Memanjat Tembok Stadion dan Lembaran Ingatan Perihal PSM

Stadion PSM
Repro. Kamar Bawah. Sumber gambar di sini


“Inimi stadion Mattoanging, kandang PSM,”
_

UCAPAN seorang teman yang saya kutipkan di atas di tahun 2002 silam masih berdengung. Tahun ketika masih mengenakan seragam putih abu-abu dari Senin hingga Sabtu. Melanjutkan sekolah menengah atas di kota Makassar rupanya menjadi jembatan ke stadion.

Semula saya tidak tahu kalau jarak dari sekolah ke stadion hanyalah beberapa ratus meter. Dua minggu memasuki masa sekolah selaku siswa baru, tibalah waktunya pelajaran olahraga yang minggu sebelumnya berupa teori. Di minggu keduanya kami praktik di lapangan.

Guru olahraga mendampingi kami berjalan ke luar meninggalkan gedung sekolah dan menyeberang jalan. Teman-teman pada berlari dan saya tetap berjalan. Tak lama kemudian tibalah kami di area bangunan bertembok kokoh setinggi, kira-kira, dua meteran, saya belum sadar juga kalau itulah stadion kalau saja teman saya tidak mengucapkan kalimat di awal catatan ini. Ya, Tuhan, dasar orang kampung. Saya lalu berlari kecil menatap tembok saking takjubnya. Dan, tak sadar telah mengelilingi stadion.

Tahun-tahun sebelumnya, stadion Mattoanging, nama yang dipakai sebelum berganti nama menjadi Andi Mattalata, hanya sering didengar dari orang-orang tertentu di kampung yang bertandang ke stadion menyaksikan laga PSM. Menonton di stadion di tahun itu masihlah elitis. Pesawat radio adalah solusi mujarab jika tak ingin ketinggalan laga PSM.

Di tahun 2002 pula, PSM ditunjuk sebagai tuan rumah perhelatan Perempat Final Liga Champion Asia dimana klub dari Jepang, China, Korea Selatan berlaga di stadion Mattoanging. Nah, di laga melawan klub dari Korea Selatan, sayang, saya lupa nama klubnya, kesempatan menyaksikan langsung laga PSM terpenuhi.

Oleh teman sekolah yang tinggal dekat stadion sudah memberikan jaminan menonton. Saya percaya saja meski tidak yakin kalau teman itu tidak mampu membeli tiket. Di sisa sore kami sudah berdiri di luar pagar. Karena dia dikenal oleh salah satu petugas penjaga pintu masuk, kami dibiarkan melenggang. Tetapi, itu belum masuk ke dalam stadion. Kami masih di luar ketika pertandingan tengah berlangsung hingga babak pertama usai.

Tentu saja saya dongkol. Ini jaminan apa. Tahu begini, mending mendenngarnya di radio saja. Di luar stadion, kami hanya mendengar gemuruh suara penonton. Menjelang babak kedua usai, sejumlah penonton senasib dengan kami mulai berlarian menuju tembok stadion. Mereka bahu membahu meloloskan seorang agar mencapai puncak tembok. Selanjutnya, jika orang itu berhasil dan berdiri bebas di tribun terbuka, dia akan menjulurkan seutas tali tambang yang memudahkan orang selanjutnya. Begitulah.

“Ayomi, tunggu apa lagi,” ucap teman yang menjanjikan jaminan itu. Petugas yang melihat aksi kami dan mereka-mereka memanjat tembok stadion sudah tidak peduli. Malah menyemangati supaya tidak melewatkan sisa pertandingan yang beberapa menit lagi semprit wasit bakal membuyarkan impian para penonton bermodal tali tambang.

Pada akhirnya, saya berhasil juga melewati rintangan. Sekujur tubuh dilumuri keringat. Ada lecet di dengkul dan di ujung jempol kaki. Ya, Tuhan, inikah jalan terjal yang harus dilalui menyaksikan kali pertama laga PSM. Tim kebanggaan Sulawesi Selatan yang bertahun-tahun hanya saya saksikan tak ubahnya mendengar sandiwara silat di radio.

