Saya Tidak Akan Keluar Dari Grup WhatsApp yang Telah Membesarkan Nama Saya
![]() |
Repro. Kamar Bawah |
Ini bukan perkara mudah. Jalan pulang ke masa lalu bukannya menuntaskan rindu, malah menambah beragam keruwetan. Semua bermula ketika Facebook tak lagi menjadi pusat pertukaran informasi dan menemukan teman-teman di masa lalu. Masa ketika masih bocah ingusan berseragam merah hati dan putih.
Saya memulainya dari sekolah dasar, karena tidak pernah masuk taman kanak-kanak. Jadi begini. WhatsApp telah menyatukan semua lapisan pertemanan yang pernah ditapaki. Awal mula menggunakan WhatsApp, saya sudah membayangkan bakal menghadapi hal-hal yang nantinya menambah tantangan. Keyakinan itu saya simpan dalam-dalam mengingat baru sebulan saja, grup WhatsApp yang saya ikuti sudah puluhan meski dengan orang-orang yang itu-itu saja.
Di grup A, misalnya, saya terlibat dengan sepuluh teman yang sama. Sedangkan di grup B, satu teman tidak menjadi anggota. Lalu di grup C, teman yang tidak masuk di grup A malah menjadi admin. Begitu seterusnya hingga grup D, E, F, G, H, I, J, K dan L. Mengapa saya tahu, karena saya berada di semua grup itu.
Kadang saya merenung. Apa untungnya memiliki grup WhatsApp yang banyak dengan lalu lintas informasi yang itu-itu saja. Salah satu anggota di grup A pernah membagikan satu konten Pojok (baca pojok) tentang sepeda motor Honda (type apa saja,) karena di grup itu ada anggota yang bapaknya memakai sepeda motor itu. Kemudian salah satu anggota di grup A membagikannya lagi ke grup B. Berharap penghuni grup itu memiliki referensi humor.
Bisa ditebak kelanjutannya. Dari grup B, konten itu berpindah ke grup C. Dari C ke D lalu E kemudian ke F, G, H, I, J, K, L dan ke A lagi. Untunglah grup WhatsApp yang saya ikuti tidak sampai berlipat ganda hingga Am. Sebab jika demikian, hits Kuburan Band tentang not lagu itu bakal hits kembali di lingkaran per-WhatsApp-pan yang saya ikuti.
Ini berlaku pada pertukaran informasi dari website yang lain. Alurnya sama dengan pola di atas. Kadang bermula dari grup G ke B lalu ke L dan seterusnya.
Per-grup-an WhatsApp yang saya kisahkan ini baru satu lingkar pertemanan. Belum lagi tahap pertemanan masa sekolah. Namun, jika saya hitung-hitung, tetap saja belum berlipat ganda hingga mencapai Am. Yang bisa saya pastikan, hape saya perlu untuk selalu dicas dan tentu saja grup WhatsApp yang lumayan banyak itu melelahkan.
Membuat grup WhatsApp itu memang mudah. Tidak membutuhkan izin dari Kapolres dan Kodim setempat. Mencari anggota sesuai klasifikasi pertemanan juga sama mudahnya. Saya rasakan ketika membuat grup khusus teman SD, SMP, SMA, dan masa Kuliah. Cukup memasukkan tiga atau empat orang saja. Maka anggota awal itu selanjutnya bergerilya mencari teman-teman yang lain. Jika ada teman yang belum menggunakan WhatsApp karena belum mengunduh ataukah ia masih setia memakai Nokia 3310 keluaran pertama. Untuk kasus yang terakhir ditempuh jalan saweran untuk membelikannya hape android. Begitu pentingnya itu WhatsApp.
Satu hal. Walau WhatsApp berhasil menyatukan lapisan pertemanan. Lama kelamaaan membosankan dan lumayan menganggu. Seminggu dua minggu semua berbahagia dengan cerita masa lalu. Selanjutnya, memasuki usia satu atau dua bulan, sudah banyak anggota mengeluh dan memilih keluar. Alasan paling jamak tentu saja mengenai daya tahan batrei hape dan daya tampung memori. Alasan lain, ya soal lalu lintas informasi yang itu-itu saja yang digilir dari satu grup ke grup yang lain.
Tidak semua grup WhatsApp itu inisatif saya. Di antaranya saya sebatas terdaftar saja dan jarang menanggapi obrolan yang berlangsung. Hal demikian berbanding terbalik di grup yang lain. Saya menjadi paling cerewet. Grup itu menjadi tempat buang sampah. Beragam hal saya obrolkan dengan beberpa teman di sana yang mulutya juga bercap ember.
Keluhan dari anggota yang lain tentu saja ada dan mengancam akan keluar. Di beberapa kesempatan ia memang memilih keluar lalu dimasukkan lagi. Saya bisa merasakan keresahannya sebagaimana saya alami di grup yang lain. Di grup itu berkali-kali saya keluar dan dimasukkan kembali hingga saya menyimpulkan, kalau satu-satunya cara agar saya tidak tergabung di grup itu lagi, yakni berhenti menggunakan WhatsApp.
Meski saya diam di salah satu grup. Saya merasakan sisi positif juga. Diamnya saya serasa menjaga kewarasan dalam membaca selera teman-teman di sana. Sedikit banyaknya telah membantu saya tertawa sendiri membaca obrolan yang berlangsung. Di situlah saya merasa memiliki tempat tersendiri sembari tetap berusaha bagaimana caranya keluar tanpa berhenti menggunakan WhatsApp.
Tetapi, semua berubah ketika suatu hari seorang anggota membuat kuis dengan hadiah yang lumayan. Dan, tahukah kalian, siapa yang berhasil menang. Tentu saja bukan saya karena tidak menanggapinya. Seorang anggota yang berambisi menang kuis menjapri saya meminta jawaban.
Jawaban yang saya berikan rupanya mengantar teman saya memenuhi ambisinya. Ia sangat senang dan kembali menjapri saya. Katanya, ia akan menjadikan salah satu admin grup. Ya, Tuhan. Ini sungguh di luar dugaan. Sejak saat itu. Saya berjanji tidak akan keluar dari grup yang telah membesarkan nama saya.
Setelah saya menjadi admin. Saya tidak diam lagi. Saya memelopori kecerewetan di sana yang membuat anggota yang lain berniat ingin keluar. Hal yang sering terjadi di grup-grup yang lain. Halah
_
Pernah dimuat di DitolakRedaktur
Komentar