Anak, Buku, Mitos Matilda


Bookface. Salah satu buku yang digemari Dika Lentera adalah Kumcer Kisah Abrukuwah, karya Sori Siregar karena sampulnya bergambar wajah badut.

#1

Sophie Amunsend, anak berusia 14 tahun suatu hari sepulang sekolah menerima sepucuk surat bertuliskan:  kamu siapa? Pertanyaan sederhana sekaligus membingungkan.  Dalam filsafat,  mengetahui ke-aku-an merupakan esensi paling tinggi. Berat bagi seorang pelajar 14 tahun menerima teror dari pengirim surat yang tidak dikenalnya.

Menjadi pertanyaan, apakah usia memengaruhi tingkat kecerdasan anak. Ada banyak pendapat mengenai hal ini. Sejumlah penelitian membuktikan kalau kecerdasan anak erat kaitannya dengan makanan, pola asuh, lingkungan, dan faktor genetik. Ada banyak sekali referensi dan bisa diakses dengan mudah. Tinggal mencarinya di mesin pencari Google.

Upaya mendekatkan buku kepada anak menjadi pertaruhan yang terus menerus dilakukan oleh lembaga pendidikan, komunitas literasi, orangtua, juga para penulis. Tegasnya, bagaimana membiasakan anak membaca buku menjadi tugas banyak pihak. Kerja semacam itu bisa dilihat dari penerbitan buku yang, kira-kira sesuai dengan usia setiap anak. Di lembaga pendidikan seperti sekolah atau tempat kursus juga memiliki metodologi berdasarkan fase usia anak.

Di dunia nyata, anak seorang filsuf sekalipun, saya kira, tidak mengurusi begitu ketat kalau anak-anak mereka harus menelan begitu cepat bacaan berat. Selaku filsuf, tentu menyadari dengan baik fase belajar anak. Namun, tidak bisa disangsikan kalau di sekitar kita memang ada anak yang mampu berpikir melampaui usianya. Fenomena yang demikian itu tentulah mengandung prasyarat di lingkungan keluarga di mana anak bersangkutan tumbuh berkembang.

Sophie Amunsend, hanyalah tokoh fiktif yang dihidupkan Jostein Gaarder dalam novel bertema filsafat, Dunia Sophie, itu menjadi anasir kalau mempelajari filsafat tidaklah berdasarkan usia seseorang. Kebijakan bisa hadir dari anak seusia Sophie, misalnya. Seringkali memang, kita selaku orangtua tercekat dengan celetukan anak yang, sesungguhnya, itu merupakan gugatan.

Frasa: semua yang saya lakukan ini demi kebaikan anak. Ungkapan semacam ini sangatlah klise dan menutup ruang dialog antara anak dan orangtua. Lalu bagaimanakah persisnya relasi anak dan orangtua dibangun. Perlu dipahami terlebih dahulu kalau setiap keluarga mengandung kompleksitasnya masing-masing.

#2

Saat ini anak pertama saya, seorang lelaki berusia lima tahun enam bulan. Sejak sebulan lalu memiliki rutinitas bangun pagi untuk berangkat sekolah di Taman Kanak (TK) berjarak sekitar empat kilometer dari rumah. TK itu dipilih karena dekat dengan rumah neneknya. Sebelum masuk TK, jika sempat, ia akan ikut ke sekolah tempat emaknya mengajar.

Jalan yang dilalui selalu melintasi lokasi TK yang kini menjadi ruang baru tempatnya bermain dan berjumpa teman baru. Sejak mula, Dika Lentera, nama anak lelaki saya itu, sudah menetapkan pilihan jika sudah genap usia, ia ingin bersekolah di TK dekat stadion Andi Mappe, TK Pembina. Ia mengajukan alasan utama kalau papan luncur, ayunan, dan ragam permainan di depan gedung TK itu menjadi penarik baginya. Padahal, hampir semua TK memiliki media permainan serupa. Lalu mengapa cuma TK Pembina yang menjadi pilihannya. Ya, tentu saja demikian, di sepanjang perjalanan pergi dan pulang dari sekolah emaknya, TK itu dilewati dan, itu satu-satunya TK yang dikenalkan.

Meski di kompleks perumahan juga ada TK, tetapi itu tidak pernah diperlihatkan. Urusannya bisa ribet bila Dika mau masuk TK di kompleks perumahan kami. Pertama, kami ini sama-sama berangkat kerja di waktu pagi dan saya baru pulang di sore hari. Kedua, pilihan TK Pembina realistis karena emaknya sekali mendayung bisa mengantar Dika dan melanjutkan tujuannya di sekolah dasar tempatnya mengajar selaku guru honorer. Pada jam istirahat ia bisa menjemput dan membawanya pulang ke rumah neneknya atau Dika kembali ke sekolah tempat emaknya dan pulang bersamaan di jam akhir sekolah.

