Simulakra Final Piala AFF 2010

Sudah hampir satu dekade berlalu. Lipatan ingatan yang mengendap, menyeruak mengajak pulang ke peristiwa yang telah berlalu. Mengecek kembali kesan yang telah dituliskan di status Facebook sesaat setelah laga final Piala AFF usai.
“Mereka telah berjuang. Sebangga-bangganya. Sehormat-hormatnya.” Parafrasa kalimat ini tentulah kita akrabi melalui novel Bumi Manusia. Itu status saya di Facebook usai timnas Indonesia menang 2-1 di leg kedua meladeni Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Kita sama-sama tahu, kemenangan itu tidak dibarengi pesta oleh pemain, pelatih, dan suporter timnas Indonesia. Timnas negara tetanggalah yang berpesta. Mengencingi wajah kita semua. Timnas yang begitu perkasa di babak penyisihan terjungkal 3-0 tanpa balas di Bukit Jalil di leg pertama.
Kekecewaaan tentu saja ada, mampir sebentar sebelum mengimbanginya dengan kekaguman bahwa, timnas Indonesia gagal juara hanya persolan selisih gol saja. Asumsi ini saya pertahankan sebagai benteng sekaligus obat luka kekecewaan.
Saya tidak meragukan perjuangan pemain timnas Indonesia di lapangan. Kekalahan di leg pertama memang ada faktor eksternal yang mengganggu konsentrasi pemain, khususnya kiper Markus Harison yang menjadi sasaran sinar laser dari suporter lawan.
Mengenai lolosnya pemain Malaysia, Norshahrul yang lepas dari kawalan Maman Abdurahman, adalah bentuk pertarungan bek dan penyerang yang memang, kadang dimenangkan oleh penyerang.
Walau, Maman tidak mengambil tindakan pertama sebagai naluri bek, yakni membuang bola ke sisi lapangan guna mengamankan areanya, tetapi malah menghendaki bola mati sendiri. Tak disangka, ia kurang sigap mengantisipasi pergerakan lawan yang menjadi pembuka gol pertama.

