Persoalan Pembalut

Mesin pembuat pembalut
Repro. Kamar Bawah. Sumber gambar di sini

“Di mana ada kemauan, di sana ada jalan. Di mana ada kemaluan, di sini ada persoalan”

Pidi Baiq
_

Sekali waktu saya pernah disuruh kakak perempuan ke toko kecil (ga'de) di kampung untuk membeli sesuatu. Saya dibekali uang dan secarik kertas. Kakak saya berpesan tidak perlu bertanya, perlihatkan saja secarik kertas itu, penjualnya sudah paham.

Di perjalanan pulang melewati pos ronda, seorang pemuda bertanya tentang apa yang saya bawa. Pemuda yang lain sontak menjawabnya roti. Lalu semua tergelak. Saya diam saja karena tidak paham.

Ingatan di masa kecil itu terngiang kembali usai menonton film Padman. Seiring usia beberapa hal lampau yang belum terpahami perlahan mulai tersingkap. Keengganan kakak perempuan saya membeli pembalut dapat dimaklumi. Lelucon lelaki bisa menjadi kekerasan seksual. Perempuan menyimpan rahasia dibalik aktivitas tubuhnya. Hal paling intim dari reproduksi ketika sudah mengalami puberitas.

Bagi Lakshmi, diperankan Akshay Kumar, seorang lelaki dan suami dibatasi juga terbatasi untuk mengetahui lebih dalam menyangkut apa yang perlu dilakukan jika perempuan mengalami menstruasi. Sekali itu istrinya sendiri.

Rasa ingin tahu yang mendalam perihal cara yang dilakukan istrinya, Gayatri (Radhika Apte) ketika sedang menstruasi mengantarnya bertindak layaknya seorang ilmuwan dengan seribu satu macam uji coba. Padahal ia sendiri hanyalah tukang las.

Kain yang digunakan Gayatri atau adik perempuan, dan tindakan serupa yang dilakukan semua perempuan di desanya dalam menangani menstruasi menurut Lakshmi harus dihentikan. Ia prihatin kepada istrinya yang harus tidur di luar setiap kali menstruasi. Jika masa menstruasi yang biasanya berlangsung lima hari, maka selama itu pula perempuan harus tidur terpisah dari penghuni rumah yang lain. Kekhawatiran Lakshmi juga mengenai pembalut kain yang dipake berulang.

Populasi penduduk dan kemiskinan berbanding lurus di India, ketika Gayatri mengutarakan penggunaan kain sudah tradisi hanyalah kegagapan menutupi ketidakmampuan ekonomi. Ia menolak menggunakan pembalut seharga 55 Rupee yang dibelikan suaminya.

“Mengapa barang yang ringan ini justru sangat mahal,” Lakshmi bertanya pada dirinya sendiri. Ia mulai membangun keraguan. Pembalut mahal itu disobek dan memeriksa bahan bakunya. Ia lalu melakukan uji coba sendiri membuat pembalut dari kain yang diisi kapas untuk dihadiahkan ke istri. Sial, itu tidak berguna. Gayatri malah harus bangun sepanjang malam mencuci kain sarinya. Berhentika Lakshmi mengurusi menstruasi istrinya. Tidak. Ia malah semakin tertantang.

Pembalut buatannya lalu dibawa ke mahasiswi kedokteran untuk proses uji coba. Setelah menerima penolakan dan diusir satpam, ada juga seorang mahasiswi yang mau membantunya. Si mahasiswi mencoba meyakinkan teman-temannya dan segera mendapat penolakan karena tidak memiliki label.

Emansipasi

Kita perlu menanyakan ulang makna emansipiasi. Sebenarnya siapa yang yang berada dalam posisi tidak berdaya. Apakah lelaki sebagai tubuh atau perempuan. Tindakan Lakshmi dianggap tabu karena memasuki urusan perempuan. Namun, bukankah ide yang ditawarkan justru sebagai solusi bagi masalah perempuan.

Lantas mengapa bukan dari perempuan yang menemukan solusi brilian atas masalahnya. Proses selanjutnya, Laksmi terus mengembangkan inovasi pembuatan pembalutnya. Ia harus mengatasi dua masalah sekaligus. Daya serap pembalut dan biaya.

Lakshmi tertantang membuat pembalut dengan harga terjangkau dan kalau bisa perempuan bisa membuatnya sendiri sesuai kebutuhannya. Ilham dari petuah pemilik bengkel las tempatnya bekerja menjadi proses kesadaran: “Jangan mengerjakan sesuatu yang terlihat benar, tetapi bekerjalah untuk hasil yang benar.”

