Perancis: Kami Ada dan Berlipat Ganda

Tim Les Blues yang beragam
Repro. Kamar Bawah. Sumber gambar di sini


Sejak Piala Dunia digelar di tahun 1930, Perancis tercatat sudah absen sebanyak enam edisi. Dimulai pada 1950, 1962, 1970, 1974, 1990, dan 1994. Sedangkan di level Piala Eropa, Perancis absen ketika Belanda juara di tahun 1988. Juga absen di tahun 1964 dan 1968.

Jadi, di pentas Piala Dunia, Perancis baru mengikuti 15 edisi dan sekali juara di tahun 1998. Sedangkan antar negara Eropa, Perancis telah berpartisipasi sebanyak 8 kali dan telah juara dua edisi. Pertama di tahun 1984 dan tahun 2000.

Mengapa Perancis bisa begitu lama mendekam dan sekali muncul bisa menggetarkan. Hal ini bisa disederhanakan: Pertama, Perancis yang menggetarkan. Dibaca dari edisi Piala Dunia 82 dan 86. Berturut-turut Perancis menempati peringkat keempat dan ketiga. Di selanya, Perancis juara Piala Eropa pada 84. Fase waktu enam tahun itu, skuat yang mengisi Les Blues tentu tidak jauh berbeda.

Kedua, Perancis yang mendekam. Usai mengangkat tropi Eropa 84, edisi berikutnya Perancis justru gagal berlaga di Jerman Barat 88. Seakan mengulang interval waktu enam tahun yang menggetarkan. Enam tahun pula Perancis mendekam. Gagal lolos di dua edisi Piala Dunia: 90 dan 94.

Antitesa dari dari dua varian di atas mengingatkan kalau Perancis sudah terlibat maka hasilnya bisa biasa-biasa saja dan kembali menggetarkan. Tonggaknya dimulai 98, skuat beragam Aime Jacquet menyumpal mulut politikus sayap kanan Perancis yang mencibir kehadiran para emigran di tubuh Perancis. Puncaknya, saya kira, Perancis kembali merajai Eropa dua tahun setelahnya.

Setelahnya, Perancis selalu hadir di edisi Piala Dunia dan Eropa walau, tentu saja, berkutat pada situasi melempen dan sempat menggetarkan di Piala Dunia 2006 dan Piala Eropa 2016. Dua final yang gagal diraih. Diludahi Italia dan dikentuki Portugal di rumah mereka sendiri.

Tetapi, Perancis selalu hadir dan membawa kita pada romansa kejeniusan Platini dan betapa perkasanya Zidane sekali sudah uzur. Tentu saja itu semua bukan abadi. Memangnya siapa yang akan bertahan melawan waktu. Mereka bukanlah mutan yang tidak gampang menua atau segerombolan pahlawan super imajinasi Holywood.

Platini pernah dalam situasi pasrah, ia tabah dengan siapa diajak berbicara. Piala Eropa 1992 ia dipercaya melatih tim Ayam Jantan meski kenyataannya lebih pas disebut ayam potong yang tidak mampu membedakan mana lawan yang perlu dihajar.

Melawan Inggris di fase grup dengan skor 0-0 sudah dianggap prestasi. Satu-satunya bintang, jika layak disebut demikian, di skuat Perancis 92, Jean Pierre Papin, malah mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke udara. Ekspresi karena telah meraih satu poin.

“Dalam buku orang dapat menulis indah-indah. Dalam sepakbola orang boleh mengharap yang tinggi-tinggi. Tetapi, toh, hidup ini pertama-tama harus menerima kenyataan apa adanya.” Ungkapan Platini sangatlah rasional sekaligus kepasrahan. Ia tak bisa berbuat apa-apa di pinggir lapangan. Ia memang bukan pelatih hebat.

Sindhunata dalam bukunya, Bola di Balik Bulan, menggambarkan Platini seorang regisseur lapangan tengah yang luara bisa hebatnya. Pernyataannya yang selalu diplomatis, oleh Sindhunata dibaca sebagai luka atas realitas yang tengah dihadapi sebagai pelatih.
Namun, sekali lagi, Perancis selalu ada. Selalu terbuka menerima imigran atau pencari suaka politik. Imam Khoemini dan Milan Kundera, dua sosok berbeda dari negara berbeda memilih Perancis sebagai tempat berteduh. Pogba memilih berbeda dengan saudaranya yang membela tim sepakbola Guinea, demikian halnya Kante yang tetap di Perancis ketimbang ke tim Mali.

Keterbukaan itu membawa Perancis selalu berlipat ganda. Lilian Thuram pernah mengungkapkan kalau Brasil hanya terdiri dari 11 pemain, sedangkan kita berjuta-juta. Ia tak gentar meladeni tim sepakbola yang paling ditakuti di dunia. Tim yang selalu dihindari tim lain. Thuram tidaklah sedang bermimpi, ia hanya berkata lain bahwa ada perwakilan Afrika, Eropa Timur, dan Arab di tim Perancis.

Tengoklah kembali komposisi Les Blues, maka kita temukan Kante yang berlari vertikal dan horizontal dengan sedikit menyentuh bola. Descham membiarkannya seperti itu. Mungkin itu cara terbaik bagi Kante ketimbang perannya di Chelsea yang memiliki pekerjaan tambahan selain menganggu operan bola lawan.

Belgia yang menyudahi perjalanan Brasil menjadi penantang yang dielukan bakal menjungkalkan Perancis. De Bryune yang berhasil menyarankan sebiji gol ke gawang Brasil dibuat tak berdaya oleh Kante. Setidaknya ada dua upaya lelaki bertubuh pendek itu merusak konsentrasi si rambut pirang di sisi kanan pertahanan Perancis.

Sundulan Umtiti yang melewati hadangan Curtois kemudian dianggap sebagai malih gol Thuram ke gawang Kroasia di semifinal 98. Siapa Umtiti siapa Thuram. Saya kira bukan suatu kebetulan jika keduanya menempati posisi yang sama dan berdarah Afrika.
_





Komentar

Postingan Populer