Setelah 14 Tidak Ada Lagi

Mengenang Cruyff
Repro. Kamar Bawah. Sumber gambar di sini


IVAN Zamorano, legenda sepakbola Chili harus menanggalkan nomor punggung 9 ketika Ronaldo direkrut Intenazionale Milan di tahun 1997. Padahal, Zamorano yang lebih awal bergabung setahun sebelumnya telah menggunakan angka yang identik dengan posisi penyerang itu.

Angka memang memiliki daya magis tersendiri. Seolah masih ingin menggunakan nomor 9. Zamorano secara khusus menggunakan kaus bernomor 18 dengan simbol + di selah angka 1 dengan 8. Jika ditambahkan maka menjadi 9. Sakit memang, karena tidak mungkinlah dalam satu tim ada pemain menggunakan nomor punggung yang sama.

Jika membandingkan jumlah gol yang dicetak ketika masih di Real Madrid, pencapaian yang ditorehkan Zamorano jauhlah berbeda. Hanya 27 gol dari 102 kali tampil. Sedangkan di El Real, dengan durasi kontrak yang sama, empat tahun. Pemain yang dikenal dengan gaya dobraknya itu mampu melesakkan 77 gol dari 137 bermain. Zamorano tidak menampik kalau angka 9 punya pengaruh dalam visi bermain.

Sejak diperkenalkan oleh klub Arsenal di tahun 1928 ketika menjalani pertandingan melawan Shefield Wednesday di putaran Divisi Satu Liga Inggris. Penggunaan nomor punggung yang mulanya sebatas menandai jumlah pemain terus berkembang hingga menjadi identitas si pemain.

Misalnya saja, Maradona dan Pele, dua legenda sepakbola dari Argentina dan Brasil selalu menggunakan angka 10. Meski di gelaran Piala Dunia tahun 1982, Argentina menetapkan aturan penggunaan nomor punggung berdasarkan abjad nama pemain, Maradona bersikukuh menggunakan angka 10. Yang sebenarnya jika menurut abjad, harusnya menggunakan angka 13 jika ukurannya dimulai abjad M atau nomor 4 bila memulai dari D. Sebagaimana rekannya, Ardiles, memakai angka 1 meski posisinya bukan kiper.

Filsuf asal Perancis, Roland Barthes, secara sederhana dalam kajian semiotiknya mengenalkan istilah yang disebut denotasi yang berarti makna sesungguhnya dari fenomena yang selama ini dilihat. Jika melihat pemain menggunakan angka 10 atau 9, asosiasi ingatan kita akan mengarahkan kalau pemain tersebut menempati posisi gelandang serang untuk nomor 10 dan penyerang murni bagi nomor 9.

Penggunan angka dari 1 hingga 11 sudah dipahami perannya masing-masing. Bahwa mulai 1 hingga 5 merupakan pemain bertahan. 6, 8, 10, dan 11 kadang identik dengan pemain tengah. Dan, angka 7 dan 9 menempati ujung tombak. Namun, 11,dan 8 bisa juga digunakan seorang penyerang.

Dalam perkembangannya, tentu saja mengalami pergeseran realitas. Sebab sistem sepakbola tidaklah kaku. Kariem Benzema, pemain asal Perancis menggunakan angka 10 bila bermain di tim nasional, tetapi tidak menempati posisi pengatur serangan. Perannya tetap sama ketika membela klubnya, Real Madrid sebagai penyerang. Steven Gerrard juga menggunakan angka 4 di timnas Inggris.

Hilir mudik penggunaan angka-angka oleh pemain di klub atau di tim nasionalnya masing-masing sudahlah biasa dan menjadi pengulangan saja. Menjadi lain, ketika dahulu Michael Ballack mengenalkan angka 13 di Jerman dan Alesandro Nesta di Italia. Hingga kini, pemain yang masih aktif menggunakan nomor yang, konon sial itu tidak banyak yang memakainya. Terpopular hanya Thomas Muller di Jerman dan Bayern Munchen. Selebihnya, sulit diingat.

Jauh sebelumnya, di dekade 1960 hingga 1980 an. Filsuf bola pengaplikasi Total Football di lapangan selaku pemain atas arahan pelatih Rinus Michels, Johan Cruyff, melawan arus penomoran berdasarkan posisi. Meski memang di era itu nomor punggung belumlah menjadi identitas. Namun, unik saja, sebab Cruyff memulerkan angka 14 sebagai pemain berposisi gelandang serang dan juga penyerang.

Selama aktif bermain, angka 14 dominan ia gunakan di timnas Belanda. Dan kini, jarang untuk dikatakan tidak ada sama sekali pemain yang akan diingat pengguna nomor 14 yang brilian. Penerus Pele atau Maradona tentu sering didengar. Tetapi tidak ada ungkapan penerus Cruyff.

Pemain yang punya andil membawa Belanda ke laga final Piala Dunia 1974 itu tidak mewariskan angka keramat bagi pemain selanjutnya. Sepertinya muruah angka 14 tidak menarik bagi pemain setelahnya. Berbeda sekali dengan angka 10 atau 9. Cruyff memang dikenal pemain rasionalis. Menolak membentuk tanda salib di dada sebelum bermain karena baginya tidak ada Tuhan dalam sepakbola. Jika Tuhan dilibatkan, harusnya pertandingan mesti berakhir seri. Karena di situlah keadilan Tuhan

Angka 14 yang dipilih Cruyff menabalkan kembali kalau sepakbola adalah usaha manusia rasional. “Pilihlah pemain terbaik untuk setiap posisi, dan kita tak akan memiliki satu kesebelasan yang kuat, namun sebelas pemain yang kuat sendiri-sendiri.” Pernyataan Cruyff ini mengajak untuk melihat betapa ego setiap pemain itu ada. Bukankah angka tertentu yang dimitologikan menujukkan arah ke sana.

Sebagai penganjur TotalFootball, Cruyff sungguhlah mengimpikan tim yang solid dan bukan pemain yang menonjol seorang diri. Meski pemilihan angka 14 bukanlah bersandar pada rasionalitas, melainkan karena rekannya di Ajax, Gerrie Muhres, kehilangan kostum saat ingin bertanding. Cruyff menawarkan nomor 9 miliknya dan ia sendiri memilih kaus bernomor 14 dari kaus yang tersisa.

Bagi Zamorano dan sejumlah pemain yang lain yang meyakini adanya mitologi di balik angka. Pada dasarnya berlaku juga bagi Cruyff. Setelah mengalahkan PSV di laga di tahun 1970 itu, Cruyff bahagia menggunakan angka 14 hingga melakat pada dirinya.

Setelah pensiun sebagai pemain di tahun 1988 dan wafat pada 24 Maret 2016, di panggung sepakbola dunia tidak ada lagi angka 14 menjadi momok. Cruyff pergi bersama angka 14. Nomor punggung yang dipilihnya bukan karena ingin menanam benih mitos, tetapi berdasar pada rasionalitas. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, nomor 14 dipilih karena situasi saja menjelang pertandingan. Meski kemudian dengan nomor 14 itulah ia diingat selaku pesepakbola brilian di zamannya.
_

*Ditulis mengenang Johann Cruyff
Pernah dimuat di gotimes.id edisi 28 Maret 2016 (Website ini sudah Off)



Komentar

Postingan Populer