Lakshmi tidak menyadari posisinya yang di luar (lelaki) sebagai penawar solusi. Niat baiknya tetap saja dianggap tabu. Kakak perempuannya sendiri merasa malu ketika ia datang hendak menawarkan pembalut. Puncaknya ketika ia harus berendam ke sungai yang disucikan masyarakat karena pembalut buatannya ia pakai sendiri dengan kantong darah buatan rupanya merembes keluar. Pun ia pernah membuat gaduh di tengah malam akibat ulahnya menawarkan pembalut buatannya kepada anak gadis tetangganya.

Hukuman adat harus ditanggung. Ia harus pergi meninggalkan desa. Istri kembali ke keluarganya, dan keluarganya: ibu dan dua adik perempuannya juga harus minggat dari desa. Tetapi, Lakhsmi tak bergeming. Ia pergi bersama idenya yang terus hidup.

Ungkapan Pidi Baiq dalam lirik lagunya, Cita-Citaku yang dinukil di awal catatan menemukan konteksnya. Lakshmi menganggap kalau kemaluan adalah persoalan yang perlu dicarikan solusi. Dan kemauan kerasnya menemukan jalan.
_

Kedudukan lelaki dalam budaya patriarki berada dalam posisi superior. Bentuk-bentuk kemarahan perempuan biasanya disampaikan ke medium simbolik. Lakshmi di tengah kultur patriarki adalah pengecualian. Ia tak pernah membentak istri dan malah sangat peduli. Dokter yang menangani rekannya akibat kecelakaan kerja dibuat kagum. Lakshmi memberikan pertolongan pertama menangani luka dengan membalutnya dengan pembalut mahal yang ditolak dipakai istrinya.

Di tengah kebingungan, Laksmi tertolong kehadiran perempuan bernama Pari (Sonam Kapoor). Usai berhenti sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang professor, ia mencoba sendiri membuat mesin pembuat pembalut. Fase bekerja di rumah professor itu sendiri bagian dari ilham dari tekad kuatnya untuk terus belajar.

Dari rumah professor ia peroleh informasi dari Google mengenai mesin dan terbantukan dari anak professor ketika memesan bahan baku pembalut ke Amerika Serikat melalui saluran telepon umum yang, sesungguhnya bukanlah dari kapas melainkan serat selulosa.

Meski Lakshmi bisa disebut pengecualian dalam kultur patriarki, tetap saja superioritas lelaki yang selalu ingin menjadi pelindung bagi perempuan tetap ada dalam pikiriannya. Di hadapan professor ia berucap: “Bagaimana bisa seseorang disebut lelaki jika tidak mampu melindungi seorang perempuan.” Nyatanya, Lakshmi tak bisa menyelesaikan persoalannya sendiri dan membutuhkan bantuan.

Hadirlah Pari dalam kehidupannya. Pari merupakan anak perempuan seorang dosen di IIT Delhi. Di suatu malam selepas tampil dalam konser permainan tabla, instrumen musik gendang yang popular di India. Ketika Pari dan temannya mencari apotek untuk membeli pembalut, ia berjumpa dengan Lakshmi, lewat basa-basi, Lakshmi tahu kalau yang dibutuhkan perempuan itu adalah pembalut. Segera saja Lakshmi mengeluarkan benda itu dari saku celananya.

Bermula dari kejadian itulah hubungan Lakshmi dan Pari terjalin hingga Lakshmi menerima penghargaan khusus dari Presiden atas idenya menciptakan mesin pembuat pembalut dalam kontes inovator se India dan fotonya bersama Presiden termuat di koran. Kakak lelaki Gayatri yang membaca berita itu justru semakin heran. “Pembuat sampah malah mendapat penghargaan,” ketusnya.

“Jika Amerika Serikat punya Superman, Spiderman, dan Batman. Maka India punya Padman.” Ujar Presiden yang diperankan Amitabh Bachchan. Lakshmi adalah Padman itu. Mesin ciptaannya tidak hanya membebaskan perempuan miskin di India dalam kungkungan tradisi tetapi juga memerdekakan karena pembalut ciptaannya hanya seharga 2 Rupee.

