Paulo Freire dan Rak Tidur
#1
Ya, saya
membutuhkan waktu sembilan tahun lamanya untuk kembali bertemu dengan sesuatu
yang pernah membuatku malas menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), berdebat dengan
guru, dan sengaja tidak memasukkan baju ke dalam celana. Tegasnya, saya menjadi malas datang ke
sekolah.
Terjadi di tahun 2003. Ketika
seragam putih abu-abu menjadi pakaian wajib yang harus kukenakan dari senin hingga sabtu. Padahal, waktu itu merupakan tahun
terakhir meninggalkan bangku sekolah, tepatnya saya sudah kelas tiga dan akan
melalui ujian akhir, yang
kali
pertama
diterapkan sistem pengejaran angka untuk dikatakan lulus.
Perubahan itu
merupakan keputusan (bukan kebijakan) Kementerian Pendidikan Nasional untuk meningkatkan mutu pendidikan
meski sebatas mengejar angka-angka. Maka dicanangkanlah 3,5 sebagai prasyarat dikatakan
lulus ujian. Tahun itu juga diperkenalkan ujian bahasa Inggris dengan metode
TOEFL. Soal ujian
diperdengarkan melalui rekaman yang hanya diulang sebanyak lima kali, dan harus
menjawab soal dalam waktu 120 menit.
Jauh hari guru-guru
di sekolah sudah mewanti semua siswa giat belajar agar lulus ujian nasional,
hal itu lalu diterjemahkan dengan memberikan pelajaran tambahan di sore hari.
Meski begitu, saya tetap
malas membaca buku pelajaran yang sudah disalin di buku catatan hasil
mendengarkan dikte guru. Semuanya karena sebuah buku yang saya curi dari
perpustakaan. Buku itulah yang semakin giat saya
baca hingga menjelang ujian
nasional.
Awalnya dimulai
dari kebosanan di ruang kelas. Saya dan seorang teman, AB Yoga, lebih senang berada di
perpustakaan sekolah. Di sanalah tempat bolos paling membahagiakan. Petugas perpustakaan mengetahui kalau
saya penghuni asrama Tahfiz, ditambah lagi,
ia selalu memergoki saya azan zuhur
di masjid. Makanya saya mendapat perlakuan khusus membongkar semua buku yang
ada di rak, termasuk diperbolehkan meminjam buku tanpa menggunakan kartu anggota. Tegasnya, saya dicap sebagai
siswa yang baik yang tidak mungkin berbuat hal-hal yang tidak baik.
Hari berganti
hari, semua buku yang saya anggap pantas dibaca telah tuntas. Hasilnya, terwujud ke dalam pelbagai catatan yang saya
tempelkan di tembok sekolah (karena sekolah tidak memiliki majalah dinding).
Imbasnya tentu saja berakhir di hadapan guru BP dengan interogasi berulang, kalau hal itu tidak boleh
dilakukan.
Hingga
akhirnya, saya
sudah mulai belajar membeli buku dengan mengorbankan kepentingan yang lain. Termasuk menunda pembayaran
SPP. Tak cukup dengan itu, beberapa baju dan celana harus saya lepas dengan
harga miring pada beberapa teman di asrama agar bisa mendapatkan buku terbaru.
Tetapi, saya belum bisa menampakkan
buku-buku itu di rak kecil di kamar, karena teman se kamar saya seorang
mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang memiliki koleksi buku yang hampir semua judulnya tertera kata Islam. Namun, saya pun harus
mendengarkan nasihatnya, ia mendapati buku Pemikiran
Karl Marx karya Franz Magnis Suseno di kardus, tempat saya menyimpan buku. Setelah itu, saya mencoba
mengalihkan perhatian dengan menunjukkan keinginan membaca buku koleksinya. Lalu dipinjamkanlah buku Membumikan Alquran karya Quraish Shihab.
#2
Di perpustakaan
sekolah, ada satu lemari kaca
yang tidak pernah dibuka. Pintunya selalu terkunci, hal ini pernah saya
utarakan pada penjaga perustakaan perihal buku-buku yang ada di dalamnya. Namun, ia juga tak tahu persis dan
hanya mengulang perintah Ketua
Yayasan, kalau buku dalam rak itu tidak usah diganggu. Sepintas saya melongok
melihat susunan buku. Wow! Buku
itu memang belum layak dikonsumsi oleh siswa sekolah, mungkin seperti itu
maksud Ketua Yayasan sehingga rak itu ditutup saja rapat-rapat.
