Bacaan Kanon Sastra Masa Sekolah Saya
Judul di atas mengundang dua pertanyaan pelik: (1) Memangnya ada bacaan sastra di sekolah saya? (2) Memangnya saya rajin membaca waktu sekolah sehingga megak sekali menyusun daftar bacaan. Kanon, lagi!
Sependek ingatan saya, dua pertanyaan di atas level kebenarannya lebih tinggi ketimbang judul celoteh ini. Lokasi sekolah dasar hingga menengah pertama tidaklah jauh berbeda, bisa ditempuh dengan mengayuh sepeda. Berada di Kecamatan berbeda tetapi bertetangga dan, yang pasti satu Kabupaten.
Kabupaten tempat saya tinggal tidak bisa dibilang terpencil dan keliru jika dikatakan memiliki akses setara kota besar. Dikenal luas mengenai kuliner yang kerap dijadikan guyon oleh masyarakat kabupaten tetangga. Katanya, orang Pangkep itu saudaranya dijadikan Sop.
Sop Saudara memang melegenda di Sulawesi Selatan selain Coto dan Konro. Jauh sebelum ekspansi mas-mas dari Surabaya membangun tenda-tenda sari laut mereka di jazirah Sulawesi, orang Pangkep sudah menyebar ke sejumlah wilayah mengibarkan bendera: WARUNG PANGKEP-SOP SAUDARA.
Kira-kira begitulah petunjuk geokuliner domisili saya sebagai petunjuk kalau masyarakat di tempat tinggal saya lebih doyan makan daripada membaca. Di sekolah dasar, saya lebih banyak menyaksikan guru-guru memasak bubur manado. Di akhir catur wulan (anak-anak 2000 an mana tahu istilah ini) hajatan paling ditunggu karena ada acara makan-makan sambil menunggu penerimaan rapor.
Tentu saya tidak mau melupakan sejarah. Peristiwa membaca di perpustakaan sekolah juga ada. Dilakukan sekali seminggu sesuai jadwal tingkat kelas. Namanya anak sekolah dasar, bermain tetap saja lebih membahagiakan daripada menyuntuki sejudul buku. Kalaupun ada buku yang digemari, maka buku itu dikerumuni beramai-ramai.
Memasuki SMP, situasinya tidak jauh berbeda. Acara makan-makan tetaplah primadona. Siswa-Siswi Kelas 1 dan dan 2 memendam impian untuk lebih baik dari senior mereka dalam hal penyajian menu makan, khususnya Sop Saudara.
Jadi, di sekolah SMP saya ada program bagi kelas 3 untuk menyajikan masakan yang dikerjakan secara berkelompok. Entahlah, apakah itu bagian dari proses penilaian ujian akhir masa sekolah, sampai sekarang saya belum paham. Ketika reuni SMP, pembicaraan mengenai masak-masak di sekolah menjadi perbincangan paling hits. Dikenang sebagai masa-masa paling indah.
Tentu, saya juga tidak ingin melupakan sejarah. Saya dan juga, teman-teman yang lain mengingat pernah ke gedung perpustakaan. Ruang yang lebih banyak dipenuhi sapu lidi dan ijuk serta sekop sampah. Bagaimana tidak banyak, setiap angkatan siswa baru diwajibkan membawa alat pembersih itu ketika mengikuti orientasi siswa. Jika angkatan baru sebanyak 200 siswa, maka sebanyak itu pulah jumlah sapu lidi, ijuk dan sekop sampah.
Oh, iya. Ke perpustakaan itu bukan didorong untuk mencari referensi menyelesaikan tugas, melainkan sebagai bentuk hukuman karena melanggar. Kedapatan merokok, judi kartu, dan pelanggaran yang lain. Guru BP menjadikan membaca di perpustakaan sebagai hukuman.
Terus, daftar bacaan kanon sastra masa sekolah saya mana! Jadi begini, usai menuntaskan masa sekolah dasar dan menengah di tanah kelahiran. Saya berkesempatan ke ibu kota provinsi.
Sekolah menengah atas di Makassar sesungguhnya sama saja dengan sekolah-sekolah yang lain terkait buku bacaan di perpus sekolah. Berhubung sekolah saya dulunya bekas kampus Fakultas Sastra kemudian disulap menjadi sekolah karena gedung perkuliahan mahasiswa direlokasi ke gedung baru. Beberapa properti kampus masih ada termasuk gedung perpustakaan. Pegawai administrasi kampus sebagian masih berkantor di situ.
