Genealogi Penulis Perempuan di Pangkep

Dari kiri: Ria Hamriah, Nhany Rahman Khan, Munjiyah D Gazali

Pada satu periode, membaca karya sastra tidaklah tendesius dengan jenis kelamin. Bahwa karya itu buah pikiran perempuan atau lelaki. Ini tahap ketika keinginan untuk tahu berada di atas perbedaan. Semuanya wajar saja.

Saya mengalaminya sebagai proses yang, mungkin dialami pula oleh yang lain dalam menemukan keasyikan tertentu dalam membaca. Seiring waktu ada keinginan membaca novel yang tidak dikategorikan karya “sastra”. Tiga Perempuan gubahan Mira W. Alur pembacaan tidaklah naik turun sebagaimana novel gubahan peraih Nobel, salah satu karya Pearl S Buck, Surat dari Peking.

Malah lebih menanjak kumcer Rahasia Selma-nya Linda Christanty. Referensi ini saya dapatkan dari penulis lelaki yang menyebut Linda sebagai salah satu penulis perempuan berbahaya. Semangat yang sama: propaganda para penulis lelaki mengantar pada Nawal el Shadawi. Saya memilih Kabar dari Penjara. Bukan Perempuan di Titik Nol. Leila S Chudori adalah bentuk kecelakaan tersendiri ketika membaca novel Pulang.

Hingga saat ini, cuma lima penulis perempuan itu saja yang karya fiksinya saya baca. Mengapa demikian. Pangkalnya adalah akses dalam artian yang luas. Tentu ada banyak karya penulis perempuan Indonesia yang bagus sebagaimana penulis perempuan dari luar negeri. Kasus pertama menyangkut ketersediaan melapangkan akses dan, yang kedua bertambah menjadi minimnya terjemahan (ini bagi pembaca yang belum bisa menikmati karya dalam bahasa asli penulis dari luar negeri).

Mengapa akses? Ini satu pokok dalam narasi literasi yang menjadi sandungan selain metode pendidikan kesusastraan dalam pendidikan formal. Membicarakan akses bukan hanya persoalan mendapatkan fisik tetapi juga ekses diskursus dalam karya. Eka Kurniawan dalam blognya, mengisahkan pengalaman minimnya akses bacaan yang disebut kanon sastra Indonesia dan tenggelam dalam bacaan novel yang dikategorikan picisan.

Di kota Eka hidup jauh dari lalu lintas perbukuan sebagaimana bacaan anak seusianya di kota besar. Ia pun merasa dongkol ketika berpindah kota yang memiliki akses bacaan lebih ramai dan tidak menyadari kalau suatu ketika di perpustakaan kampusnya ia tengah berhadapan dengan kanon sastra dunia.

Namun, ia sudah bebal dan terikat gen dengan bacaan masa remajanya yang mengasyikan. Jejak itu bisa dijumpai di novel Lelaki Harimau. Kita tahu, peristiwa yang dialami Eka adalah pengalaman komunal segenarasinya di tempat yang lain. Lalu, apakah kini jalur distribusi bacaan sudah merata. Jawabnya bisa beragam. Di kota kecil saya hidup, Pangkep, berjarak sekitar 50 km dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Hingga kini belum ada toko buku yang benar-benar disebut toko buku yang menyediakan beragam jenis buku bacaan.

Tiga teman penulis perempuan di Pangkep yang jalan terjal kepenulisannya sebagai blogger dan wartawan mengutarakan referensi bacaan penulis perempuan yang melekat. Nhany Rachman Khan, narablog dan telah menerbitkan buku, mengingat Asma Nadia selaku panutan. Sejak Mahasiswa ia aktif di lembaga perempuan yang berafiliasi ke ormas Muhammadiyah menunjukkan kewajaran itu. Prototipe muslimah yang menjadikan pena sebagai jalan dakwah. Nhany juga menyebut penulis serial Harry Potter, JK Rowling.

Referensi beragam disebutkan Munjiyah D Gazali, wartawan Tribun Timur. Besar kemungkinan diakibatkan persentuhannya dengan banyak komunitas sewaktu kuliah, khususnya yang bergerak di bidang kesenian. Ia menyebut pengaruh penulis perempuan dari Sulawesi Selatan: Nurhayati Rahman dan Zohra Andi Baso selain penulis fiksi seperti Fira Basuki, Dee, NH Dini, dan JK Rowling.

