Membaca Budi

Catatan anak SD menamai keluarga Budi


Di pagi yang berulang dua puluh delapan tahun silam. Mengenal keluarga Budi adalah capaian. Itu pengalaman komunal yang menjadi cara agar mendapat cap murid pintar di sekolah. Tidak bisa tidak. Budi adalah kunci.

Ketika SMP, ada siswa di atas angkatan saya bernama Budi. Tubuhnya gempal, kepalanya selalu botak, tidak memakai kaos kaki dan sepatunya disulap menjadi sandal. Bagian belakangnya sengaja dinjak supaya mudah dipakai dan tak perlu memakai kaos kaki. Baju yang dikenakan kedodoran. Celana birunya di bawah lutut. Inikah sosok Budi yang selalu ditulis namanya di papan tulis oleh ibu guru ketika memulai pelajaran membaca di SD?

Siapa sebenarnya Si Budi. Ketika menginjak sekolah menengah kejuruan (SMK), saya tinggal satu asrama dengan orang bernama Budi. Ia sudah lama menyelesaikan studi kemahasiswaan tetapi masih betah di asrama. Itu pilihan sadar supaya tidak perlu indekos dan sisa kuasa di sakunya sebagai penghuni senior menjadi jaminan dihormati penghuni baru. Ia lulusan pesantren DDI di Mangkoso. Berasal dari Surabaya, Jawa Timur dan memupuk impian menikahi perempuan Bugis. Ingatan saya tidak tertuju lagi pada Budi yang namanya dieja di papan tulis.

Di suatu pagi, siang, sore, atau malam. Persisnya lupa. Terjadi di sekitaran tahun 2002 atau setahun setelahnya. Budi dan keluarganya menjadi tersangka. Ia dituduh menjadi perusak dasar multikulturalisme dan melanggengkan hegemoni demi tegaknya kekuasaan. Budi menjadi model terbaik bagi anak-anak dari Sabang sampai Merauke. Orangtua berlomba agar anaknya mendapat label serupa Budi.

Ini Ibu Budi/ Ini Bapak Budi/ Ini Kakek Budi/ Ini Adik Budi kemudian mengalami fase berhenti sebagai mantera. Tak lagi ampuh dieja lalu dihafal di depan kelas. Fondasinya runtuh. Malih kurikulum terjadi meski perangkat stagnan. Budi terus berolah dan beroleh ruang hidup di sisa batok kepala sebagian guru kemudian diingat sebagai temuan paling brilian mengenalkan literasi dasar. Tentu, sebagian sudah mengganti nama Budi dengan nama lokal namun metodenya tetap sama.

Pernah saya mengira kalau Budi itu anaknya Presiden Soeharto. Rupanya bukan. Budi hanyalah juru bicara sebuah orde yang dibangun presiden kedua republik ini. Paulo Freire, pemikir pendidikan multikultural yang lahir di negeri yang dikenal gila sepakbola sehingga, apa pun, ketika menyebut Brasil, maka semua penduduknya seolah pesepakbola andal. Ia memang lahir di kota Recife yang, juga menjadi tempat kelahiran Rivaldo. Jadi, Freire mengajukan asusmi bila transisi masyarakat yang mengalami pergantian rezim perlu dikuasai melalui praktik pendidikan. Kudeta militer di Brasil di medio 60 an mengalami itu.

Kekuasaan yang baru mengenalkan cara pandang baru dan, metode paling efektif tentu saja dilakukan melalui sekolah. Orba menggunakan metode serupa begitu dingin, dalam–mematikan.

Semua sudah lewat. Meski tak pernah benar-benar bisa dipastikan kalau yang berlalu akan balik arah. Romansa masa lalu menggoda: enak jamanku to. Itu hantu.

_

Budi menjadi teka-teki sekaligus misteri literasi dasar. Dihadapan anak SD yang saya jumpai dalam suatu program memakai bendera literasi selaku selimut, Budi, malah menjadi teman karib. Serasa mengenal lebih lekat keluarga Budi.

Anak-anak SD itu berani menamai ibu Budi, bapak Budi, adik Budi, dan kakak Budi. Tak sampai di situ. Teman, tetangga, kepala sekolah, sampai nama mertua Budi juga dikenal. Sungguh capaian yang tidak terbayangkan dua puluh delapan tahun lalu. Budi adalah tunggal. Keluarganya tak bernama dan tak perlu diketahui. Mereka tidak penting. Si Budi yang menjadi kunci.

Mereka, anak-anak itu seenak perut menamai ibu Budi dengan nama ibu mereka atau nama tokoh dalam sinetron yang sering disaksiakan di layar teve. Menambahkan kalau Budi perlu teman bermain yang dinamai Ronaldo atau Messi. Ada gugatan. Jika Budi sudah ada sejak dua puluh delapan tahun atau tiga puluh tahun lalu, harusnya Budi sudah dewasa dan sudah perlu menikah dan memiliki mertua.

Anak-anak itu kelas empat, lima dan enam. Totalnya ada 43 siswa dari sejumlah sekolah dasar, mereka berjumpa di Aula Appakabaji di Kantor Dinas Pendidikan Pangkep atas undangan Balai Bahasa Sulawesi Selatan.

Usia itu merupakan fase yang pernah dialami dengan tangkupan imajinasi yang sama ketika kita seusia mereka. Hanya saja, guru kita di sekolah dulu tidak ingin menganggu keharmonisan keluarga Budi.

_

Komentar

Postingan Populer