Mengalihkan Perhatian dari Eropa Timur ke Jawa Timur
![]() |
Repro. Kamar Bawah. Sumber gambar di sini |
Umpan yang diterima sudah melewati garis tengah lapangan, ia membawa bola itu lalu mengopernya sambil berlari. Sang rekan yang melihatnya terus berlari sudah tahu kalau dirinya hanyalah dijadikan pemantul, karena itulah bola yang diterimanya tidak dikontrol melainkan menuruti gestur si pemberi umpan tadi.
Begitulah skema yang dibangun untuk proses gol satu-satunya yang tersaji di laga Indonesia melawan Laos di pembukaan AFF U 19 Championship 2018 di stadion Deltras Sidoarjo pada 1 Juli lalu.
_
Gempita gelaran AFF U 19 kali ini tidaklah semeriah tahun lalu atau, ketika Indonesia berhasil juara dengan mengalahkan Vietnam melalui adu penalti di tahun 2013. Saya sendiri baru mengetahuinya beberapa jam sebelum pertandingan akan dimulai.
Maklum saja, di Eropa Timur sedang berlangsung gelaran sepakbola empat tahunan. Pada tanggal yang sama, tuan rumah Piala Dunia, Rusia, menjamu salah satu kekuatan sepakbola Eropa Barat, Spanyol.
Esoknya, linimasa media sosial telah ramai merisak tim Spanyol yang dianggapnya tidak lagi bermain tiki taka karena pola demikian bukan lagi teka teki. Diktum demikian saya kira, pertama kali diungkapkan Budiarto Sambhazy, eks kolumnis Politika Kompas yang menuliskannya kala Spanyol tumbang 3-0 dari Brasil di Piala Konfederasi tahun 2013 silam.
Permainan Garuda Muda memanglah rancak ketimbang aksi yang diperagakan tim U 23 atau senior. Hal ini tak dimungkiri karena skuat berani memainkan operan pendek dan aksi individu. Sedikit mengingatkan aksi tim Spanyol atau Barcelona sebagai patron sepuluh tahun terakhir ini.
Kita ingat bagaimana Garuda Muda mengakhiri pertandingan di AFF U 19 tahun lalu di Kamboja dengan skor di luar nalar, misalnya, Filipina dibantai 9 gol tanpa balas yang membuat kiper mereka menangis ketika skor masih 7-0. Qulncy Kammerad, si kiper harus keluar lapangan usai melakukan tekel terhadap Rafli.
Di AFF U 19 kali ini pun kita disuguhkan aksi menarik di dua pertandingan. Singapura dilibas 4-0 dan Filipina dipaksa menunda memenangkan laga karena Saddil Ramdani melesakkan dua gol, Virsa dan Ferre masing-masing sebiji gol. Pada akhirnya gol tendangan bebas dari Filipina di babak pertama menjadi tidak ada artinya.
Jika di gelaran Piala Dunia di Eropa Timur sudah memasuki delapan besar, AFF U 19 baru saja dalam tahap penyisihan dari sebelas negara peserta yang dibagi dua grup. Pola ini amatlah sederhana karena dua tim teratas langsung berlaga di semifinal. Dua tim yang memenangkan laga selanjutnya merebutkan posisi juara, dua tim yang kalah bertarung untuk menentukan tempat ketiga.
Keseruan memang terjadi di babak penyisihan jika kekuatan tim berimbang. Seperti AFF 19 tahun lalu di Myanmar ketika tim tidak hanya diwajibkan memenangkan laga, tetapi juga perlu mengumpulkan jumlah gol yang banyak supaya bisa lolos dari fase grup.
Namun, tiga kemenangan beruntun Garuda Muda nampaknya menjadi pelicin. Saingannya hanyalah juara bertahan, Thailand dan Vietnam. Dan, dua laga sisa, Garuda Muda akan berjumpa dengan dua tim tersebut.
