Puncak Tertinggi Dari Berdemokrasi Adalah Humor
Apa yang
membedakan sentilan antar pendukung pasangan kandidat Presiden pada Pemilu 2014
dan 2018. Sebagai warganet, tentu kita bisa memberikan gambaran betapa gesekan
pendukung di Pemilu Presiden empat tahun lalu begitu menegangkan dengan
selingan humor sarkastik.
Nah, di
Pemilu tahun ini, dengan dua kandidat Presiden masih sama dengan Cawapres
berbeda. Sisa endapan sarkasame di pemilu sebelumnya kembali mencuat. Namun, di
selah itu, kita diajak bergembira dengan kehadiran pasangan Capres di luar
penetapan oleh KPU.
Dari banyak
ulasan yang ada, menyebutkan kalau pasangan Capres Nurhadi-Aldo (Selanjutnya
disebut Dildo) adalah katarsis atas ketegangan antar pendukung dua Capres
ketetapan KPU yang hadir bak air bah di linimasa
warganet.
Sejak
beredarnya tagline Dildo dengan quotes nyeleneh,
menjadi undangan terbuka bagi siapa saja yang hendak merayakan demokrasi dengan
anasir humor. Sejumlah teman Facebook saya juga membuat kampanye seolah mereka
sedang nyaleg lengkap dengan visi
misi sesuka perut.
Sastrawan
Agus Noor sampai merelakan tiga judul bukunya dijadikan meme mengikuti narasi besar Dildo. Cinta Tak Pernah Sia-Sia diganti menjadi Dildo Tak Pernah Sia-Sia, Cerita
Buat Para Kekasih disulap menjadi Dildo
Buat Para Kekasih, dan Barista Tanpa
Nama dipermak menjadi Barista Tanpa
Dildo. “Salam Dildo, semoga berguna
bagi seluruh rakyat Indonesia. Tulis Agus di akun Facebooknya yang
diposting pada 5 Januari.
Sosiolog
Ariel Heryanto, juga turut merayakan kemunculan Dildo. Penulis buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya
Layar Indonesi yang kini menjabat Herb Feith Professor di Universitas
Monash, Australia itu melalui akun Facebooknya membagikan tautan yang
mengisahkan awal mula Nurhadi tampil sebagai Capres guyon.
“Gerakan nasionalisme awal abad 20
dimulai dari sinyo-sinyo kedokteran. Kini masa depan nasion abad 21 dimulai
dari cowok-cowok di panti pijat tradisional.” Demikian ia menegaskan. Tentu,
maksudnya, Ariel sedang melapangkan humor juga.
Nurhadi
memang berprofesi sebagai tukang pijat. T Agus Khaidir dalam tulisannya di
rubrik Telatah di media daring
Beritagar.id, tayang pada Senin, 7 Januari. Mengulas fenomena kehadiran Dildo
yang dibingkai dalam komunitas Shitpost
di Facebook. Komunitas ini merupakan aktivitas daring yang gemar mengerjakan
konten “tidak bermanfaat”. Semacam usikan untuk membuat kita tertawa walau
konten itu dikesankan serius.
Coba tengok
salah satu quotes Nurhadi yang tampil
sendiri, wajahnya didesain menyerupai Karl Marx dengan kalimat: Bokep Itu Candu. Itu jelas pelesetan
dari sabda Marx: Agama Itu Candu. Saya
sendiri tidak mengikuti akun medsos Dildo, posternya saya jumpai kali pertama
di linimasa Facebook kemudian
menyasar grup percakapan WhatsApp.
Saya
perhatikan anggota di salah satu grup WA, walau tidak mengetahui wacana Marx,
ia tertawa merespons quotes Bokep Itu
Candu. Semakin menemukan konteksnya ketika kasus prostitusi yang diduga
melibatkan selebritas tanah air kembali mencuat.
Menertawakan Diri
Konon, humor itu
bekerja untuk menertawakan diri sendiri. Situasinya bisa berbeda di setiap
zaman. Sebab itulah humor juga ada yang abadi dan menemukan ajalnya sesaat
setelah konteksnya berubah.
Meski memang,
dalam pergulatan memperjuangkan tegaknya demokrasi lebih banyak melahirkan
horor, bukan berarti tidak ada humor di sana. Dalam hal ini kita berutang
banyak pada sastra. Simaklah cerpen Seno Gumira Adji Darma yang terangkum di
buku Saksi Mata. Bangunan cerpen
berkutat pada humor gelap menertawakn rezim Orba.
Tetapi,
apakah di era yang semakin terbuka ini humor masih menjadi senjata. Tentu saja
iya, humor dengan segala variannya sebagaimana rezim dengan seribu macam rupa
tetap menjadi pemantik tawa kesadaran.
Contohnya
fenomena Dildo ini. Ia mampu menerabas sekat dua kubu yang saling merebut
kepercayaan publik. Gorengan isu agama, ideologi politik tertentu,
penjungkirbalikan fakta, hingga riwayat keluarga yang terus diproduksi sudah
memuakkan.
Saya sepakat
kalau Dildo hadir sebagai katarsis atas garingnya wacana yang ditawarkan dua
kubu di Pemilu Presiden kali ini. Dildo sekaligus menjadi pengingat kalau
demokrasi bisa dijalankan dengan bergembira. Mengakui kelemahan yang ada
sebagai basis memperbaikinya.
Di tengah
seriusnya dua kubu menyiapkan diri, Dildo hadir mengajak kita menertawakan
narasi usang yang terus dilap agar mengkilap. Juga mengingatkan kalau dalam berdemokrasi
kekuasaan itu fana, humor yang abadi.
_
Komentar