Sebab Menerbitkan Buku Tidak Semudah Menjualnya
Sampul buku terbitan terbaru, Sumber Rumah Saraung (ini masih blog RS) |
Pelajar itu rikuh menghadiri sesi penyerahan hadiah. Sejak
diumumkan sebagai pemenang sayembara cerpen pada Maret lalu, ia tak banyak
cakap sebagaimana peserta yang lain yang sudah tergabung di grup WhatsApp (WA). Ia seorang perempuan, duduk di kelas dua di salah satu SMA di Pangkep.
Sekitar dua bulan kemudian, karya berupa cerpen dan puisi yang
masuk sepuluh besar hasil proses penjurian dari sayembara itu dibukukan,
tibalah waktunya mengumumkan jadwal peluncuran buku yang nantinya, para
kontributor akan mendapatan satu eksemplar. Tentu saja, penyelenggara sayembara
lomba mengumumkan kabar itu di grup WA. Para peserta yang karyanya lolos maupun
yang tidak gembira mendengarnya. Dibuktikan dengan komentar seragam kalau sudah
tidak sabar ingin memeluk buku itu. Namun, sikap dingin salah satu peserta yang
karyanya sudah pasti dibukukan karena memang menyabet juara tetap diam.
_
Baiklah. Kisah ini bukan soal pelajar SMA pendiam itu. Dua
paragraf di atas hanyalah nukilan pengalaman menyelenggarakan sayembara cerpen
dan puisi yang diperuntukkan bagi pemilih pemula menjelang Pemilu 2019 yang
terselenggara atas dukungan KPU setempat. Ini sih namanya menang tender, boy!
Kisah ini persisnya hendak menceritakan upaya memanjangkan usia
peradaban kertas semampu yang bisa dilakukan. Tegasnya, sayembara yang
dilakukan merupakan salah satu upaya menemukan naskah untuk diterbitkan menjadi
buku. Metode ini jalan sederhana sekaligus mengandung kerumitannya sendiri.
Dianggap mudah karena juri sudah memilih naskah yang layak dan cuma sekali
bayar honor. Posisi rumitnya, mengerjakan tender yang memakai uang negara harus
ditalangi dulu dan harus sabar menanti pencairan.
Mengembangkan penerbitan di kota kecil tanpa toko buku yang bisa
benar-benar disebut toko buku, bukan hanya perjudian melainkan sudah tahap
kegilaan. Tetapi, sebaik-baik upaya yang diniatkan selalu saja ada jalan yang
bisa dititi.
Di tahun 2017, tanpa sepengetahuan teman, sejumlah tulisannya
yang diposting di blog pribadinya dikumpulkan kemudian dilakukan editoring.
Konfirmasi dilakukan setelah tulisannya itu sudah siap cetak. Hasilnya, ia
tentu saja kaget sebelum angkat topi atas apa yang dilakukan. Namun,
sesungguhnya, metode ini sengaja dilakukan agar teman itu tanpa syarat langsung
mengiyakan biaya cetaknya.
Ada beban dan juga sikap medioker karena menyadari kalau
tulisannya belum layak dibukukan. Usai diyakinkan kalau siapa pun berhak
menerbitkan karyanya ke dalam bentuk buku. Lagi pula, bukunya itu tentu tidak
mungkin dititip jual di toko buku berjejaring di pusat perbelanjaan mengingat
satu hal dan beragam hal yang lain. Barulah teman itu kembali yakin.
Di perayaan sederhana di sebuah warkop yang juga milik teman, ia
semringah menyambut pengunjung datang menyesaki ruangan sempit yang,
sesungguhnya mereka itu adalah teman-teman sendiri. Melihatnya, saya pun tidak
dapat mengatup bibir di sepanjang berlangsungnya peluncuran buku. Ya, Tuhan,
kalian luar biasa. Ya, luar biasa bila mendapat undangan ngumpul-ngumpul ngopi gratis di
warkop.
Masih di tahun yang sama, dan waktunya tidaklak berjauhan.
Setelah buku teman itu berhasil terbit. Semangatnya serasa mencandu untuk
kembali berbuat sama. Maka dimulailah kurasi naskah yang pernah tayang di website yang usianya
sudah diprediksi tidak bakal bertahan lama. Pasal kematiannya ada dua. Pertama, lima
kontributor tetap yang dulu sepakat melahirkannya sudah tidak produktif
menulis dengan alasan butuh tantangan baru. Padahal, website itu tak kunjung
berhasil mendapat iklan Adsens. Kedua,
masa bayar hosting yang
berlaku setahun itu tidak jelas bakal dapat uang dari mana. Kesimpulan paling
bijak, mengucapkan selamat jalan saja.
