Kisah Berantai yang Memiliki Persamaan


Seumpama slogan purba yang sering dimodifikasi untuk kepentingan membuat meme. Begitu pula kisah-kisah tersembunyi yang kemudian diceritakan pada orang terdekat. Di malam itu, di indekos kerabat beberapa cuilan kisah dihamburkan.

Tentu saja tidak ada beban mengisahkan kompleksitas jalannya kehidupan setelah berumahtangga. Di antara kami sudah sama-sama tahu. Kisah itu rahasia dan tidak akan dikisahkan berantai ke orang-orang.

Perjumpaan macam itu sudah jarang dilakukan setelah semua berumahtangga. Andai tidak ada sesuatu hal yang membuat kami harus berkumpul maka, perjumpaan hangat tidak akan terjadi. Memang, kami sering bertemu tetapi dalam situasi yang lain dan tidak ada peluang mengumbar kisah di balik bantal.

Waktu membuat kami semakin berjarak. Menjalani tragedi hidup masing-masing. Mencipta ruang tersendiri yang, tentu, membuat hidup serasa hambar dan melarikan diri pada realitas yang sedang dijalani. Saat seperti itu menguasai, pilihannya bisa pragmatis yang kemudian melahirkan situasi baru yang tak kalah pelik.

Beberapa komparasi hidup kawan sejawat dan selingkaran dijadikan perbincangan guna mengecek bahwa, apakah pola hidup yang dijalani sudah sewajarnya ataukah lebih buruk. “Pada akhirnya tidak ada yang abadi, Boy!” itu ungkapan yang membuat kami tertawa selain celetukan: “Semua akan kembali keTuhan dan, Tuhan tidak mendengar, Boy!”

Orang-orang memiliki kecenderungan memilah kisah untuk dibicarakan dan menyembunyikan kisah setalian guna didiamkan. Semuanya wajar saja tergantung pada siapa kisah itu akan dibicarakan.

Kami berempat malam itu, satu orang anak muda tekun menyimak. Ia satu-satunya pilihan generasi tersisa yang akan dilibatkan dalam kerja lapangan menuntaskan program yang sedang digarap.

Dulu kami dipertemukan beragam hal kemudian mati, lalu dihidupkan lagi setelah memastikan ada hal yang perlu diselesaikan. Kami serasa berjalan ke masa lalu. Setibanya di teras lampau beberapa kawan sudah tidak ada. Mereka sudah membangun titian jalan sendiri-sendiri dan tidak mungkin mengajaknya kembali.

Ini sugguh melankolik sekaligus tragis di waktu bersamaan. Daftar kisah di dalamnya sangatlah banyak dan hidup berdasarkan beragam kepentingan menceritakannya. Daur ulang akan terjadi sebagai konstruksi menambal ingatan yang tercecer.

“Tiap kesenangan itu serupa, tetapi tiap duka menyakitkan dengan cara masing-masing.” Itu petuah Tolstoy. Di kalangan teman dekat, sakit itu menemukan wujudnya sebagai komedi. Semacam ada kebanggaan melepas rasa sakit itu. Sebab jika dipendam berakhir tangis.

Berkeluarga bisa disebut ruang membangun pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Kita tidak bisa menukarkan situasinya pada siapa pun. Mendengar kisah teman yang di posisi yang sama tentulah sama derajatnya.

Para penutur kisah brilian menjadikan keluarga sebagai pijakan dan menjadi cermin besar. Perang bisa tersulut dari konflik kecil dalam keluarga. Benih dendam juga bisa tumbuh dan berakhir pembunuhan. Persoalannya bisa sepele karena dorongan manusiawi.

Konflik antar manusia berlainan negara dimulai dari keluarga. Kisah dalam Bumi Manusia sesederhana itu. Bermula dari rumpun keluarga. Di Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau juga sumbernya dari sebuah keluarga. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi setali tiga uang.

Kita begitu dekat dan rasanya mengalami konflik semacam itu.
­_

Komentar

Postingan Populer