Sakit Menjelang 5 Tahun

Dika Lentera di Tonasa Park


Ada banyak sekali nasihat tentang sakit sebagai upaya atau rahasia yang diperuntukkan bagi manusia. Semua anasir yang seperti itu penuh dengan seruan moral. Sakit sebagai jeda dari akivitas, itu saja intinya.

Manusia berjuang agar sehat melawan sakit dan meneruskan agenda. Tiga pekan lalu saya mengalaminya akibat flu menyerang. Langka kaki hanya berkutat ke toilet dan ke ranjang. Sesekali memaksakan diri mengurus dua anak bila rewel dan tidak mau tenang di pangkuan emaknya.

Apa boleh buat, sakit tak pernah benar-benar menjadi jeda. Segalanya perlu dikerjakan sendiri. Mengganti persediaan air galon yang habis. Menginput token listrik. Di sisa sore itu sebelum hujan mengguyur harus ke dokter mengantre mendapat perawatan.

Biaya pengobatan lumayan murah. Itu pilihan realistis daripada harus mengurus keperluan pengobatan menggunakan Jaminan Kesehatan (BPJS) meski, saban bulan gaji saya dipotong. Ini bukan protes, lebih pada kepraktisan saja. Meluangkan waktu mengurus rujukan kemudian ke rumah sakit bisa melumat waktu begitu banyak.

Semuanya ada prioritas. Tetapi ini penting. Jika dipikir lebih baik disediakan dokter umum jaminan pemerintah di tempat praktik yang murah daripada berjibaku dengan urusan administrasi di instansi kesehatan.

Tiga hari sebelum saya sembuh total, giliran istri dan dua anak juga terjangkit flu. Kemungkinannya besar sekali karena kami menggunakan perangkat makan yang sama. Tidur juga di kasur dan berbagi bantal yang sama.

Pilihan berobatnya ke dokter praktik juga. Menghemat waktu dan biaya yang relalif terjangkau untuk urusan penyakit flu. Sepekan ini memang curah hujan meninggi. Sulawesi Selatan mengusai warta sebagai lokasi yang tertimpa dampak bencana banjir di beberapa kabupaten. Terparah di Maros dan Jeneponto.
_

Dika masih sempat bermain di sore hari dan malamnya meringis kesakitan. Kepalanya dirasakan berat. Suhu badannya meninggi. Itu gejala demam. Tiga tablet penurun panas hanya bertahan beberapa jam saja. Adik dan emaknya juga mengalami sakit yang sama.
Usai diperiksa oleh dokter dan meminum obat sirup penurun panas, suhu badannya perlahan normal dan, dua hari kemudian sudah kembali fit. Dua malam ia menemani saya menginap di rumah karena emak dan adiknya menginap di rumah neneknya untuk keperluan menjaga kakek dan tantenya yang juga mengalami sakit.

Dua pekan lalu memang, gejala sakit melanda dua keluarga. Dari pihak saya dan istri. Waktunya sedikit bersamaan yang membuat kami membagi waktu melakukan kunjungan ke masing-masing rumah.

Orangtua selalu mengingatkan bila anak sedang sakit itu artinya ada hal baru yang ingin diketahui. Hal demikian itu sudah lama saya pahami dengan baik. Saya mengamini saja ketika Dika menuju usianya yang lima tahun.

Mengenai hal baru yang diketahui tentulah terjadi. Bicaranya sudah fasih dan sudah pandai mengayuh sepeda kecilnya tanpa roda penyeimbang. Anak memang belajar dari kehidupan dan di lingkungan di mana ia tumbuh.

Bila sudah bosan menonton serial kartun pilihannya di tivi, ia akan melayar di hape memainkan permainan yang diunduh sendiri. Bermain dengan sejawatnya terbatas bila meluangkan waktu di kompleks perumahan. Lain hal bila ia ke rumah neneknya, ia bisa bermain dengan anak tetangga yang indekos.

Setahun sejak kami menetap di kompleks, anak lelaki seusianya tidak ada, justru anak perempuan tetangga terpaut setahun lebih mudah darinya yang ditemani bermain. Kadang, ia hanya menjadi penonton bila anak-anak yang lebih tua tiga atau empat tahun darinya sedang bermain. Saya perhatikan Dika selalu berusaha melibatkan diri untuk terlibat namun tidak diikutkan.

Mungkin keakraban belum terjalin karena warga di kompleks tidak sepenuhnya menetap. Perjumpaan tidak selalu terjadi setiap hari. Kami sendiri meninggalkan rumah di pagi hari dan baru kembali ketika sore sudah selesai.

Kami, tentu, tak bisa menyederhanakan jalannya hidup layaknya dalam film. Membangun kisah bersama baru terjadi setelah magrib. Hanya beberapa jam saja sebelum kami semua lelap. Esoknya kembali berulang dengan jalannya hidup yang berulang.

Dika sendiri sudah bisa membuat keputusan. Memilih menginap di rumah neneknya atau ikut bersama ketika selepas magrib saya menjemputnya pulang. Di pagi hari jika emaknya ke sekolah memenuhi tugasnya selaku guru honorer, tepatnya guru sukarela karena memang tidak digaji tetap. Maka saya mengantarnya dulu ke rumah mertua. Di sana kemudian ia membangun kesepakatan apakah Dika atau adiknya, Diza yang diikutkan ke sekolah. Kadang juga keduanya dibawa bila neneknya tidak sedang di rumah.

Situasi demikian saya jalani setahun terakhir sejak memutuskan pindah lokasi kerja dari Makassar ke Maros. saban hari saya menempuh perjalanan pulang pergi. Peluang adanya mutasi kerja segera saya urus supaya bisa tinggal di kompleks perumahan KPR.

Kira-kira begitulah proses jalannya hidup. Setiap hari melihat perkembangan dua anak yang sedang tumbuh. Dika sendiri tepat lima tahun pada 2 Februari lalu.
_

Komentar

Postingan Populer