Para “Bajingan” di Piala Dunia
![]() |
Dok. Kamar Bawah |
Dalam sepakbola, bagaimana pun sportivitas didengungkan, selalu saja lahir aksi culas merebut ruang untuk kemudian dilegalkan. Inggris tidak akan melupakan keculasan Maradona dengan gol tangan tuhannya.
Itu terjadi di turnamen besar dengan sorot kamera. Dapatlah dibayangkan pertandingan sepakbola di liga domestik atau di turnamen antar kampung. Keculasan bekerja dalam senyap. Tetapi, itu bukan alasan menghapus sepakbola di muka bumi. Segalanya dilabeli sebagai drama. Di titik itu sepakbola sudah berhenti selaku olahraga dan berubah menjadi pertunjukan teater. Dan, memang, sepakbola membutuhkan itu sebagai nafas.
Jika gol tangan tuhan Maradona menjadi kepingan meraih tropi Piala Dunia di Meksiko, tangan tuhan Henry berubah menjadi tiket menuju Piala Dunia di Afrika Selatan. Itulah yang diingat. Terekam jelas di pertandingan penentuan (Play Off) merebut sisa tiket. Pada akhirnya, Irlandia meradang dan Perancis berhak mengikuti Piala Dunia tahun 2010.
Dua peristiwa tangan tuhan ini sudah lazim diketahui. Dan terus awet sebagai tindakan culas bagi tim yang dirugikan. Meski di sisi yang lain, pendukung tim yang memenangkan laga menempatkannya sebagai pahlawan.
_
Di kawasan selatan benua Amerika, dunia mengenal Urugay dan Brasil sebagai peraih tropi Piala Dunia. Walau demikian, tidak ada yang menampik kalau Argentina adalah raja sepakbola yang sesungguhnya tanpa tropi Piala Dunia. Ambisi inilah yang mendorong penguasa militer Argentina untuk meraih tropi paling bergengsi itu.
Ketika Urugay mempermalukan Brasil di Maracana di final Piala Dunia tahun 1950, Argentina justru mengundurkan diri sejak kualifikasi. Padahal, Argentina sang penguasa di kawasan yang merajai Copa Amerika. Ada kekhawatiran akut yang diidap Argentina akibat kepergian talenta tebaik mereka menuju Eropa yang dimulai di dekade 1920 an.
Setelah militer berkuasa melalui kudeta yang menggulingkan Presiden Isabel Martinez de Peron, naiklah Jenderal Videla menjabat Presiden yang, pengaruhnya turut menggerogoti FIFA agar gelaran Piala Dunia tahun 1978 diadakan di negaranya.
Pengaturan skor menjadi aib bagi Argentina sehingga melenggang ke final menghadapi Belanda yang saat itu tidak diperkuat Johan Cruifjj yang menolak ke Argentina akibat adanya ancaman yang bisa saja membahayakan diri dan keluarganya. Hasil imbang 1-1 di waktu normal dan di perpanjangan waktu, tuan rumah menambah dua gol untuk mengunci kemenangan.
Di dalam tubuh pemerintahan militer kala itu ada luka, tindakan represif terhadap warga yang diculik hingga pembunuhan adalah realitas yang dihadapi. Tetapi, lewat sepakbola, pemerintah milter menjadikannya obat penenang. Korban politik, kekerasan militer, dan warga sipil yang lain tetap bergembira menyambut kemenangan Argentina.
Namun, pola pertandingan tetap saja disebut penuh keculasan. Tindakan paling mencolok adalah kemenangan Argentina 6-0 atas Peru. Brasil tak dapat menerima kenyataan itu. Belanda sendiri bingung ketika masuk ke dalam lapangan dan mendapati pendukung Argentina menebar anacaman. Titik inilah yang menjadi benih tumbuhnya rivalitas Belanda dan Argentina di Piala Dunia selanjutnya. Setara dengan rivalitas Inggris setelah Piala Dunia tahun 1986
Dugaan tangan kekuasaan yang bekerja di balik gelaran Piala Dunia, juga terjadi di Inggris ketika menjadi tuan rumah di tahun 1966. Jauh sebelum Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, kepempinan wasit yang memihak tuan rumah telah terjadi di sini. Argentina dan Jerman adalah korbannya.
