Ketika Media Semakin Cepat, Maukah Kita Berhenti Membaca

Resensi buku Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan
Dok. Kamar Bawah, 2018

Kita sudah tiba di era ketika hantu media bukan lagi pembredelan melainkan media itu sendiri. Tidak ada lagi media yang dibungkam sehingga sastra perlu berbicara. Kredo lampau yang pernah digelorakan Seno Gumira Adji Darma telah menjumpai titik penghabisan.

Media cetak menjumpai senjakala kemudian media daring tumbuh begitu cepat. Persis di situlah media saling berebut ruang. Mendesak mengetuk pintu rumah kita dan, sialnya, dengan pengetahuan minim, tawaran media daring yang bejibun itu dimakan mentah-mentah kemudian membagikannya sebagai perisai menutupi – memperkuat asumsi kita.

Media menjadi alat memperkuat kubu-kubuan yang berseteru. Peduli setan dengan kode etik pemberitaan. Kita ingat waktu Pilpres 2014 aroma yang demikian sungguh menyengat. Menu pemberitaan berpangkal pada hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Kita dipaksa menjadi genit mengomentari isi pemberitaan dengan pilihan yang sudah ditentukan: muak, nyinyir, tertawa, atau menepuk jidat. Kita lantas bertanya, apakah ini yang disebut kebebasan bependapat?
_
Lahirnya pemberitaan di media tentu bukan tanpa tendesi, karena itulah patut untuk selalu mencurigainya. Anasir semacam inilah yang hendak diutarakan Rusdi Mathari dalam kumpulan esainya yang dibukukan ke dalam: Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan.

Esai dalam buku ini merentang dari tahun 2006 hingga 2016 dan mulanya dipublikasikan dalam status di Facebook, media daring, makalah dalam pelatihan dan utamanya di Blog pribadi: rusdimathari.com. Catatan penyunting, Wisnu Prasetyo Utomo sudah gamblang menjelaskan kedudukan buku ini. Yakni sebagai otokritik terhadap jurnalisme.

Muatan esai Cak Rusdi, sapaan akrabnya, utamanya sekali menitikberatkan pada perlunya etika jurnalisme. Ia giat mengamati pemberitaan di dalam negeri maupun media dari luar. Kesemua itu menunjukkan posisi Cak Rusdi sebagai jurnalis yang menguasai profesinya. Referensinya luas, baik teori maupun praktik.

Dengan metode penulisan bertutur memudahkan kita memahami topik yang sedang diulas. Kredo kalau jurnalisme bukan kuasa wartawan perlu dipahami sebagai otokritik atas media arus utama yang lalai mengabarkan situasi penting. Patok ini, Cak Rus terilhami oleh Wael Abbbas Blogger asal Mesir yang meraih Knight International Jurnalism Award di tahun 2007.

Kiprah Wael bermula ketika pergolakan menentang Presiden Husni Mubarak memuncak menjelang pemilu di negara itu di tahun 2005. Wael yang sudah menggunakan Blogger setahun sebelumnya merasa perlu ambil bagian dalam mengabarkan situasi yang tidak disajikan media besar di Mesir.

Berkaca dari itu, Cak Rus menilai kalau banyak media yang tidak bekerja berdasarkan asas jurnalisme dan sebaliknya, pewarta seperti Wael, misalnya, yang tidak terikat dalam media justru menampilkan kerja jurnalisme.

Dari dalam negeri, hal itu bisa dilihat dari pemberitaan mengenai pengakuan Noordin M Top di Blog bernama Bushro kaitannya dengan aksi pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2007. Cak Rus tergelitik atas pemberitaan media arus utama yang dianggap sekadar mengejar kecepatan tanpa akurasi.

Bermula dari Wicaksono, Blogger sekaligus wartawan Tempo yang mempertanyakan akurasi berita dan account Blog Bushro itu yang dimuat pertama kali di detik.com yang kemudian disusul pemuatannya oleh Tvone.co.id, Tempointeraktif.com, Kompas.com, dan Vivanews.com di hari yang sama dengan perbedaan durasi waktu saja.

Wicaksono dalam Blognya meragukan rilis pengakuan dari Noordin M Top dan menduga kalau yang mengambil foto di Blog itu adalah orang yang sama dengan pemilik Blog Bushro. Terlepas dari dugaan yang masih bisa diperdebatkan secara teknik. Cak Rus menilai tetap saja ada keganjalan dari analisis durasi pemuatan berita dari media yang telah memuatnya.

