Dongeng Bola dari Rantau
![]() |
Dok. Kamar-Bawah |
Tujuh
belas tahun menetap di London, Inggris selaku pekerja media bukanlah waktu yang
singkat dan menjadi alasan tidak menampung beragam data yang dipungut langsung.
Diakui kalau sepakbola adalah olahraga favorit ditambah mengganrungi salah satu
klub asal Inggris. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang didustakan.
Kira-kira,
itulah sepotong saripati di pengantar buku Dongeng
Dari Negeri Bola yang ditulis Yusuf ‘Dalipin’ Arifin (Dalipin). Berbeda
dengan buku sepakbola yang sudah banyak beredar. Secara tematik,
kumpulan esai di buku ini melulu membahas kehidupan sepakbola di Inggris.
Pilihan
memilah esai yang fokus membicarakan sepakbola di Inggris patut diapresiasi, mengingat
buku sepakbola yang beredar semata mengulas narasi besar seputaran tokoh dan
klub sehingga banyak ditemukan ulasan yang klise.
Ada
penyegaran ingatan kalau gaya permainan atraktif, inovatif, dan imajinatif
yang, intinya menghibur bukanlah label sepakbola di negara atau di liga
tertentu. Premis macam itu sudah lama menyeragamkan pola pikir kita perihal
sepakbola indah yang contohnya selalu jatuh pada permainan sepakbola di Amerika
Latin.
Memang,
sebagai negeri yang dikenal penemu sepak bola, Inggris pernah terjebak dalam
narasi sejarah. Perlahan itu disadari kalau benih yang mereka tabur di wilayah
koloni telah bertumbuh dengan kultur masing-masing wilayah.
Inggris
tak pernah lupa bagaimana Argentina mengolok-olok mereka di Piala Dunia tahun
1986. Saya kira itu dendam yang terus tumbuh seiring Inggris membuka diri untuk
melakukan impor bakat. Patoknya tentu saja bagaimana kompetisi Primer League menjadi magnet para
pesepakbola di dunia.
Inggris
layaknya negeri dongeng. Narasi demikian tentulah berurat berakar sebagai
negeri penemu permainan kulit bundar. Maka, menjadi wajar kalau markas
Manchester United dinamai Theatre of
Dream.
Tetapi
tunggu dulu. Dalipin tengah membicarakan
konsep yang lebih luas mengenai idealisasi permainan yang menghibur. Ia terusik
ketika mendengar diskusi pendukung Tottenham di radio ketika klub itu memecat
Andre Villas Boas. Tegasnya menurut fans itu kalau pelatih tidak memainkan gaya
Tottenham (Tottenham Way).
Pada
dasarnya semua klub di Inggris oleh para pendukungnya mengakui kalau klub yang
mereka idolai memiliki khas permainan masing-masing. Kita tahu kalau Inggris
karib diingat sebagai negeri yang memainkan sepakbola kick and rush. Lantas dari mana anggapan permainan yang menghibur
itu jika disematkan pada pola atraktif, inovatif juga imajinatif.
Di
Italia ada sebutan khusus bagi pemain yang dianggap mampu mengontrol permainan.
Misalnya saja fantasista yang
disematkan pada Roberto Baggio, Totti dan del Piero. Nah, di Inggris, apakah
sebuatan yang sepadan bisa disematkan pada Gasocigne, Mc Manamann, atau
Beckham. Komparasi ini tentu saja tidak linear sebab kultur permainan berbeda.
Jadi,
pengakuan adanya gaya permainan tertentu pada klub hanyalah idealisasi. Dalipin
menunjukkan dengan mengajak melihat kembali data sejarah klub. Sebab jika mengamini
anggapan yang demikian, itu hanyalah amnesia selektif.
_
Merasakan
langsung euforia masyarakat Inggris dalam gerak industri sepakbolanya,di
sebagian esai menunjukkan kalau sepakbola adalah hiburan sekaligus identitas. Dalipin
memang sedang membicarakan hal-hal yang jarang diketahui. Seolah itu dongeng
yang ia dapati di Inggris dan menceritakan ulang kepada kita.
Mengingat
esai dalam buku ini sudah pernah tayang di media guna mengejar momen agar
konteks pembahasan dapat dipahami pembaca yang mengakses esai saat dimuat.
Meski sudah dijelaskan di pengantar kalau sudah ada upaya agar esai yang
terangkum dalam buku ini tidak kehilangan konteks, tetap saja ada beberapa
pembahasan yang nampaknya melahirkan kenaifan bagi pembaca.
Namun,
bagi pembaca yang mengikuti Primer League secara kontinyu tentu dapat
menerka sejumlah hal yang tengah dibahas. Sialnya, pembaca yang tidak cukup
bekal, bakal kehilangan sedikit kenikmatan. Tidak ada cara lain selain
mengakses informasi lanjutan di mesin pencari sebagai pengantar.
Percobaan
menarik dilakukan di buku Shindunata, Bola
di Balik Bulan (Yayasan Basis dan Boekoe Tjap Petroek: 2017). Di bagian
akhir esai ditegaskan muara topik yang sedang dibahas. Dengan begitu, fantasi
pembaca terbantukan dengan konteks kejadian.
Untungnya,
Dalipin dibekali pengetahuan sejarah yang dipadukan penulisan jurnalisme
mumpuni. Bahwa apa yang dikhawatirkan pembaca (dalam dugaan saya) yang tidak
dibekali informasi memadai menyangkut sepakbola Inggris. Tetap bisa menyelami
kedalaman esai dan menjadikan informasi di dalamnya sebagai pengetahuan baru.
Harus
diingat kembali kalau buku ini ditopang esai yang bahasannya berdiri sendiri
dan diselesaikan pada waktu berbeda. Karena itulah dongeng yang dikisahkan
begitu kaya dan beragam. Kita bisa terhenyak pada satu esai dan menganggap
biasa-biasa saja di esai yang lain.
Megulas
secara rinci pada satu esai bisa begitu panjang dan melahirkan komparasi juga
asumsi untuk mengajukan bantahan sekaligus pembaca dibuat terpukau cara Dalipin
menuliskan kesaksiannya. Maksud saya, cara penulisan yang dilakukan Dalipin
amatlah mendaki dan tentu saja berat. Namun, ia mampu membuat pembaca begitu
tabah menjalaninya hingga tuntas.
Sama
dengan upaya saya mengulas satu esai yang dimulai pada Paragraf 4 sampai 10 di
atas. Itu terdapat di halaman 107 dengan judul esai: Idealisme, Realitas, dan Mitos. Dalipin membantu melihat relasi dari
apa yang disebut permainan sepakbola yang menghibur yang sesungguhnya hanyalah
idealisasi penonton yang merindukan hiburan.
Jadi,
mari nikmati saja bagaimana Dalipin menceritakan dongeng bolanya dari rantau
yang dipugut di negeri penemu sepakbola
_
Komentar