Bermula dari perpustakaan itulah saya menemukan buku-buku yang kelak (hari ini) saya sadari sebagai kanon sastra Indonesia. Boleh, dong menyusun sendiri. Salah satu ahli kanonisasi sastra sekelas Jamal D Rahman bilang begitu. “Kontroversi tentu saja ada dan itu demokratis,” kurang lebih blio bersabda begitu dalam debat publik bertajuk Penyusunan Kanon Sastra: Perlukah? Saya sendiri tidak sempat hadir karena sesuatu dan lain hal dan pelbagai hal-hal yang lain. Halah.
Tayangan di You Tube tentang debat itu saya putar berulang kali guna menangkap maksud dari empat pembicara. Maaf, saya lupa menghitung Jamal D Rahman yang telat datang. Ia beralasan terlambat karena mengikuti petunjuk Google Map yang menjadi pengandaiannya menjelaskan perlunya kanonisasi sastra. Kira-kira perlu adanya jalan pintas.
Inti dari penyusunan kanon sastra itu sendiri diperuntukkan bagi kalangan pelajar. Maka berbahagialah para pelajar nantinya, karena perpustakaan sekolah bakal disesaki buku sastra penulis legendaris Indonesia. Ingat, ini kanon, dan tidak semua pengarang seberuntung mereka yang masuk daftar. Kalian itu apa, terbitkan kumcer cetak seribu yang laku cuma satu.
Jadi baiklah, ini sudah sangat bertele-tele. Praktis daftar bacaan sastra masa sekolah saya hanya berpijak di jenjang SMA (sebenarnya saya sekolahnya di STM). Di bekas perpustakaan kampus sekolah saya itu saya menemukan:
Pertama: Sang Guru, Gerson Poyk. Novel ini berlabel milik negara dan tidak diperdagangkan. Bagi saya kala itu, ini termasuk bacaan berat. Membutuhkan energi lebih, karena itulah novel ini saya curi dan barulah membacanya kembali setelah pengarangnya mangkat di tahun 2017.
Kedua: Bom, Putu Wijaya. Kumcer ini bentuknya mungil dan tipis, serupa buku pelajaran tata cara salat. Saya sudah lupa sudah berapa kali membaca ulang buku ini sebagaimana saya lupa buku ini entah di mana sekarang. Saya curiga teman mencurinya. Karena buku inilah saya memberanikan merangkai cerpen yang polanya sama dengan cara Putu Wijaya. Absurd dan mengecoh.
Ketiga: Catatan Dari Luar Pagar, Jakob Sumardjo. Buku ini semula saya abaikan karena bukan berupa novel atau cerpen. Sekali waktu, saya mendengar obrolan mahasiswa yang datang ke bekas kampusnya mengurus keperluan administrasi. Dari penampilan, mahasiswa itu sudah sahih disebut aktivis. Wajah kusut, gondrong, memakai jeans belel sobek di lutut, dan bersendal jepit. Berdua dengan temannya, ia berbincang tentang wacana kebudayaan dan menyebut nama Jakob Sumardjo.
Jadi, sayang saja, jika melewatkan buku itu. Bisa disebut buku ini berisi kumpulan esai. Ada satu bahasan mengenai muatan pendidikan yang didominasi kognitive domain. Itu kritik Jakob terhadap dunia pendidikan.
Keempat: Di Persimpangan Jalan, A. D. Donggo. Ya, lumayan menghiburlah bagi seorang pelajar yang mendambah adanya cerita asmara di masa SMA. Meski latar novel ini berkisah di masa merebut kemerdekaan. Semacam romantika kisah cinta terlarang akibat gejolak sosial yang berdiri di baris pejuang dan pengkhianat.
Kira-kira cuma keempat buku itulah yang membekas di benak. Mengapa hanya empat, karena memang buku itu saja yang saya jumpai di perpustakaan sekolah. Mungkin dulu ada banyak, tetapi sebagian sudah dipindahkan ke perpustakaan kampus di gedung baru.
Jika kemudian daftar buku kanon sastra yang diperuntukkan bagi pelajar itu ada, besar kemungkinan empat nama dari bacaan saya di atas masuk nomine. Apa boleh buat, sastra teramat seksi untuk selalu dijadikan proyek.
Walau nantinya daftar bacaan kanon itu bukanlah favorit pelajar generasi milenial. Saya jelas tidak yakin kalau nama teman saya (tidak perlu saya sebutkan) sudah menerbitkan kumcer dicetak seribu tetapi cuma laku satu eksemplar itu berada dalam daftar. Kalaupun namanya masuk, panitia kerasukan roh Gregor Samsa karena memasukkan sebangsanya sesama kecoak.
_
Komentar