Pergulatan Raksasa Jerman di Kandang Pemberontak


SAMPAILAH pecinta sepakbola dunia pada ulangan klasik yang terjadi di tahun 1974. Bertempat di Heysel, Belgia. Laga final European Cup (Sekarang Liga Champions Eropa) mempertemukan Bayern Munchen dengan Atletico Madrid. Kala itu eranya sang kaisar, Franz Beckenbauer dan Gerd Muller. Sedang Atletico dimotori almahrum Luis Aragones, pelatih yang membawa Spanyol juara Eropa di tahun 2008.

Di tahun itu, kedua klub ini belum pernah mencicipi gelar juara antar klub se Eropa. Saat itulah eranya. Atletico ingin mengikuti jejak Real Madrid yang sudah menjuarainya enam kali. Di sisi lain, Bayern Munchen hendak membuktikan sebagai klub Jerman yang pertama kali menjadi terbaik di jagad Eropa.

Kedua tim bermain imbang hingga waktu normal usai. Di babak perpanjangan waktu, gelandang serang, Aragones memperdayai kiper Munchen, Sepp Maier, melalui tendangan bebas. Namun, Munchen menyamakan kedudukan lewat tendangan mendatar Hans Georg Schwarzen.

Aturan saat itu belum diterapkan adu penalti. Ulangan final kembali digelar dua hari kemudian di tempat yang sama. Sial bagi Atletico, Munchen mengamuk, Muller dan Uli Hoeness masing-masing menyumbang dua gol. Selesai. Kemenangan 4-0 membawa Munchen berjaya.
_

KINI, kedua klub kembali bertemu di sisa jalan menuju laga final Champions 2016. Kedua tim ditangani eks pesepakbola yang bermain di posisi yang sama, gelandang bertahan. Simeone bertualang di sejumlah klub di Seri A Italia sebelum menjadi legenda di Atletico di musim 2003-2005. Pep sudah menyudahi kepemimpinannya sebagai kapten tim di Barcelona ketika Simeone datang ke La Liga dan berlabuh di AS Roma.

Ketika kembali melatih Barcelona di tahun 2008 hingga 2012, Pep membawa Blaugrana merengkuh tiga gelar di musim 2008-2009. Jejak yang membawanya meraih pencapaian di sebut filsuf bola yang menciptakan traktat Tiki-Taka.

Tapak Simeone sebagai pelatih, eks gelandang Argentina ini dipecundangi Madrid di partai final Champions musim 2013-2014. Tetapi, musim ini, Atletico menyingkirkan juara bertahan, Barcelona di Perdelapan final. Modal itulah yang membawa Atletico kembali ke jalur juara jika mampu menuntaskan dendam 42 tahun silam ketika digusur Munchen di Heysel.

Di sepanjang sepuluh tahun terakhir di pentas La Liga. Hanya Atletico yang mengganggu arisan juara antara Barcelona dan Real Madrid. Klub yang menggunakan kostum utama garis vertikal warna merah putih itu menjelma sebagai pemberontak sejak ditangani Simeone.

Atletico merusak kemapanan dua klub bertabur bintang di Spanyol. Barcelona dan Real Madrid. Kali ini harus waspada dan tidak boleh menganggapnya sebagai klub pelengkap saja. Terbukti, pasukan Simeone selalu merepotkan Barca dan Real. Di musim ini, ketiga klub masih memiliki peluang menjuarai La Liga.

Selaku tuan rumah di leg pertama Semi Final, The Bavarian datang membawa impian menjuarai Champions sebagai kado perpisahan Pep. Eks pelatih Barcelona itu kembali pulang negaranya, Spanyol, membawa misi membunuh. Itulah pertaruhannya sebagai individu dan pergulatan tim asuhannya. Raksasa Jerman. Penguasa Bundesliga. Bayern Munchen.

Musim lalu, Pep tidak berdaya meenahan amukan Blaugrana, raksasa ciptaannya. Munchen terlihat gagap menerapkan pola yang sama dengan Barca. Sepakbola Jerman memang dikenal kaku ala militer. Munchen ditangan Pep berubah menjadi lebih atraktif. Tidak ada lagi garis komando. Semua pemain memiliki kekuasaan masing-masing. Hanya saja, kekuatan itu hanya berkuasa di Jerman. Belum di Eropa. Musim inilah pembuktian Munchennya Pep.

Membaca taktik Atletico menjinakkan Barcelona bukanlah skenario parkir bus. Simeone mengarahkan skuatnya membangun jalan tikus. Tidak terduga ke mana mereka muncul. Tiba-tiba saja, dua atau tiga pemain sudah muncul di luar kotak penalti menghalau pemain lawan mengalirkan bola ke dalam area kiper. Jika bola sudah direbut, secepat kilat sudah meluncur ke kiri, ke kanan atau lurus ke depan. Di sana, sudah muncul lagi pemain menyambutnya. Membawanya ke jantung pertahanan lawan. Tidak tahu yang mana yang hendak diawasi. Lawan bingung mengintai pergerakan. Ini jelas bukan Tiki Taka ala Barcelona. Simeone membangun taktiknya sendiri yang ia curi dari kecerdikan dari Mourinho dan Pep sendiri. Kedua taktik beda mazhab itu digabungkan Simeone guna mengembalikan Atletico sebagai klub pantang menyerah.

Serupa para pemberontak yang menjalankan perang gerilya. Mereka membangun kelompok kecil antar satu pemain dengan pemain yang lain. Posisinya tentu saja dinamis di mana setiap pemain dapat saling mengisi. Situasi demikianlah yang mengacaukan pola Blaugrana sehingga takluk 2-0 di Vicente Calderon.

Mengandalkan penguasaan bola merupakan cara yang digunakan Munchen layaknya Barcelona. Simeone paham akan hal itu. Munchen menjadi klub dengan torehan gol terbanyak di Champions musim ini dan Los Rojiblancos menjadi klub kemasukan sedikit. Pas sekali. Raksasa Bundesliga turun gunung menuju medan para tikus pemberontak.
_

*Ditulis ketika Atletico Madrid berjuma Bayern Munchen di semifinal Liga Champion musim 2015-2016 di putaran leg pertama.

Pernah dimuat di gotimes.id edisi 27 April 2016 (Website ini telah off)




Komentar

Postingan Populer