“…Dalam beberapa hal, para wartawan itu bahkan bisa dituding telah bersepakat untuk sengaja “menciptakan” berita demi berita itu sendiri.” Tulis Cak Rus di akhir esainya yang berjudul: Mencari Bushro Lewat Wicaksono.

Sejarah Hoax

Hantu yang paling menyeramkan dalam media ialah berita palsu atau publik lebih mengenal luas bahasa Inggrisnya: hoax. Bermula ketika buku karangan Clifford Michael Irving, reporter investigasi asal Amerika Serikat tentang biografi Howard Hughes difilmkan.

The Hoax, demikian judul film itu yang diproduksi tahun 2005. Irving menilai kalau muatan film itu tidak sesuai dengan buku yang ditulisnya. Banyak yang dihilangkan atau diubah untuk kepentingan film itu sendiri. Puncak protes Irving, ia meminta namanya tidak dimasukkan dalam kredit film. Pernyataan Irvin itulah kemudian yang menyebar luas dan menjadi istilah baru dalam proses mengabarkan kebohongan.

Tentu kita sering membaca berita dengan lead dan angle yang hampir serupa. Hal itu bukan hal biasa lagi. Mengapa bisa demikian, Cak Rus menyebutkan kalau perilaku demikian merupakan kemiskinan wartawan mengetahui kode etik jurnalistik dan redaktur mereka malas melakukan kontrol.

Sebagai wartawan, Cak Rus tentu tahu betul kalau ada wartawan yang biasa saling bertukar catatan reportase dalam membuat berita. Ia analogikan kalau ada wartawan A meliput di acara Y dan wartawan B meliput di acara X. wartawan A dan B kemudian saling menukar catatan untuk media mereka. Ironisnya, meski wartawan A tidak meliput di acara X, beritanya tetap muncul menggunakan namanya. Begitupun sebaliknya. Bagi Cak Rus, perilaku demikian adalah kloning berita dan merupakan kategori kebohongan yang dilakukan wartawan.

Danu Priyambodo yang dikutip Cak Rus mengamini istilah The Clicking Monkeys yang dituliskan Pemimpin Redaksi Tempo.co tersebut. Anasir ini mengacu pada perilaku orang yang gemar membagikan berita tanpa perlu mengecek kebenaran berita. Bagai seekor monyet yang melempar buah busuk di hutan. Monyet yang menerima buah busuk itu kemudian dilempar lagi ke monyet yang lain. Begitu seterusnya.

Hal ini tak jauh berbeda dengan wartawan yang gemar merekayasa isu dan disebar lagi oleh wartawan yang lain sehingga menjadi ramai dalam pemberitaan. Publik yang membaca berita itu lantas menerimanya sebagai sesuatu yang benar karena banyak media yang mengangkatnya. Apalagi jika ada media besar yang kepincut dan tidak ingin ketinggalan.

Pangkal dari semua itu tentulah berhulu pada media itu sendiri yang berlomba berebut pembaca agar bisa melakukan akumulasi kapital dari iklan. “…Media telah menjadi industri bak pabrik tahu…” Sitir Cak Rus.
_
Membaca keseluruhan esai Cak Rus di buku ini membawa kita pada pertanyaan: Apa gunanya semua informasi yang semakin cepat itu jika tidak memanusiakan? Mungkin agak moralis. Tetapi ini perlu agar pewarta dan penerima informasi saling berdaya guna.
Cak Rus tidak meminta kita berhenti membaca informasi dari media. Namun, jika media hanya menjadi tempat sampah kebohongan dan jauh dari kaidah jurnalistik. Pada saat itulah media perlu dikritik dan ditolak untuk dibaca.

Menjadi pertanyaan pula, mengapa sebagian besar esai ini dipublis Cak Rus pertamakali di Blog dan di laman Facebooknya dan tidak mengirimkannya ke media arus utama, misalnya. Apakah Cak Rus yang sebagian besar hidupnya dihibahkan untuk dunia jurnalisme sudah tidak percaya dengan media.

Tentu Cak Rus sudah tidak bisa menanggapinya. Ia sudah berpulang pada 2 Maret lalu. Buku ini sendiri merupakan upaya dari teman-teman atau orang-orang yang tergugah dengan pemikiran Cak Rus untuk mengawetkannya ke dalam buku.
_


Komentar

Postingan Populer