Thailand tentu tak bisa diremehkan. Kekuatan sepakbola Asia Tenggara masih menempatkan Thailand sebagai raja. Di level tim senior pun, Thailand adalah batu sandungan yang selalu mematahkan jalur tangga tim Garuda.
Lupakan Egy
Pelatih tim Garuda Muda, Indra Sjafri, berang ketika wartawan selalu menanyakan keberadaan Egy Maulana Vikri. Pemain yang memiliki gocekan mematikan itu, meminjam istilah komentator, Valentino Simanjuntak memanglah masuk dalam skuat meski di tiga pertandingan Egy tidak nampak.
Indra Sjafri tidaklah mengistimewakan satu pemain dalam tim yang dinahkodainya. Kita bisa lihat susunan pemain di tiga pertandingan. Ketika Witan Sulaiman dan Rafli tak bisa melesakkan gol ke gawang Filipina, Saddil muncul sebagai pembeda. Dan, jangan lupakan aksi Virsa dan bocah asal Papua, Todd Rivaldo Ferre.
Mengacu pada skema penguasaan ruang, pola serangan tidak akan berjalan demikian rancak jika di belakang mereka tidak ada petarung. Di posisi ini, Indra memiliki tiga pemain yang selalu di pasang bergantian, Luthfi, Abimanyu, dan Asnawi. Ketiganya bekerja dengan spesifikasinya masing-masing.
Meladeni Filipina, Indra menghendaki pertahanan yang dalam agar dua bek di belakang dapat berkonsentrasi menghadapi serangan balik. Ia memasang Luthfi karena ketenangan yang dimilikinya. Lain hal ketika Garuda Muda menghadapi Singapura yang dirancang untuk menyerang, pilihannya ada pada Asnawi yang mampu memadukan cara bertahan dan menyerang sama baiknya.
Kita bisa saksikan permutasi yang dilakukan Indra ketika Luthfi ditarik di babak kedua pada pertandingan melawan Filipina, Abimanyu yang memiliki pola kerja sepadan dengan Luthfi masuk menggantikannya. Skema serangan perlu dorongan lebih gencar ke depan guna mengejar defisit gol. Hasilnya tidaklah mengecewakan. Ferre yang baru masuk di babak kedua guna mengimbangi kecepatan Witan mampu menangkap pola perubahan yang dilakukan sang pelatih.
Terlepas dari aksi individu Saddil, penguasaan ruang di lapangan tengah tetap mampu dikuasai oleh Abimanyu sebagi pijakan merancang serangan dari dua sisi lapangan, utamanya di sisi kanan yang digarap Saddil. Filipina kebingunan membaca itu karena fokus pada gerakan Witan yang berlari ke sana ke mari.
Wajar saja kalau Indra punya alasan mengalihkan perhatian pada satu pemain. Bukankah Witan dan Saddil sudah cukup merepotkan lawan jika ukurannya adalah gocekan mematikan? Bukankah pula kerjasama Witan dan Saghara yang menghasilkan satu gol di laga pembuka sebagaimana dikemukakan di awal sudah cukup membuktikan hubungan antar pemain saling memahami.
Wajar saja kalau Indra punya alasan mengalihkan perhatian pada satu pemain. Bukankah Witan dan Saddil sudah cukup merepotkan lawan jika ukurannya adalah gocekan mematikan? Bukankah pula kerjasama Witan dan Saghara yang menghasilkan satu gol di laga pembuka sebagaimana dikemukakan di awal sudah cukup membuktikan hubungan antar pemain saling memahami.
Nah, bagaimana dengan kita, siapkah mengalihkan perhatian dari Eropa Timur ke Jawa Timur. Ah, tidak begitu juga, Piala Dunia dan AFF U 19 Championship sama-sama menawarkan tontonan yang menarik. Letak perbedaannya, jika di Piala Dunia kita menjagokan pseudo idola. Di AFF tentulah kita merealitaskan idola. Garuda Muda.
_
Komentar