Situasinya memang pelik karena teknologi belum diterapkan sebagaimana Piala Dunia kali ini (Rusia). Di final, tuan rumah yang mengalahkan Jerman Barat dianggap kemenangan yang sulit diterima oleh Jerman Barat. Gol lesakan Geoff Hurst di masa perpanjangan waktu membentur mistar gawang kemudian memantul ke tanah. Tak jelas, apakah bola telah melewati garis gawang atau tidak. Namun, peristiwa itulah yang menjadi ikhwal kemenangan Inggris.
40 tahun kemudian, di Piala Dunia 2006, Jerman (tanpa Barat) berjumpa Inggris. Dejavu, gol Lampard yang membentur mistar gawan Neuer, melalui tayangan ulang, pantulan bola ke tanah telah melewati garis gawang. Namun, wasit menganulir gol Lampard. Kita ketahui, ihkwal inilah kemudian sehingga FIFA menerapkan peggunaan teknologi VAR.
Masih di balik Piala Dunia 1966, rupanya di balik prestasi Inggris meraih tropi menyisakan intrik di kubu FA (asosiasi sepakbola Inggris) Harold Thompson, orang paling berkuasa di FA menjalankan sikap pilih kasih kepada pemain. Ini terkait dengan bonus dan penghargaan yang diterima pemain yang telah berjasa.
Setelah dua Piala Dunia selanjutnya, Thompson juga memecat, Sir Alf Ramsey, pelatih yang berjasa mendampingi Inggris merapih tropi Piala Dunia. Malah, Ramsey mengalami ketidakadilan finansial karena digaji di bawah level kepelatihan divisi liga paling rendah di Ingggris
_
Narasi di atas sudah jamak diketahui. Abadinya ingatan kalau Maradona dan Henry, juga kekuasaan militer Argentina dan tindakan wasit di Inggris merupakan sikap yang bertentangan dengan nilai sportivitas dalam sepakbola. Meski demikian, keabadian itu sama derajatnya dengan Maradona atau Henry sebagai pahlawan sekaligus bajingan di kubu seberang. Begitu pula kuasa militer yang berhasil menyajarkan Argentina dengan Urugay dan Brasil di Amerika Selatan sebagai juara dunia.
Begitulah sepakbola, keculasan menjadi kegilaan yang menjadi hiburan sejarah. Bukan hanya tangan tuhan atau kuasa militer dan wasit. Owen A Mc Ball, menuliskan ulang 18 belas kisah yang ia istilahan selaku “penjahat” di Piala Dunia.
Football Villains (Kisah Seru 18 “Penjahat” Paling Dimusuhi dalam Sejarah Piala Dunia, merupakan judul bukunya. Berdasarkan tahun terbit, buku ini memang diniatkian sebagai bacaan sambil menonton Piala Dunia tahun 2010 lengkap dengan sisipan poster jadwal pertandingan.
Penjahat (tanda petik) tidaklah melulu aksi culas, ada juga kisah tragis dan dijadikan “bajingan”. Kisah ini menabalkan kiper Brasil di Piala Dunia tahun 1950, Moacir Barbosa. Jauh sebelum tragedi kekalahan Brasil dari Jerman di Piala Dunia 2014 dengan skor 7-1. Uruguay telah melakukannya di stadion Maracana, tempat gelaran final dilaksanakan yang akhirnya membuat rakyat Brasil menangis dan Barbosa dibenci hinga ajal menjemputnya.
Kejadian ini sungguh absurd. Bagaimana mungkin kiper menjadi satu-satunya biang kekalahan. Barbosa juga heran dengan semuanya. Bukankah ini sebuah tim. Gol yang dicetak Juan Alberto Schiaffino dan gol penentu kemenangan Urugay oleh Alcides Ghiggia sekitar sebelas menit di akhir pertandingan tak sepenuhnya salah Barbosa yang tak kuasa menahannya.
