Lebaran dan Parade Politik di Pangkep

Foto: Niar Ilalang


Menjelang subuh, lampu di ruang tamu dihidupkan kembali setelah dimatikan pada pukul sepuluh menjelang tidur. Dari jendela saya melihat rumah tetangga juga demikian. Bangun lebih awal menyiapkan segala sesuatu di hari lebaran. Menunaikan salat subuh dan, selanjutnya bersiap ke lapangan mendirikan salat Id.

Lebaran lebih dari ibadah. Berkumpulnya orang-orang di masjid atau di lapangan tentu menjadi peristiwa sosial imajiner. Didorong genggaman kemenangan usai melewati Ramadan. Di lapangan serupa reuni atau, meminjam pendapat Ali Syariati tentang peristiwa haji, merupakan ajang kongres umat Islam di satu tempat yang disucikan. Kualitas lebaran sesungguhnya mengandung semangat yang sama di tingkat lokal.

­_

Di Pangkep, titik pusat dalam imajinasi pemerintah setempat, lebaran digelar di stadion Andi Mappe. Ruang yang memungkinkan menampung sejumlah elemen masyarakat. Meski memang, itu bukan suatu kewajiban dan lebih pada distribusi kerja pemerintah.

Pokoknya bukan di situ sebab di titik lain ruang berkumpul untuk idealisasi yang sama juga tersaji. Jumlahnya sangat banyak. Hal menarik, tentu saja, bagaimana ruang pusat yang ditetapkan pemerintah menjadi etalase kekuatan politik.

Saya salat Id di halaman masjid pusat dakwah Muhammadiyah Pangkep. Saya memilih di tempat itu bukan karena saya kader ormas tertua di Indonesia tersebut, melainkan situasi akses dan prosesnya yang cepat. Lokasinya berjarak sekitar tiga kilometer dari stadion Andi Mappe yang memungkinkan mendengar pidato seragam Bupati yang saban tahun dibacakan Kepala Desa di lokasi salat Id masing-masing.

Ketika salat Id sudah dilaksanakan dan selanjutnya mendengar khotbah, pelantang suara dari stadion sayup terdengar suara protokol membacakan susunan acara. Perbedaan prosesi adalah hal wajar dilakukan di pusat kekuasaan.

Teman yang berada di stadion mengirim foto di grup WhastApp, membingkai suasana padat jemaat menghadap kiblat – seturut dena berhadapan dengan tribun di sisi barat. Di sepanjang tembok pembatas tribun dan di dinding atas berjejer spanduk beragam ukuran berisi ucapan yang sama: Selamat Hari Idul Fitri 1440 H dari sejumlah tokoh. Bukan hanya Bupati dan Wakil.

Tahun 2020, Pangkep menggelar suksesi politik langsung yang keempat. Pilkada yang menjadi titik mula berakhir atau episode baru kelanjutan klan politik yang sepuluh tahun terakhir menahkodai Pangkep.

Membaca narasi politik yang bekerja sejauh ini, sejumlah tokoh membangun jembatan guna menyeberang ke halaman kekuasaan. Pertaruhan semacam itu memberi peluang untuk saling melengkapi mengingat petahana sudah tidak bisa bertarung lagi sekaligus narasi usang bagaiman relasi kuasa bekerja. Namun, jamak diketahui kalau klan politik petahana teramat naif bila melepaskan kekuasaan begitu saja.
_

Selepas khotbah usai, mendung bergelayut di angkasa, jemaat berangsur beranjak dari saf dan melipat sajadah. Menggulung karpet yang dijadikan alas dan sebagian membiarkan koran bekas di tempat semula.

Sesampai di rumah, sebelum membuka pintu pagar, tetangga datang menghampiri mengucap minal aidin. Basa basi melengkapi kalau ia salat Id di stadion dan pulang lebih awal sebelum khotbah tuntas. Saya membalasnya kalau saya salat Id tak jauh dari stadion.

“Banyakna kulihat spanduk di stadion. Mau semua kapa maju Pilkada di.” Ucapnya.

Tetangga saya itu selalu terlibat partisan dalam riuh pemilihan. Insting dasarnya tentu mengendus aroma itu.

“Kira-kira siapami nanti kita pilih nanti bapakna, Dika.” Ia melanjutkan.

Saya tertawa seperlunya, secukupnya, dan memintanya masuk ke dalam rumah.

­_

Komentar

Postingan Populer