Rencana tersebut bukanlah tanpa persiapan. Dua tahun sebelumnya sudah disiapkan. Semua dilakukan agar selaras dengan situasi yang akan dihadapi saban hari. Anak punya kebebasan menentukan pilihan tempat bersekolah. Tetapi, tentu saja, prakondisinya diramu agar kebebasan itu berkesesuaian dengan jangkauan jelajah pola pikirnya dan situasi yang bakal dihadapi.

#3

Pada bagian pertama di atas, secara umum hendak menggambarkan relasi orangtua dan anak kaitannya proses transfer pengetahuan. Sejauh manakah kondisi sebuah keluarga menjadi lingkungan kondusif sebagai proses belajar. Situasi pertanyaan ini menyasar adanya pembentukan situasi.

Mengambil contoh anak dalam fiksi serasa menunjukkan idealitas yang menjadi utopis. Sophie Amunsend mengalami nasib yang sunyi dari kehadiran orangtua. Digambarkan ada kekuatan magis yang menuntunnya belajar menyusuri kerangka filsafat yang nyelimet.

Apakah itu ada kaitannya dengan genetika yang diturungkan dari orangtua ataukah situasi lingkungan magis yang digambarkan. Jalaluddin Rakhmat dalam buku Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak (MLC: 2006) menguraikan kerja otak dari sejumlah hasil penelitian. Ia menyimpulkan kalau pengaruh gen tidak bisa disepelekan tetapi sebatas berakhir sebagai potensi.

Ia memberikan contoh kalau seorang anak yang lahir dari ahli Matematika, misalnya, maka potensi menjadi ahli Matematika pada si Anak sangat besar. Hanya saja, jika potensi itu tidak didukung lingkungan yang memungkinkan anak mengembangkan metode maka tidak otomatis mewarisi kecerdasan dari orangtuanya.

Otak adalah inti dari segala apa yang direspons anggota tubuh melalui jaringan saraf. Dalam saraf sendiri terdiri banyak jaringan kecil atau disebut neuron. Ada juga disebut glial yang membentuk mielin. Jadi, sistem kerja otak ada banyak proses. Karena itulah semakin banyak tantangan yang dihadapi maka semakin baik respons untuk saling mengaktifkan kerja sel-sel otak.

Mengutip Christine Hohmann, ilmuwan saraf dari The Kennedy-Kriger Institute Baltimore di buku tersebut, menyebutkan kalau gen adalah batu bata yang merupakan bahan membangun otak dan lingkungan adalah arsiteknya.  

Kiriman surat yang terus menerus diterima Sophie menjadi simulasi yang menggerakkan otaknya bekerja. Sehingga pengirim surat yang tidak diketahuinya itu selanjutnya menjadi penuntun menjelajahi sejarah filsafat. Jostein Gaarder memang menjadikan novel sebagai media mendendangkan uraian filsafat dan memakai seorang anak sebagai penuntun jalan agar filsafat menjauh dari kesan asupan orang dewasa saja.

Secara tidak langsung ia ingin menunjukkan kalau mitos belajar filsafat tidak melulu orang dewasa yang berkutat di lingkungan akademis. Mengapa demikian, karena otak tidak perlu menunggu batok kepala manusia menjadi dewasa. Otak bisa bekerja demikian cepat mengetahui sesuatu asal dilatih dan diberi peluang hidup agar sel penunjang otak saling terhubung dan aktif.

Di bagian kedua di atas, sebentuk rancangan melibatkan anak diusianya yang masih belia untuk terlibat dalam pilihan. Pendekatannya behavioral dengan menunjukkan satu tempat yang nantinya dipilih sebagai lokasi sekolah. Hal Itu saya sebut proses sederhana melakukan pendekatan literasi dasar dalam hal memahami situasi. Walau, tentu saja, dalam situasi pengondisian kesadaran.

Proses belajarnya terjadi ketika melintasi jalan dan melihat bangunan sekolah dengan segala jenis permainan di halaman. Mengacu pada belajar berbasis otak, indera mata merekam dan tersimpan di memori dan terus menerus diolah menjadi kenangan terindah.

#4

Di film Kulari Ke Pantai (Miles Films: 2018). Kisah dua keluarga dengan latar berbeda terlibat dalam satu perjalanan. Tepatya, jalinan cerita dua anak dengan latar lingkungan berbeda. Sam dan Happy masih sepupu. Sam dibesarkan di lingkungan rural di Rote, NTT dan Happy hidup di lokasi urban Jakarta.