Tetapi, ini di Brasil yang lebih menyakralkan sepakbola ketimbang agama. Masyarakat yang bisa melupakan sejenak kemiskinan di atas sepakbola. Tentu ini paradoks, namun, begitulah, Barbosa, yang berkulit hitam itu kelak menjadi kutukan yang dihidupkan bagi kiper Brasil selanjutnya. Bahwa Brasil tidak akan juara dunia jika kipernya menyerupai kulit Barbosa. Kejam.
_
Mc Ball juga memasukkan kiprah dua wartawan dalam kategori “penjahat”. Dalam sejarah Piala Dunia, dikenal istilah The Beatle of Santiago, ketika pemain Chili dan Italia di Piala Dunia 1962 lebih menunjukkan pertandingan tinju ketimbang bermain sepakbola.
Menduga mengapa pemain kedua tim bermain demikian, tentulah sulit mengaitkan dengan benih dendam yang telah ditanam oleh dua sosok wartawan asal Italia. Korelasinya memang seperti itu. Dua tahun sebelum perhelatan Piala Dunia 1962, Chili diguncang gempa bumi berkekuatan 9,5 SR yang menewaskan ribuan warga dan tentu saja, hancurnya fasilitas penunjang Piala Dunia, utamanya stadion yang akan digunakan.
Chili selaku tuan rumah tak gentar, otoritas di Chili tetap yakin akan sukses menggelar Piala Dunia meski harus memulainya lagi dari awal. Ketika Chilli sedang membangun dan berusaha merampungkan fasilitas yang dibutuhkan. Datanglah Antonio Ghiredelli dan Corrado Pizzinelli menurunkan laporan kalau Chili sesungguhnya tidaklah siap menggelar Piala Dunia dengan infrastruktur yang masih seadanya. Segera saja, laporan yang tersiar di Italia itu menjadi pemantik bagi koran lokal di Chili melakukan copy paste seadanya dalam penyuntingan dan terjemahan untuk publik pembaca di Chili.
Meski pada dasarnya laporan dua wartwan asal Italia itu tidaklah mengada-ada, warga Chili telanjur marah dan berbuntut menjadi gerakan anti Italia. Beruntung, dua wartawan itu tidak tertangkap amuk warga. Pangkal inilah sehingga merembes ke pertandingan dua tim antar negara dimana Italia satu grup dengan tuan rumah di babak penyisihan.
Di gelaran Piala Dunia dua edisi selanjutnya, tahun 1990 di Italia. Chili justru gagal bermain akibat didiskualifikasi setelah pertandingan kualifikasi melawan Brasil. FIFA menilai tim Chili telah bersandiwara di leg kedua di Maracana. Chili harus menang jika harus melenggang ke Italia, kenyataannya Chili sudah kemasukan sebiji gol di babak kedua.
Kala tensi pertandingan semakin sengit, suporter Brasil mulai brutal dan melempar beragam benda ke lapangan, termasuk petasan yang mengeluarkan kepulan asap. Nah, di saat itulah, Roberto Rojas, kiper Chili berlumuran darah. Wasit pun menghentikan pertandingan demi keamanan. Chili lalu meminta pertandingan ulang di tempat netral.
Sial, investigasi FIFA malah menemukan kalau Rojas melukai dirinya sendiri dengan pisau cukur yang dibawanya ke dalam lapangan. Entah diselipkan di mana pisau itu. Dan, entah apa pula yang dipikirkan Rojas dengan melukai diri sendiri. FIFA lalu memutuskan Brasil menang 2-0 dan berhak ke Italia.
Perancis juga menyimpan ingatan perihal pemain di balik gagalnya tim nasional mereka berlaga di Piala Dunia. Dialah David Ginola. Pemain yang dipuja di Inggris dan perempuan itu jelas-jelas biang gagalnya Perancis ke Amerika Serikat tahun 1994.
Di laga kualifikasi terakhir, Bulgaria mampu menahan imbang Perancis 1-1, jika skor itu bertahan hingga laga usai. Jelas, Perancis kembali berlaga di pentas Piala Dunia setelah sewindu absen. Naas, Ginola malah berusaha membangun serangan. Pada dasarnya itu tidak keliru. Begitulah insting seorang penyerang. Ginola menolak instruksi pelatih untuk memainkan bola dari kaki ke kaki antar pemain tim sebagai upaya menguasai bola dan mengulur waktu supaya hasil seri bisa menjadi tiket ke AS.