Dengan segala
bentuk pendekatan persuasif dan ragam komunikasi dengan penjaga perpustakaan. Dia menyerahkan juga kunci dengan pesan yang sangat
hati-hati. “Kau boleh membuka rak itu, tetapi bukunya tidak boleh dibawa
keluar,” bisiknya pelan. “Iya,
Pak!” Jawabku
tegas.
Selanjutnya, rak
yang selama ini selalu terkunci dan buku tertidur
pulas di sana
yang menurut penjaga perpustakaan sudah seperti itu sejak lima tahun yang lalu.
Tepatnya lagi, ketika area perkuliahan dipindahkan ke kampus baru, sehingga gedung lama dijadikan sekolah, tetapi beberapa barang inventaris
termasuk buku-buku perpustakaan yang diperuntukkan bagi mahasiswa sebagian masih ditinggal.
Aha! Eureka…..!
Saya baru saja menemukan sesuatu yang sangat berharga. Keringatku tiba-tiba
terkucur deras, mataku sigap menoleh ke kiri dan ke kanan, tanganku bergetar. Apa yang baru saja
kudapatkan sungguhlah amat berharga. Sebentar lagi saya pasti menjadi orang yang paling
percaya diri. Betapa tidak, beberapa mahasiswa yang selama ini kutemani
berdiskusi belum memegang karya puncak Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Paling banter mereka hanya
menelaah pemikiran tokoh pendidikan progresif asal Brasil itu melalui karya
orang lain. Atau buku Pendidikan Sebagai
Proses saja yang memuat surat-menyurat Paulo Freire dengan pendidik Guinea
Bissau.
Tetapi buku itu tentu saja tidak
dapat saya pinjam ses uai
perjanjian yang telah disepakati. Saya mulai berpikir keras untuk itu. Sambil
menyicil membacanya, dan tentu saja menunda sebuah perayaan di tengah
teman-teman diskusi.
Nasib
baik berpihak padaku, ruang
kelas saya dipindahkan ke lantai dua berdampingan dengan perpustakaan,
sebenarnya bisa dikatakan satu ruangan karena yang membelah ruangan hanyalah
sebuah rak panjang yang menjadi pembatas.
Saya tentu saja senang dengan pemindahan ruang kelas itu, karena hanya sekali
melangkah, saya sudah berada
di ruang perpustakaan dengan melewati celah rak yang dijadikan dinding pemisah.
Dan, aha!
Eureka...! Sebuah
penemuan kembali muncul, ketua kelas yang selama ini dipercayakan memegang
kunci ruangan karena, di
sekolah belum ada petugas khusus yang menangani, jadi setiap ruangan
dipercayakan pada ketua kelas masing-masing. Melalui wewenang ketua kelas
itulah menjadi peta dasar untuk mencuri buku di rak yang selama ini tidak
tersentuh. Saya
sangat khawatir kalau buku-buku itu nantinya habis dimakan rayap. Saya pikir, itu sangat mulia untuk
kujadikan asumsi
berjalan masuk ke sekolah pada suatu sore
yang sepi.
Awalnya, kuajukan
tawaran pada
Zainuddin, ketua kelas yang
selalu mengenakan kopiah, orangnya pendiam, dan celananya dilipat di atas mata
kaki. Kalau berjalan pandangannya selalu tertunduk. Saya bilang padanya kalau
ruangan kelas kotor. Sungguh mengganggu kenyamanan belajar, lalu menawarkan diri membersihkannya
di sore hari bersama Yoga. Ia terdiam sebelum akhirnya sepakat dan ikut
menawarkan diri terlibat.
Saya menatap Yoga.
“Sebaiknya
biar saya saja bersama Daus yang membersihkannya, ustaz” ucap Yoga yang selalu memanggil Zainuddin dengan sapaan ustaz.
“Jangan, saya
merasa bersalah jika tidak terlibat. Saya akan memanggil teman-teman yang lain
untuk membantu,” balas
Zainuddin.
Yoga menatapku. Sangat
dalam. “Mmmm, itu lebih bagus, saya akan siapkan sapu dan kain
pel.
Pintu ruangan tidak usah dikunci jika sore ini kita sepakat membersihkan,”
ujarku.
“Kalau begitu,
sebaiknya kamu saja yang memegang kunci,” Zainuddin mengajukan
tawaran.
“Ok, ustaz!” Yoga menanggapi dengan
lantang sebelum mengulum
senyum.
Saya sudah
menebak apa yang ada di pikirannya, rencana kali ini pasti berhasil meski ada
sedikit perubahan.
