Paz di Antara Masa Lalu dan Waktu Kini

Resensi buku Octavio Paz
Dok. Kamar-Bawah


Ingatan menjadi perkara politik identitas bagi yang mengalami trauma kekerasan. Itu paling tragik yang dialami manusia. Pada peristiwa yang wajar, ingatan merupakan situasi pelik untuk mengenang hal yang telah lampau.

Pada ingatan ada serangkaian dan beragam endapan kesan, peristiwa, juga sejarah melingkupinya. Manusia, bagaimana pun, dengan cara apa pun, punya keseringan mengunjungi hal lampau. Tergantung kepentingan.

Upaya kembali ke situasi lampau atas kepentingan membuat manusia membawa dua alat: penghapus dan pena. Bahwa ada yang tidak selesai dan ada yang perlu dikoreksi. Tergantung nyali dan, sekali agi, dorongan kepentingan menggunakan dua alat itu.

Barangkali saja, dan memang tidak mustahil, menengok masa lalu menjadi panasea dari kepenatan di masa sekarang. Andai dapat mengulang waktu. Sering menjadi katarsis atas keterasingan yang sedang dan akan dialami.

“…Jika ia ingin menceritakan ingatan itu sebagai sebuah anekdot kecil yang masuk akal, ia harus memasukkan ingatan itu ke serangkaian kausalitas bersama dengan peristiwa-peristiwa lain…”  Milan Kundera mangajukan tanya perihal peran ingatan manusia.
_

Saya lupa kapan pertama kali mendengar nama Paz. Lengkapnya Octavio Paz. Satu hal, saya dapat mengingat serangkaian kausalitas peristiwa yang melatarinya. Rangkaian pembicaraan itu kemudian menguatkan diri membeli bukunya.

Ada upaya lain yang tidak (belum) bakal  saya lupa. Tempelan harga di kemasan plastik buku itu saya tukar dengan harga buku yang lain, tentu, harga yang bisa saya jangkau. Di hadapan kasir, usaha saya hampir saja ketahuan. Dasar dungu, saya tidak tahu kalau pengelola toko buku sudah memiliki katalog harga di komputer mereka. Wajar saja si kasir linglung memindai barcode harga yang tidak sesuai dengan informasi di layar komputer.

Paz, memang pas ukuran isi kantong saya waktu itu. Si kasir menyerah dalam perjudiannya. Membiarkan pembeli berlalu atau menyelesaikan perkara di lain waktu. Saya menang dan Paz pulang bersamaku.

15 tahun sudah buku Paz mendekam di rak. Di awal-awal membacanya hanyalah kegenitan biar dibilang keren di lingkungan pergaulan. Bahwa ada pelajar tingkat sekolah atas yang gemar membaca karya pemenang nobel sastra ketimbang buku pelajaran sekolah.

Mengulangi bacaan menjadi semacam piknik ke masa lalu. Persinya menjadi jembatan yang menghubungkan potongan ingatan dan hari-hari yang berlipat setelahnya. Paz malah menjadikannya cermin menjumpai masa sekarang. Ia menemukan jarak begitu lapang yang mengakibatkan adanya situasi terpisah kemudian menjadi luka.

Dalam pidato penerimaan Nobel Kesusastraan tahun 1990, Paz sungguh melankolik sekaligus ada kemarahan dalam membeberkan situasi seperti itu. “…pertumbuhan sastra Anglo-Amerika bertepatan dengan bangkitnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia. Sementara kebangkitan sastra kami bersamaan dengan petaka dan pergolakan politik dan sosial bangsa kami.”

Saya kira, butuh pegantar lebih memahami Paz. Ia melanglang buana ke abad 19 dan 20 kemudian menyimpulkan kalau modernitas telah di ambang pintu kematian. Ia tidak melihat kalau posmodernisme sebagai antitesa dari moderitas. Ia justru meyakni kalau setiap masyarakat memiliki modernitasnya masing-masing. Ya, ini sangat Kantian.
_

Larik-larik puisinya menjabarkan pengembaraan yang panjang ke masa silam. Menjadi medan mendaki bagi generasi kini untuk menjamahnya. Menjadi pertanyaan, apa relevansi puisi macam itu bagi manusia di belahan dunia yang lain yang memiliki pergolakan yang tentu berbeda dengan sejarah Mexico atau Amerika Latin pada umumnya.

Kesepakatan yang bisa saja menghampiri hanya pada perkara ingatan bagi setiap manusia yang menapaki masa lalunya sendiri-sendiri di lingkup tanah airnya masing-masing. Puisi di tangan Paz ditempatkan titik mula yang darinya menjangkau segala peristiwa.

Puisi membawa suara tersendiri meski ia menunggangi beragam jalan. Paz hampir menyerupai suara surealisme. Hal demikian bukanlah hal mustahil bagi Paz yang mendalami pemikiran Andre Breton dan Sigmun Freud.

Dengan demikian, Paz melihat gerak perubahan bagai roda berputar. Bahwa apa yang disebut masa lalu dan masa kini sepertinya hanya pengulangan yang tiada henti. Kalaupun ada yang hilang, itu ulah delusi politik yang tunduk dalam ideologi.
_



Komentar

Postingan Populer