Tiket Perjalanan Pep di Saku Celana Simeone
SIMEONE datang bersama pasukannya di Allianz Arena membawa bekal secukupnya. Sadar kalau tuan rumah tidak bakal berbelas kasih. Simeone tidak punya alasan sedikit pun untuk mengemis. Pantang bagi seorang lelaki Argentina di perantauan.
Perangai keras itu dipahami Pep. Simeone bukan lelaki romantik yang membaca novel Agatha Christie dan bisa diajak ngobrol di meja cafĂ© membicarakan detail suatu peristiwa. Simeone tahu kalau Pep, sebagaimana orang Spanyol pada umumnya membumikan pesan Miguel de Cervantes, novelis termasyhur mereka. “Ceritakanlah tentang teman sepergaulan Anda, maka akan saya ketahui siapa Anda.”Quotes pengarang novela Don Quixote itu.
Simeone akan menolak diplomasi di atas meja seraya meneguhkan diri dan mengingatkan Pep dengan kutipan dari Che Guevara: “Nyali sama harganya dengan nyawa. Jika itu hilang, niscaya tak ada gunanya kau hidup!” Simeone tidak akan membeberkan rahasia timnya. Semuanya baru disaksikan di atas lapangan.
Nyalilah yang mengantar Atletico membongkar peta sepakbola dunia. Tim ini meruntuhkan kejayaan sepakbola indah Barcelona. Memecundangi imitasinya, Bayern Munchen dengan sentuhan seorang pemain saja. Di sisa waktu menuju Inggris, Pep dibuat cemas. Kelak, dengan cara apa dirinya akan dikenang publik Munchen jika The Bavarian dikubur di kandangnya sendiri.
Inilah pertarungan kaum strukturalis pragmatis melawan cendekiawan populis. Simeone menjalankan sepakbolanya mengikuti rel yang ada dengan tujuan jelas. Bagi Pep, sepakbola tak bisa dipandang sebatas menyaksikan sebelas pemain menjaga posnya masing-masing. Sepakbola demikian hanya ada di pelajaran olahraga di bangku sekolah dasar.
Pep mengutuki nasibnya sendiri ketika memilih Jerman, tepatnya lagi, klub yang baru saja meraih tiga gelar untuk ia singgahi. Sialnya, ia harus bisa membuktikan bahwa pemikirannya mampu mengulang kejayaan itu. Ia berkelahi dengan mimpi-mimpinya sendiri layaknya Don Quixote, tokoh rekaan Miguel de Cervantes.
Tidak ada cara lain bagi Pep menghadapi si keras kepala, Simeone. Bayern Munchen harus menang telak. Tetapi, jika Pep masih bertindak layaknya ilmuwan yang doyan bereksperimen. Maka itu jalan bagi pasukan Simeone melangkah ke final. Pep, akan berangkat ke Inggris menukani Manchester City, di mana Simeone baru menyerahkan tiket perjalanan lelaki botak itu, satu atau dua jam sebelum pesawat berangkat. Jika sempat, Simeone, mungkin, akan mengulang cerita Don Quixote. Kesatria konyol yang percaya pada mimpi.
Sakit sekali rasanya melihat Robert Lewandowski berlari keluar masuk kotak penalti. Seolah dia sedang jogging saja dan lupa kalau sedang bermain bola di pertandingan resmi. Semua aliran bola yang menuju kepadanya dapat dipotong.
Satu hal yang harus diterima. Memeragakan sepakbola tanpa playmaker merupakan berondongan peluru ke dalam lumpur. Tidak jelas apa yang dikenai. Beberapa tahun terakhir di gelanggang sepakbola klub Eropa, sosok pengatur serangan tunggal sudah mati. Apa yang diterapkan Pep, baik dulu di Barcelona lalu di Munchen, ialah sadur ulang metode Jhon Cruyff. Sejauh ini memang, Eropa belum bisa lepas dari bayang legenda Belanda tersebut. Konsep Total Football terus menggema seiring pengagumnya menghidupkan.
Di timnas Argentina, Simeone merasakan bermain bersama Ariel Ortega dan Juan Sebastian Veron. Dua gelandang beda tipe. Satu mengandalkan kecakapan individu. Sedangkan Veron bertumpu pada kejeliannya melihat pergerakan penyerang.
Simeone menjadi penyokong keduanya. Ia berdiri di atas bek selaku gelandang bertahan. Posisinya tentu saja vital untuk memastikan bek tidak lengah dan pasokan bola ke gelandang serang terjamin. Di Atletico, Simeone memasang Tiago Mendes di posisi transisi itu. Di leg pertama, celah tersebut tidak dimanfaatkan Munchen, padahal pemain asal Portugal itu absen.
Pep bukannya tidak memahami posisi gelandang perusak. Kala masih aktif, ia juga bermain di posisi yang sama. Maka tidak berlebihan jika dia memasang Xabi Alonso dan Martines bersamaan. Situasinya, di depan mereka, Vidal dan Douglas Costa bukanlah tipikal pengatur serangan. Keduanya eksekutor sadis yang lebih senang mengandalkan stamina ketimbang otak. Tinggallah Alcantara bingung sendiri tidak memiliki tandem untuk menyokong pergerakan Lewandowski.
Cederanya Robben dan belum maksimalnya permainan Ribery, memaksa Pep menitikberatkan serangan dari tengah. Jalur yang justru dikuasai Atletico. Tendangan keras mengarah ke gawang dengan mudah dipatahkan Jan Oblak. Jika membaca ulang proses membobol kiper Atletico yang dilakukan tim yang berlaga di Champions maupun di La Liga, lebih banyak serangan dari dua sisi lapangan.
Laga ini sekaligus mempertemukan kembali Lahm dan Torres, dua sosok yang bertanggung jawab di final Euro 2008. Si Kurcaci, julukan Lahm, gagal menghalau terjangan El Nino, sapaan Torres, sehingga ia menceploskan satu-satunya gol ke gawang Jerman yang dikawal Jhens Lehmann.
_
*Esai ini masih rangkaian dari perjumpaan Atletico Madrid dengan Bayer Munchen di semifinal Liga Champions musim 2015-2016. Kali ini pasukan Pep kedatangan tamu anak asuhan Siomoene dalam menjalani leg kedua.
Pernah dimuat di gotimes.id edisi 3 Mei 2016 (Website ini telah Off)
Komentar