Saat itulah Emil Kostadinov, penyerang Bulgaria merebut bola dari kaki Ginola. Dan, simsalabin, gawang Perancis jebol dan Bulgaria berhak ke AS. “David Ginola adalah pembunuh tim ini…” ucap Gerard Houllier, pelatih Perancis dalam konfrensi pers sebelum mengundurkan diri.
Pemain yang dilabeli biang keladi baik bagi timnya sendiri atau bagi tim lawan juga menimpa pada Cristiano Ronaldo yang melayangkan protes ke wasit ketika Rooney menekel salah satu pemain Portugal. Materazzi dicaci publik Perancis karena provokasinya membuat Zidane menanduknya dan Perancis gagal meriah tropi Piala Dunia keduanya. Dan, Italia punya sosok asal Korsel, Ahn Jung Hwan sebagai jalan balas dendam atas kekalahan yang menyakitkan akibat kepemimpinan wasit yang payah di Piala Dunia 2002.
Beckham dirisak media di negaranya sendiri sebagai bocah idiot akibat kartu merah yang diterimanya akibat terprovokasi aksi Simoene di Piala Dunia 1998. Ronaldinho pun masuk dalam kategori ini ketika Brasil kembali dipermalukan pasukan tua Perancis di delapan besar Piala Dunia 2006. Publik Brasil menganggap Ronaldinho merusak keindahan sepakbola Brasil.
Di Piala Dunia 1986, semrawutnya tim Portugal menjadi sandungan dan perlahan menghilang di gelaran empat tahunan selanjutnya sebelum melahirkan generasi emasnya kembali (Luis Figo dkk). Publik Portugal menilai pemain timnas mereka mata duitan dan menganggap kalu mereka sedang liburan di Meksiko karena bermain dengan perempuan di sana.
Selain Portugal dan Inggris sebagai tim, Mc Ball memasukkan timnas Israel di daftar “penjahat”. Di dekade 50 an hingga memasuki pertengahan 70 an. Dunia masih dihantui ancaman kolonialisme, sejumlah negara di Asia dan Afrika atas dasar solidaritas menolak Israel masuk dalam zonasi. Termasuk Indonesia menolak bertanding dengan Israel kemudian memilih mundur dari keanggotaan FIFA yang, kala itu dinahkodadi seorang mantan wasit bernama Stanley Rous.
Rous, oleh Mc Ball dibuatkan satu judul sebagai “bajingan” bagi sepakbola dunia ketiga. Lewat kebijakannya yang apolitis dan Eropasentris, selain mundurnya beberapa tim nasional dari FIFA, hal yang paling menyakitkan bagi zona Asia ialah, kualifikasi menuju Piala Dunia 1966 di Inggris, Rous hanya menetapkan satu kuota kepada 18 negara anggota yang terbagi ke dalam zona Asia, Afrika, dan Australia-Oseania.
_
Daftar “bajingan” di sepanjang gelaran Piala Dunia yang dicatat ulang Mc Ball bisa jadi hal baru yang kita ketahui atau, sudah sering kita baca di banyak catatan. Satu hal, menurut saya, Mc Ball melewatkan sekelompok bajingan (tanpa tanda petik) yang merenggut nyawa Adreas Escobar, tak lama setelah Kolombia tersingkir di Piala Dunia 1994.
Buku susunan Mc Ball ini menjadi satu upaya untuk mengingatkan kembali senarai kisah pada satu waktu yang melekat dalam pertandingan dan hal di balik sepakbola. Bahwa di suatu pertandingan atau sejumlah hal yang melatarbelakangi telah terjadi aksi culas yang melahirkan persepsi bermata dua.
Tentu saja, kita punya pendapat lain mengenai sosok yang dianggap “penjahat” yang mengakibatkan kegagalan satu tim di pentas Piala Dunia. Walau hal itu amatlah subyektif. Tetapi, begitulah kita, menyaksikan sepakbola di awal kemudian merekonstruksi kisah setelahnya setelah tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
_
Komentar