Riri Riza, sang sutradara, tidak sedang membenturkan dua kutub berbeda. Struktur kelas Sam dan Happy sama. Keduanya berada di lingkungan yang bisa disebut kelas atas. Sam, meski hidup di Rote, ia bisa mengakses jenis olahraga yang umum dijalani kelas elite. Ia terobsesi menjadi peselancar andal. Ia juga pandai berbahasa Inggris. Kedua orangtuanya tampak tidak memiliki masalah dalam berkomunikasi termasuk membicarakan hal urgen dalam menetapkan pilihan.

Sebaliknya, Happy, yang selalu berbahasa Inggris dan terperangkap dalam lingkungan pergaulannya yang sempit di kota besar. Walau tidak ada adegan eksplisit, dapat diterka kalau kedua orangtuanya mengalami gap dalam berkomunikasi. Bukan pada cara penggunaan media berbahasa melainkan perilaku yang perlahan terbangun akibat minimnya komunikasi dalam membicarakan beragam hal. Ya, situasi klise kelas elite di perkotaaan.

Salah satu kandungan yang dapat dipetik dari film bertema anak–keluarga tersebut ialah, proses pembangunan relasi antar anak sebaya, anak dengan keluarga, dan anak dengan pengenalan lingkungan (pemahaman).

Status dua anak dalam film tersebut sudah melewati literasi dasar terkait pengenalan huruf karena sudah pandai baca tulis, malah, kedua anak nampak ideal selaku anak generasi Z. Hal menarik dapat dilihat dari media pembelajaran dalam meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan di sekitar untuk urusan hubungan antar manusia. Sam dan Happy terlibat dalam perjalanan dan menemukan hal-hal yang tidak diduga.

Membantu seorang anak di pedesaan yang menderita usus buntu untuk ke rumah sakit agar segera dioperasi. Konflik di antara mereka dilupakan untuk kepentingan kemanusiaan. Sebuah contoh menarik dalam mengenalkan empati kepada dua anak beda kutub.

Film dan perjalanan adalah media yang mengasyikan. Namun, kedua media tak bisa disapuratakan kepada setiap anak dan, sekali lagi, pada kondisi setiap keluarga. Ada hal-hal tertentu ketika media tersebut tidak bisa atau belum waktunya menjadi proses pembelajaran. Soal seperti apa, tentu setiap keluarga bisa melakukan ukurannya masing-masing.

#5

Lalu bagaimana dengan buku. Pada bagian ini saya akan mengisahkan sejumput pengalaman. Dan, yang namanya pengalaman tentu saja personal sifatnya. Saya tidak bisa mematok kalau metode yang saya tempuh dalam mengenalkan buku pada anak menjadi yang terbaik dan dapat diterapkan di lingkungan keluarga mana pun.

Dunia anak adalah bermain. Itu tidak bisa ditawar. Dika, sejak mulai berjalan selalu saja menghampiri rak buku dan membongkarnya. Kelakuan yang sama kembali terulang ke adiknya yang kini menginjak usia dua tahun. Pengenalan kosa kata mulai terjadi seiring interaksi dengan benda yang dijumpainya. Menjelang dua tahun, Dika menyebut: apu untuk buku dan baca disebut: aca. Begitulah adaptasi fonetiknya. (Rekaman ingatan soal itu bisa di baca di tautan dalam blog ini https://kamar-bawah.blogspot.com/2016/02/mother-in-child-dan-wawancara-menjelang.html)

Memiliki perpustakaan pribadi di rumah mulai saya bangun sejak sekolah menengah atas di tahun 2002. Buku-buku itu saya beli, mencuri buku milik teman, atau saling bertukar buku. Secara berangsur rak berukuran 3x 2 meter sesak dengan beragam buku.

Buku-buku yang ada umumnya bacaan dewasa dan sejauh ini saya belum menyediakan buku khusus anak. Saya meyakini kalau anak belajar dari kehidupannya. Setiap hari atau setiap saat anak melihat tingkah bapaknya akan diikuti. Ketika berusia tiga tahun, Dika akan bertingkah sama, ingin melakukan apa yang sedang saya lakukan. Bila sudah melihat saya membaca buku, ia akan mengambil buku dan membolak-balikkan halamannya.

Ia berceracau seolah sedang membaca buku, padahal yang diucapkan adalah mengulang cerita rekaan yang biasanya saya lakukan. Bisa disebut dongeng, tetapi bukan cerita dari buku tertentu. Sebisa mungkin saya mengarang cerita tentang dunia binatang. Misalnya saja, kisah tikus yang berangkat ke sekolah bersama sapi, kerbau, kodok, kuda, buaya, ayam, kucing. Jenis binatang itu yang pernah ia lihat langsung atau ditatap di poster atau di hape. Maksud dari cerita rekaan itu untuk membantu daya imajinasinya saja.