Warga desa tempat Lakshmi menetap sementara juga dibuat terjebak dalam euforia yang tidak mereka pahami karena hanya membaca berita foto di halaman pertama dan tidak membaca berita penjelasannya di halaman berikutnya. Penghargaan yang diraih Lakshmi dikiranya bukan atas idenya menciptakan mesin pembuat pembalut. Pesta penyambutan berakhir menjadi penghakiman setelah Lakshmi menyerahkan pembalut kepada seorang perempuan. Sekali lagi, seorang lelaki tabu mencampuri urusan menstruasi perempuan.

Tribute

Film Padman merupakan adaptasi atas kiprah Arunachalam Muruganantham, wirausahawan sosial dari Coimbatore, Tamil Nadu. Dari mesin ciptaannya, ia mampu memberikan solusi atas praktik yang tidak higienis bagi perempuan di desa ketika sedang menstruasi.

India bukan hanya negara dengan penduduk terbanyak di dunia, tetapi juga kaya dengan tradisi dan pengetahuan simbolik. Warisan itu berpengaruh pada situasi kehidupan yang terus begerak. Konteks film bukan berada dalam fase waktu di masa lalu, melainkan sudah dalam zaman melenial.

Lakhsmi yang tak pernah menyentuh komputer di desanya tentu heran ketika anak professor membantunya mencari tahu serat selulosa di internet. Begitu mudahnya menemukan informasi tanpa perlu mendaftar di universitas. Padahal maksud Lakshmi bersedia menjadi pembantu di rumah professor supaya ia bisa mengajukan tanya kepada professor.

Tawaran professor supaya Lakshmi membeli mesin pembuat pembalut ditolak oleh Lakhsmi. Baginya, alat mahal itu bukan solusi yang sedang ia cari. Lewat mesin mahal itu, ia hanya mengambil poin pentingnya dan, ia merancang mesinnya sendiri.

Lakshmi membutuhkan teknologi tepat guna. Berbekal modal pinjaman dari usahanya memijat, ia terus belajar mengembangkan dan memungut inspirasi dari pengamatannya. Ketika hasil akhir pembalutnya sudah sesuai standar pembalut yang dijual di pasaran. Dapat menyerap dengan baik. Tibalah ia pada dilema dari inti masalahnya.

Gayatri gagap memahami upayanya, Lakshmi dianggap tidak berubah karena masih ngotot mengurusi menstruasi. Kita kemudian dihadapkan pada bentuk emansipasi. Siapa yang membutuhkan siapa. Apakah lelaki yang terjebak dalam mitos untuk selalu melindungi ataukah ia membutuhkan perempuan sebagai parner dalam memecahkan masalah.

Persisnya memang di situ. Pari menolak melanjutkan wawancara untuk kariernya karea Lakshmi meneleponnya. Ia tahu kalau Lakshmi yang semula menolak idenya untuk mematenkan mesin temuannya itu membutuhkannya. Penjelasan Pari kalau dari 500 juta perempuan di India haya 12 persen yang menggunakan pembalut. Pari sudah menangkap keuntungan finansial jika Lakshmi megembangkan temuannya untuk produski massal dan bukan semata pulang ke desanya dan membuat pembalut untuk istri dan keluarganya saja.

Dimulailah fase selanjutnya, Pari berinisiatif memasarkannya dengan mengetuk pintu-pintu rumah warga di desa menawarkan pembalut. Hasilnya berjalan lancar dan kemudian menjadi kekuatan ekonomi pemberdayaan warga. Ibu-ibu di desa mulai berani terbuka kemudian belajar membuat pembalut dan menjualnya.

Selanjutnya, karena pembalut maka lahirlah konspirasi saling berdaya dan Lakshmi dapat diterima kembali di desa, dapat berkumpul dengan keluarga dan istri. Hanya saja, ada yang absen dijabarkan Lakshmi di hadapan Pari dan ayahnya, juga dengan professor. Tak sekalipun Lakshmi menceritakan pada Pari, misalnya, soal ia diusir dari desa – berpisah dengan istri karena upayanya mengenalkan pembalut yang dianggap merusak tradisi. Bukankah atas dasar itu semua Lakshmi terobsesi membuat pembalut.

Jika di hadapan forum PBB ketika Lakshmi diundang berpidato tidak menceritakan itu bisalah dianggap wajar karena itu komunikasi publik. Namun, bagaimana mungkin Lakshmi lupa mengisahkan pangkal masalahnya pada Pari dan malah, hampir terjebak dalam situasi yang lebih pelik andai Pari tidak dewasa menghadapi situasi.

Lakshmi memendamnya ketika berpisah di bandara. Ia tetap memilih pulang ke desanya setelah memulihkan derajatnya.
_



Komentar

Postingan Populer