Ria Hamriah, mantan wartawan, mengingat novelis yang mulanya berprofesi sebagai penyanyi, Dewi Lestari atau nama penanya, Dee. Ketika melanjutkan studi kebidanan, ia menjumpai buku Mira W bertema kesehatan reproduksi, bukan karya fiksinya.

Pertanyaan lanjutan, sejauh mana referensi bacaan itu memberikan corak dalam karya tulis mereka. Agak sulit menerka, bukan saja medium menulis yang berbeda, juga teramat gegabah bila menyebut sudah ada tautan gen dari penulis idola mereka. Selain sebagai keinginan untuk tahu dan perayaan, paling tidak ada fondasi referensi. Ada peta jalan pulang menengok: saya senang menyebutnya kampung halaman. Tempat pertama kali mengenal sesuatu.

Romantika Kesadaran

Intan Paramiditha dalam esainya: Jalur Feminis pada Pengaruh Sastra di jurnalruang.com menebalkan kalau pengaruh penulis perempuan di Indonesia kerap terlupa, tersingkir, atau terhapus.

Penulis kumcer Sihir Perempuan itu menukil asumsi kritikus Harold Bloom mengenai rasa takut karena tidak bisa membebaskan karyanya dari bayang pengarang sebelumnya. Kemudian ia mengomparasikan penelitian dari Sandra Gilbert dan Susan Gubar kalau metodologi yang diterapkan Bloom sangat patriarkis. Lebih jauh, Intan menilai kalau pendapat Bloom menemukan kompleksitas bila memasuki sejarah sastra di dunia ketiga, termasuk di Indonesia.

Intan juga mengutip muatan artikel yang tayang di The Guardian mengenai sebuah penerbit yang menemukan kalau lebih banyak penulis akan menyebut penulis laki-laki ketimbang perempuan yang mempengaruhi karier kepenulisn mereka.

Di titik lain, kita bisa saja menyebut itu sebagai kasuistik. Tiga teman penulis perempuan yang saya wawancarai, bergulat di kota kecil dengan situasi yang sudah disebutkan berbanding lurus dengan referensi penulis lelaki yang dibaca. Nhany hanya menyodorkan Andrea Hirata, Ria menyebut Habiburrahman El Shirazy dan Mochtar Lubis, dan Munjiyah menegaskan enam penulis yang semuanya dari Sulawesi Selatan: Aan Mansyur, Ishak Ngeljaratan, Asdar Muis RMS, Rahman Arge, dan Abdul Karim.

Saripati esai Intan sesungguhnya tidak menyandarkan pada kuantitas melainkan pada titik kesadaran. Ia sendiri hanya menyebut satu penulis perempuan dan dua penulis lelaki. Cara pandang genealogis patriarki boleh disebut selaku upaya melanggengkan dominasi selain berkubang inferioritas. Seolah perempuan saja yang dapat menyalurkan aspiranya dan sebaliknya.

Kesadaran feminis yang ditekanan Intan adalah gelitik atas proses kesadaran yang terus berjalan. Bisa diidentifikasi di lain waktu. Suara NH Dini di sejumlah novelnya menjadi romantika kesadaran dalam memahami kosmopolitan.

Kesadaran memang berkembang, Paulo Freire (2008) mengajukan tiga varian: magis, naif, dan kritis. Interaksi menjadi pelapang memindahkan kerangka kesadaran. Dalam bahasa Freire, dialog saling mempertemukan gagasan. Kesadaran kemudian menjadi jalan memeriksa dan menautkan keberpihakan dan tidak berhenti pada perayaan atas suatu bacaan.

Barangkali saja, ketiga teman saya sudah bisa melampaui persoalan akses. Jarak Pangkep ke Makassar bisa ditempuh sekitar satu jam perjalanan menunggangi sepeda motor atau mobil. Atau, bisa memesan buku yang digemari di toko daring yang sudah marak. Tetapi, kembali pada pola kesadaran untuk menjangkau wacana.
_





Komentar

Postingan Populer