Suatu ketika seiring usia dan perkembangan daya jelajah tangkapan pengetahuannya, ia mengajukan kejanggalan dari cerita itu. “Bapak, kenapa kerbau tidak ada yang warna kuning.” Dalam tuturan cerita itu saya memang menyebutkan kalau kerbau itu ada yang kuning, merah, hijau. Hal yang sama pada kucing, kodok atau tikus.

Ia sering melihat kerbau atau sapi dan semua warna kulitnya sama. Tidak ada sapi berkulit hijau sebagaimana tidak ada kerbau berkulit kuning. Begitu kami terlibat kembali dalam cerita rekaan, ia akan menampik jika saya tetap menyebutkan kalau ada kerbau berwarna kuning. Ia membetulkan kalau semua kerbau warnanya hitam.

Saya membiarkan saja semuanya berjalan. Saya akan menanggapi sekenanya saja dan menghindari mengajukan tanya sebab apa semua kerbau berwarna hitam. Usianya tentu belum bisa mengaitkan sebab akibat yang lebih rumit mengenai hal itu.

#6

Ketika kini Dika sudah mulai menggunakan jemarinya untuk menghitung. Saya tidak mencari jawabannya yang telah lalu. Saya pikir proses bermain dan belajar yang selama ini diterapkan bukanlah hasil linear dari pencapaiannya mengetahui hasil penjumlahan semampu yang bisa ia lakukan.

Tentu ia belum bisa membaca dan masih sebatas mengenal huruf. Saya tidak berani menerka kalau kemampuannya itu hasil dari interaksinya dengan buku-buku di rak. Di sisi lain ada peran emaknya dalam mengenalkan abjad dan angka. Pengalamannya ikut ke sekolah dan menyaksikan emaknya mengajar juga menjadi tabungan pengalaman baginya.



Ia tetaplah anak yang berproses seiring waktu menggenapkan usianya saban hari. Ada kalanya ia dimarahi karena mengganggu adiknya, malas bangun, atau membuat onar karena menjadikan piring sebagai mainan. Dibentak jika ngotot ingin jajan es krim yang akan membuatnya menderita karena gusinya bakal sakit (sakit gigi). Semuanya bisa lepas kendali. Saya dan juga emaknya bisa lupa kalau anak yang dihadapi masihlah belia.

Ia bukan Matilda, sosok anak yang sudah membaca beragam jenis buku karya penulis hebat di perpustaan kota. Matilda sebagaimana Sophie Amunsend tokoh rekaan dalam novel. Adalah Roald Dahl yang menghidupkan Matilda dan perlahan menjadi sosok yang menghantui orangtua di dunia tentang bagaimana anak-anak mereka bisa seperti Matilda.

Abinaya Ghina Jamela, anak berusia sembilan tahun yang didapuk berorasi di acara Kampung Buku Jogja pada 3 September 2019. Mengajukan gugatan kalau orangtua begitu kejam mengharuskan anaknya membaca padahal orangtua sendiri malas baca. Meski tidak semuanya seperti itu. Atau banyak orang tua menghendaki anak mereka banyak baca sekaligus tak ingin si Anak cerewet. Abinaya juga menggugat yang melahirkan Matilda. Roald Dahl, kata Abinaya, juga kejam karena hanya membiarkan Matilda membaca saja dan tidak menuntunnya belajar menulis.

Abinaya Ghina Jamela saat tampil berorasi. Sumber foto di sini

 
Matilda sungguh menjadi mitos. Sebatas idealisasi yang yang dapat menjebak bila tidak kritis membacanya. Dan, Abinaya sejumput menjadi realitas. Dia sama dengan anak-anak kita yang saban hari bermain, membuat onar, menangis karena ingin jajan, dan banyak bertanya.

Anak dan buku biarkanlah menjadi teman baik. Kita, orangtua hanya menyiapkan prakondisi yang memungkinkan anak menyelami dunianya seiring pertumbuhan usianya. Di waktu tertentu, Dika mengajak Syla, adik perempuannya berusia dua tahun bermain dengan buku. Ia akan memilih buku yang sampulnya dianggap lucu atau yang menyeramkan.

Cetakan pertama novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan yang menampilkan kepala plontos yang dipadu mulut harimau menyeringai menjadi senjata oleh Dika bila ingin menakuti adiknya. Syla tidak mau kalah. Ia juga mengambil buku yang bisa dijangkaunya untuk dijadikan tameng. Biasanya ia akan mencari buku bergambar. Dan, itu buku bersampul wajah Che Guevara. Biografi grafis karya Spain Rodrigues yang diterjemahkan Ratih Kumala, penulis novel Gadis Kretek

Mengapa bisa buku itu dan bukan buku yang lain. Ya, mau bagaimana lagi, kedua bukulah yang sudah diakrabi sejak awal yang ditemukannya sendiri di rak.

Salah satu adegan Syla bila bermain buku dengan kakaknya

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga
_

Komentar

Postingan Populer