Rencana awalnya membersihkan ruangan merupakan strategi untuk
mendapatkan kunci. Dengan mendapatkan kunci, berarti sudah bisa masuk ke
perpustakaan guna membongkar rak. Namun, Zainuddin
ingin terlibat dalam rencana yang terselubung itu. Jadi, saya dan Yoga berangkat lebih
awal dari jadwal yang telah disepakati usai azar, rencananya salat berjemaah di masjid lalu sama-sama ke
sekolah.
Sekitar
pukul dua sore,
saya sudah berada di perpustakaan dengan peralatan lengkap: palu, tang, dan obeng.
Tak perlu banyak gerakan untuk membongkar
dinding belakang rak yang dilapisi tripleks tipis. Yoga hanya sekali
mengungkitnya dengan obeng. Lalu buku-buku yang kami anggap perlu dicuri,
dengan sigap dimasukkan ke tas.
Sesudahnya kami
berjalan keluar menuju masjid layaknya seorang agen CIA yang telah berhasil menuntaskan tugas.
Sesampai di masjid, tas lalu dibuka untuk melihat hasil kerja mulia kami. Kalau
tidak salah, sebuah buku dari Ali Syariati yang membahas Marxisme juga turut
dalam misi itu. Sebuah novel gubahan Gerson
Poyk, Sang Guru. Dan, tentu
saja Pendidikan Kaum Tertindas. Meski banyak kesempatan,
kami tentu tak mau membuat curiga penjaga perpustakaan dengan meninggalkan lemari kosong.
Selanjutnya
membagi hasil, saya mengambil buku Paulo Freire lebih dahulu, selebihnya untuk Yoga. Setelah buku itu
kuperlihatkan pada teman-teman mahasiswa yang selama ini tinggal di sekretariat
lembaga kampus, mereka kaget dan bertanya beli di mana. Saya jawab kalau buku
ini tidak ada dijual di toko buku mana pun di Makassar. Jalan keluarnya, buku
itu lalu difotokopi bagi mereka yang tidak mau ketinggalan wacana.
Setelah
menuntaskan buku itu, terbersit di pikiran. Kelak, saya akan menulis skripsi terkait
pemikiran pendidikan Paulo Freire. Niat itu barulah terealisasi setelah sembilan tahun kemudian. Karena setelah lulus
sekolah, saya menolak melanjutkan kuliah meski mendapat beasiswa dari Universitas Muslim Indonesia. Empat tahun setelahnya,
barulah saya mendaftarkan nama saya di STAI
DDI Pangkep.
Setelah buku itu
tuntas dibaca.
Kini giliran Yoga
yang menguasai sepenuhnya. Hanya saja, itu menjadi kali terakhir saya melihat buku itu, edisi
pertama tahun 1984, yang
berarti saya baru lahir di dunia ini ketika buku itu dicetak.
#3
AB Yoga, eksodus dari Timor-Timur, sudah bisa bertemu kembali
dengan kedua orang tuanya yang selama ini dianggapnya telah tewas akibat
pergolakan di kampungnya. Kisahnya, kala itu ia diantar oleh Ayahnya
kepelabuhan agar terhindar dari maut sewaktu jajak pendapat berlangsung di tahun 1999. Peristiwa itu amatlah pahit
baginya. Meninggalkan
tanah kelahiran dengan
getir dan terpaksa. Ia pun tidak tahu kalau kapal yang dahulu ditumpanginya itu berlabuh
di Makassar.
Selanjutnya,
saya tak bertemu lagi dengannya. Karena di hari ujian akhir nasional, Yoga tak nampak. Setelah
seminggu berlalu, saya berkunjung di tempat penampungannya. Tetapi ia sudah tidak di sana, lewat seorang temannya, ia
berpesan kalau ia sudah kembali ke Timor-Timur bersama orang tuanya. Ia memilih
menjadi warga negara Timor Leste setelah merdeka dan menanggalkan
kewarganegaraan Indonesia.
Apakah
ketidahadirannya mengikuti ujian akhir merupakan sikap politiknya untuk menolak
ijazah sekolah Indonesia. Entahlah, sebuah isyarat yang sulit kuterka. Ketika
buku Pendidikan Kaum Terindas itu
kuserahkan. Ia memelukku dan menyerahkan kaos bergambar Che Guevara yang selama
ini menjadi baju wajibnya.
