam mendengar.

Persoalan demokrasi adalah soal mendengar. Politik wilayahnya imajinasi, dan regulasi menuntut nalar. Lipatan tragedi di September ini menarasikan Sedarah (September berdarah) yang jadi percakapan publik. Kata kunci itu merupakan strategi merangkum ingatan agar tidak terlupakan.

Sosiolog Ariel Heryanto melalui akun Twiternya melakukan voting bagaimana tanggapan masyarakat memandang gejolak sosial sedang berlangsung. Ia menyandarkan pada rentetan peristiwa yang hampir bersamaan seperti yang disebutkan di atas. Hasilnya, warganet yang sempat mengikuti voling itu menyatukan pendapat kalau Jokowi abai pada keresahan sosial. Angkanya 58 persen. Tertinggi dari tiga pendapat yang lain.

Rekaman pendapat itu menunjukkan gejala berkebalikan sebelum Pemilu 2019. Kita patut menduga jika rentetan peristiwa memiliki kaitan dan melahirkan sebab yang lain di lain waktu sebagai bentuk penanganan situasi. Kita mengenal teori pengalihan isu dan penciptaan kondisi lain sebagai upaya menutupi yang sudah terjadi.

Hal demikian sudah menjadi praktik mengelola konflik di negara yang hendak memonopoli informasi dan mematikan saluran informasi ke publik. Pasca aksi solidaritas di Papua, keputusan yang ditempuh pemerintah justru memutus jaringan internet. Tindakan semacam itu jelas menutup ruang alternatif bersuara dan mendapati alternatif informasi.

Ingatlah, lipatan tragedi September 54 tahun lalu belumlah benar-benar sembuh. Luka itu amat perih. Muasal tragedi berdarah  di akhir September 1965 mengantar anak negeri saling mencurigai dan terjadi penghilangan nyawa.

Penyair Joko Pinurbo menuliskan: “Kepalaku disegel negara. Sejarah terkunci. Kuncinya terbuat dari lupa.” Perlawanan paling mudah dijangkau tentu saja dengan demonstrasi untuk melepas segel dan membuka lembaran sejarah baru kemudian mengingatkan. Dan, mendengar bagi penguasa adalah kuncinya.
_

Komentar

Postingan Populer