Ingatan Pahit dalam Simulakra

Lipatan ingatan laga final Piala AFF 2010 yang sudah tersimpan rapi sebagai satu bentuk pencapaian timnas di kompetisi antar-negara Asia Tenggara itu kemudian terbongkar sebagai paradoks.
Saya bertahan pada situasi itu saja setelah mencuat dugaan pengaturan skor yang melibatkan pemain. Beberapa kali saya memutar ulang tayangan Mata Najwa di YouTube yang menjadi awal mula isu ini menyeruak. Itu sungguh menghentak nalar publik. Sulit percaya kalau pemain ikut terlibat.
Rangkuman ingatan mengenai dua laga final itu membayang. Tak puas, tayangan pertandingan itu saya nonton lagi di YouTube, mengamati pola bermain para pemain yang diduga terlibat. Entah, dengan ilmu apa menilai untuk menemukan kebenaran dugaan yang dialamatkan kepada pemain.
Saya setuju kalau permainan timnas Indonesia di final leg pertama sungguh buruk. Tidak seperti laga sebelumnya yang selalu tampil meyakinkan. Lagi pula, bukankah di fase grup Malaysia dibantai 5-1.
Sebagai penonton (baca: pemirsa) yang menyaksikan pertandingan itu di layar kaca kemudian mendengar komentar langsung dari teman yang sama-sama menyaksikan juga, membaca beragam pendapat di media daring usai final leg pertama.
Garis besarnya menyalahkan situasi yang terjadi, yakni gangguan sinar laser. Ada juga, pencatutan oleh elite atau kelompok politik tertentu terhadap pencapaian timnas yang melenggang ke final dengan meyakinkan.
Dalam tubuh timnas sendiri, Alfred Riedl menyadari apa yang terjadi di lapangan dan menolak mengurusi situasi di luar lapangan. Skema serangan timnas Malaysia menyerang di sisi kiri pertahanan. Tiga gol muaranya dari sana.
Riedl memahami itu dengan baik, di leg kedua, Okto Maniani yang bernapas kuda, meski kadang lupa pulang membantu pertahanan bila serangan sayap dimentahkan tidak dimainkan. Arif Suyono menjadi pilihan menggantikan perannya.
Respons Riedl adalah jawaban yang berakhir kemenangan sekaligus kekalahan di waktu bersamaan. Begitulah lipatan ingatan kembali terbuka dan mengundang untuk membaca ulang peristiwa lalu. Ada kadar pahit menimpali karena munculnya informasi lain yang telat hadir.
Kita dikepung dugaan berujung pertanyaan dari segala sudut. Benarkah seperti itu? Mengapa bisa demikian? Siapa yang mengatur? Apa keuntungan yang didapat? Dengan cara apa mereka bisa memanipulasi permainan?
Zen RS melalui esainya, Simulakra Sepakbola dalam buku dengan judul yang sama. Membantu kita memahami konsep simulasi dan simulakra yang dicetuskan pemikir asal Perancis, Jean Baudrillard.
Jadi sederhananya, pemirsa dan penonton, dua subyek yang terlibat dalam satu peristiwa dalam menyaksikan suatu pertandingan sepakbola. Namun, dibedakan dalam ruang ketika itu terjadi. Pemirsa menatap melalui layar kaca dan penonton berada di stadion yang memungkinkan menyaksikan gerak 22 pemain ketimbang pemirsa yang menatap layar kaca.
Zen RS menabalkan dan menujukkan perbedaan dua subyek (pemirsa dan penonton). Tetapi, pokok dari nukilan esai itu bukan menjadikannya sebagai presisi. Konsep simulasi dan simulakra bisa dipakai – dijadikan pisau bedah menelaah dugaan pengaturan skor di laga final AFF 2010.
Kecanggihan teknologi memotong jarak pandang yang menjadikan pemirsa dan penonton memiliki keunggulan masing-masing sehingga, tentu saja, tetap berada dalam simulasi berdasarkan kualitasnya berada di stadion atau di depan layar kaca.
Lalu bagaimana ruang yang melingkupinya, atau yang disebut simulakra untuk menunjukkan proses simulasi berlangsung?
Kita perlu kembali ke konteks simulasi. Bagi pemirsa dan penonton, laga final adalah pertandingan sepakbola (objek) yang tengah berlangsung merebutkan posisi juara. Taktikal yang dikonsepkan pelatih dan inovasi dijalankan pemain merupakan konsepsi yang ditangkap.
Itulah realitas yang dimaknai hasil representasi atas objek. Namun, oleh mafia bola, pertandingan final itu adalah representasi perputaran modal. Mereka bekerja begitu dalam dengan mengatur unsur pokok dalam pertandingan (bisa menyasar ke pemain, wasit, pelatih, atau orang yang berpengaruh di organisasi induk tim, dalam hal ini PSSI).
Situasi macam ini sudah menghidupkan simulakra atas simulasi yang berlangsung. Sialnya memang, pemirsa dan penonton tidak terlibat dalam ruang itu karena laga final adalah representasi perebutan juara. Meggantikan makna sepakbola sebagai pertandingan.
Wajarlah jika barisan pemirsa dan penonton kecewa ketika isu pengaturan skor mencuat. Kita memang tidak tahu persis apa yang dilakukan para jaringan mafia jauh hari sebelum laga dimulai.
Sebelum isu ini perlahan terbongkar, gagalnya timnas menjadi juara akibat kalah agregat 4-2 sudah dapat menutupi dan mengapus kekecawaan secara perlahan dari tahun berganti.
Bayangkanlah, fasenya sudah hampir satu dekade, sudah empat kali gelaran serupa dihelat. Satu di antaranya, timnas kembali melenggang ke final di tahun 2016.
Menurut saya, laga final 2016 bisa dijadikan komparasi melihat kinerja dan perangkat struktur yang menopang timnas. Mulai dari official team, skuat, ketua PSSI, hingga situasi politik. Guna menelaahnya, tentu dibutuhkan kajian yang lebih mendalam.
Sampai di sini, saya ingin mengulangi kalau laga final piala AFF 2010 bisa jadi bukan pertandingan sepakbola. Kita dan para mafia berusaha mengganti kedudukan pertandingan itu menjadi objek sesuai keinginan.
Brengseknya, cara kerja para mafia lebih rapi dan lengkap. Mereka mencipta ruang (simulakra) rahasia yang tidak boleh dimasuki pemirsa dan penonton.
_
Pertamakali dimuar di Fandom.Id 18 Januari 2019

Komentar

Postingan Populer