Menghidupkan Bur Rasuanto
“Perang, tidak hanya aktivitas
militer, tetapi juga ekonomi dan kelamin?
_
Kutipan di atas
satu-satunya yang melekat dari pembacaan karya Bur Rasuanto dari
satu-satunya novelnya yang pernah saya baca, Tuyet. Sebenarnya tidak tepat juga jika itu satu-satunya kalimat
yang melekat. Tetapi, itulah yang punya daya magis bagi saya.
Nama Bur Rasuanto
pertama kali saya ketahui dari buku Prahara
Budaya susunan DS Moeljanto dan Taufik Ismail. Itu terjadi sekitar tahun
2002 atau 2003. Di tahun 2012, saya baru mendapati novel tipisnya di Kedai Baca
Sipakainga milik Anwar Ibrahim di Makassar. Novel itu sudah kucel, terbitan
Gramedia cetakan pertama tahun 1978.
Tuyet, sependek yang saya ketahui merupakan
trilogi. Dua lanjutan setelahnya tidak pernah saya jumpai. Penulis ini saya
kira sudah lama mangkat. Rupanya, mantan jurnalis Majalah Ekspres dan Tempo ini
baru berpulang tahun ini. Saya mengetahui pertama kali di status Facebook
novelis, Eka Kurniawan pada Rabu malam 15 Mei dan, segera mengecek di internet
dan menemukan warta di portal Akurat.Co.
Saya mengomentari status
Eka kalu saya memiliki novel Tuyet kemudian
ditanggapi kalau karya klasik penulis Indonesia perlu diterbitkan ulang. Ya,
tentu saya setuju dengan niatan seperti itu.
Tetapi, siapa yang
mengingat Bur Rasuanto. Di generasi saya, nama Bur tentu tidak familiar. Berita
kematiannya mengulang apa yang dialami Abdullah Harahap atau Fredy S. Sepi.
Apakah ini suatu masalah? Saya pikir, tidak selapang itu mengajukan tanya.
Namun, kematian seorang penulis merupakan satu tragedi dalam dunianya sendiri. Ia
telah selesai dan pergi meninggalkan warisan yang, menjadi pertaruhan bagi
generasi setelahnya.
Politik ingatan itu bagian tata kelola memetakan bahwa di sebelah sana ada musuh dan di sebelah sini adalah kawan. Kanonisasi sastra mempraktikkan hal demikian oleh siapa pun yang terlibat dalam pemetaan itu.
Kejadian macam ini
selalu saja berulang yang menunjukkan adanya yang tidak diketahui. Riuh festival
sastra menyerupai karnaval pejalan yang ogah berbalik ke belakang. Seolah yang
di depan tidak terkait dengan situasi lampau.
Perjalanan ke masa lalu
membutuhkan bekal yang tidak sedikit demikian risiko yang perlu ditanggung. Di film
Avengers: Endgame mengingatkan hal itu. Jalan ini bisa ditempuh. Eka menyimpan
harapan pada penerbit indie supaya karya penulis lalu diterbitkan kembali. Dengan
cara itulah menghidupkan Bur Rasuanto.
Saya berharap demikian
supaya dua kelanjutan Tuyet bisa
dituntaskan.
Komentar