#4
Di tahun 2014, barulah dipusingkan dengan
buku itu. Setelah menjalani proses perkulihaan jurusan Tarbiyah selama
delapan tahun,
tibalah waktunya menulis skripsi sebagai bentuk catatan akhir seorang
mahasiswa. Dan, saya
berencana membahas tentang konsep pendidikan Paulo Freire.
Proposal
pengajuan judul sudah saya layangkan, dan menurut dosen pembimbing. Jika hanya
membahas konsep pemikian pendidikan Paulo Freire, itu sama sekali tidak ada
gaungnya, karena untuk mengetahui konsep pendidikannya, orang cukup membaca
buku-bukunya saja. jadi perlu ada variabel tambahan yang kira-kira bisa
menjadikan skripsi
saya ini menjadi menarik.
Dosen pembimbig
memberikan gambaran dengan mengingatkan latar jurusan yang saya pilih.
Pendidikan Agama Islam (PAI), dalam menulis sebuah skripsi, kita tentu dibatasi
dengan segmen pembahasan agar tidak melebar kemana-mana serta aturan teknis
lainnya.
Saya mengamini lalu menyepakati judul
tambahan yang ditawarkan: Analisis Komparatif
Konsep Pendidikan Paulo Freire dengan Konsep Pendidikan Agama Islam.
Meski sudah memegang beberapa buku
Paulo Freire seperti: Pedagogi Hati,
Pedagogi Pengharapan, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan, Pendidikan sebagai Proses: Surat menyurat Pedagogis dengan para
Pendidik Guinea Bissau, Pendidikan yang Membebaskan. Tetap saja ada yang tidak
lengkap.
Saya menghubungi
beberapa teman yang dulunya mengkopi
buku itu. Hasilnua nihil. Dari
lima orang yang saya hubungi, semuanya mejawab kalau buku itu telah raib
dipinjam oleh teman-temannya.
Saya lalu
mendatangi tempat foto kopi
di mana buku itu digandakan sebanyak orang mau. Hasilnya sama saja, pemilik
foto kopi sudah
lupa tentang buku yang dimaksud.
Saya tidak berhenti begitu saja, karena pemilik foto kopi itu merupakan informan
terakhir yang dapat dimintai keterangan. Saya mengingatkannya dengan
membawanya ke masa lalu.
Menceritakan orang-orang yang dahulu menggunakan jasanya untuk menggandakan buku yang harganya terlampau mahal
jika harus membeli aslinya.
Namun,
tetap saja ia tak
ingat. Ia mungkin kaget dengan tingkahku, dan mempersilakan saya masuk untuk
melihat sendiri arsip buku fotokopiannya.
Melihat arsipnya, saya kembali teringat dengan
teman-teman masa lalu yang gemar mengkopi buku. Beberapa buku yang dipesan oleh
Noy, Sukman, Iful, Mahfud, Ashady, Rudy, Khalid, Aidin, Suharbul, Esse, Piin,
dan Ady (Teman-teman diskusi di UKM Retorika UMI dari tahun 2001 hingga 2004). Hingga
kini belum diambil-ambil juga. Saya tahu betul, karena sayalah yang menjadi
peluncur jika ada buku yang hendak digandakan. Cukup bilang dua, tiga, empat
atau lima rangkap, maka hal itu segera dikerjakan.
Di sepanjang
tahun 2004 hingga 2010 saya belum juga menjumpai Pendidikan Kaum Tertindas di toko-toko
buku di Makassar. Pada titik tertentu saya harus merelakan menyelesaikan skripsi tanpa kehadiran buku itu. Sebelum pada salah satu malam
ramadan tahun 2011. Saya menemukannya juga di toko buku Purnama Ilmu di jalan
Cendrawasih.
Masih diterbitkan LP3S, cetakan
keenam (edisi revisi) tahun 2008. Sampulnya kurang menarik dibanding cetakan pertamanya dengan
kepalan tangan kiri. Kini, seorang
anak menunduk yang di hadapannya ditampilkan gambar editan berupa kertas berisi tulisan.
Sungguh kurang jeli, karena gambar itu telah marak beredar di internet yang
menunjukkan seorang bocah sedang makan.
Terlepas dari itu semua, bahagialah menemukannya kembali. Niat mencurinya jelas tidak ada.
Mana mungkinlah dilakukan dengan penjagaan berlapis oleh karyawan.
_
Catatan:
Naskah ini dibuat di tahun 2011 silam, seingat saya
pernah memostingnya di tahun yang sama tetapi konten hilang. Entahlah, bisa
jadi ada kaitannya dengan proses perbaikan tampilan blog.
Komentar
Mampir balik mas. Makasiih..