Namun, kami merawat ego tidak membeberkan rahasia perihal dua
fakta yang sudah disebutkan. Kepada warganet dan pembaca setia website itu
disampaikan kalau masa kerja dari kesepakatan sudah berakhir. Memang hanya
dikerjakan selama dua tahun saja. Sebagai laporan, naskah pilihan akan
diterbitkan dan pembaca, tentu saja, boleh membeli bukunya.
Saya pikir cukup terhormatlah. Buku itu menjadi nisan atas
pembiaran kematian website yang
dinamai saraung dot com tersebut.
Namun, kali ini, tidak ada perayaan yang dilakukan. Buku yang sudah terbit yang
lebih banyak dibagikan gratis itu dibiarkan mencari hidup di tangan orang-orang
yang menerimanya. Sekali lagi, teman-teman sendiri. Bukan orang lain.
Apakah itu sebuah kerugian? Dari kacamata bisnis, mengingat
menerbitkan buku menelan biaya, tentu saja disebut rugi. Tetapi, siapakah yang
dapat menyembunyikan kebahagiaan. Atau, nikmat Tuhan mana lagi yang kau
dustakan ketika melihat orang-orang, tepatnya teman-teman yang kebutuhan
membacanya dikalahkan keinginan membeli buku tersenyum puas mendapatkan hadiah.
Begitulah, dipikirnya program penerbitan buku merupakan program gratis
pemerintah.
Menengok beberapa tahun ke belakang. Upaya semacam ini juga
pernah dilakukan dengan menerbitkan majalah berlabel sastra. Ya, ini cuma label
saja. Tak perlu diperdebatkan kadar kesusastraan naskah yang dimuat karena itu
semua karya teman-teman sendiri. Di sini saya ingin kabarkan pula kalau majalah
itu juga sudah mati setelah terbit tiga edisi. Alasannya sama dengan
sebelumnya. Jika ada perbedaan, tidaklah begitu dramatis.
Sebelum menerbitkan buku kumpulan karya pemilih pemula di tahun
2019, di tahun 2013 sudah pernah dilakukan dengan cara mengumpulkan anak-anak SMA
untuk membuat organisasi, namanya Komunitas Pelajar Lentera Pangkep. Sebenarnya, hal itu adalah trik menjadikan mereka
wiraniaga di sekolah mereka masing-masing.
Jadi begini, pelajar SMA itu dikumpulkan dalam satu wadah supaya
mudah dikontrol (tapi ini bukan bentuk dominasi untuk melakukan hegemoni seperti pemikiran Gramsci). Kegiatan utamanya berupa latihan menulis supaya karya mereka
bisa dimuat di majalah. Nah, dengan cara itulah kemudian, bisa memudahkan
mengajak mereka melakukan direct
seling di sekolah karena karya mereka dimuat. Namun, hasilnya,
berbanding terbalik dari yang diharapkan. Majalah itu memang ditakdirkan lahir
kemudian mati muda.
Tetapi, menghormati kematian majalah itu juga bisa dibilang
terhormat. Redaksi berkumpul dan mengutarakan semua yang perlu disampaikan. Tak
perlu ada yang ditutupi. Terbersit ide agar arah majalah label sastra itu
dialihkan menjadi majalah resep makanan tradisional saja karena pangsa pasarnya
lumayan besar. Ide yang lain mengusukan agar sisa dana yang ada sebaiknya
digunakan membuka usah air galon yang mulai marak saat itu karena hasilnya
lebih jelas. Pada akhirnya, keputusan pamungkas yang disepakati ialah,
sisa terbitan majalah yang ada sebaiknya tidak perlu dijual lagi karena kita
memilki jalinan pertemanan yang siap menerimanya. Dengan gratis, tentu saja.
Karena majalah sudah mati dan pelajar SMA yang tegabung dalam
organisasi itu juga bakal menamatkan studi. Perlu upaya terakhir untuk
mengingat sekaligus mengikat kisah ini. Sehormat-hormatnya pilihan adalah, menerbitkan buku agar
membanggakan, kira-kira seperti itulah prosesnya. Sebelum pelajar SMA itu
menanggalkan seragam putih abu-abu mereka, terbitlah buku kumpulan puisi
bersama.
Sinoposisnya bica dibaca di sini |
Niat awalnya tentu saja ingin dijual, namun apa daya, di
Pangkep, menjual buku sama sekali tidak semudah menjual Sop Saudara, kuliner
khas kota kami.
_
Komentar