Tahun itu, PSM diperkuat sejumlah pemain yang menjadi infrastruktur tim nasional Indonesia yang mengantar PSM merebut juara Liga Indonesia di tahun 2000. Laga final saya saksikan di layar kaca karena disiarkan langsung dari stadion Gelora Bung Karno. Kurniawan Dwi Yulianto menyarangkan dua gol dan sebiji dari penyerang gaek Rachman Usman untuk memastikan kemenangan dengan skor 3-2 melawan Pupuk Kaltim (kini Bontang FC).

Dan, malam itu, rasanya sukar dijabarkan. Beginikah rasanya dalam kerumunan manusia menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion. Penguasa lapangan tengah PSM, Bima Sakti, pemain yang selalu diceritakan oleh salah satu pemain di tim desa saya akhirnya kulihat langsung. Begitu juga dengan bek kiri yang mengingatkan pada Roberto Carlos, Aji Santoso. Hendro Kartiko yang terbang menghalau tendangan lawan serta aksi pemain lokal yang tak kalah gesitnya, Ali Baba dan Syamsuddin Batola.

Saya bukan penggemar garis keras PSM yang tergabung dalam satu kelompok suporter jika harus diukur seperti itu. Namun, sebagai warga Sulawesi Selatan, PSM barang tentu tim yang perlu saya dukung walau jarang ke stadion. Di perhelatan Piala Presiden tahun 2015, hanya sekali saja menyaksikannya di stadion Andi Mattalata, sisanya, memilih menonton di layar kaca.
_

PADA 2 Novemner tahun 2016, PSM sudah mencapai usia ke 101. Semangat ini menjadi sehimpun semangat untuk memuncaki Liga 1 Gojek Traveloka di Indonesia, nama gres kompetisi resmi setelah sebelumnya vakum. Di website resmi PSM, tagline 101 Harus Juara digelorakan.

Melihat materi pemain, dan utamanya pola permainan pada pertandingan perdana di Piala Presiden tahun 2017 yang berlangsung pada 6 Februari, meski kalah 1-0 dari Persib Bandung, ada semacam petunjuk kalau PSM siap bertarung dengan permainan terbuka.

Distribusi bola dari bek ke gelandang dan selanjutnya ke penyerang terlihat rapi. Hanya memang, presing di lapangan tengah memutus aliran bola, Rasyid Bakrie kewalahan mengembangkan jelajah. Hal demikian bukan masalah. Kekalahan itu lumrah sebagai pengantar melakukan strukturisasi strategi untuk pertandingan selanjutnya.

PSM tetaplah PSM. Nama stadion boleh berganti dari pengertian abstrak (Mattoanging: bahasa Makassar yang harfiahnya melihat angin menuju ke sosok (Andi Mattallatta) tokoh di balik berdirinya stadion Mattoanging di tahun 1952.

Nama Makassar sudah digunakan sejak mula, Makassar Voetbal Bond di tahun 1915 yang menjadi cikal bakal PSM di kemudian hari. Meski di dekade 1950 an hingga tahun 2000, nama ibu kota Sulawesi Selatan adalah Ujung Pandang, tidak serta merta PSM berubah menjadi Persatuan Sepakbola Ujung Pandang (PSUP), umpamanya.

17 tahun sudah setelah gelar mayor Liga Utama Indonesia diraih. Di rentang waktu itu, PSM tidak goyah sebagaimana sejumlah klub yang mengalami dualisme kepengurusan. Kekacauan pengurusan induk sepakbola (PSSI) yang melahirkan dua kompetisi: ISL dan IPL di tahun 2011 turut membawa PSM dalam liliput kompetisi dua arah.

Darmanto Simaepa dalam Klub Besar Tak Pernah Mati, Persebaya Tak Akan Mati[1], lupa memasukkan nama PSM sebagai klub besar yang lahir dari masa perjuangan kemerdekaan. PSM juga pernah mengalami pasang surut baik dari segi manajemen hingga stadion. Satu fase, PSM tak bisa berlaga di stadion Andi Mattalata karena urusan administrasi. Namun, di benak para pendukung, PSM tetaplah berumah di Makassar.

Namun, semua sudah berlalu. Kini, kompetisi resmi antar klub profesional sudah jelas. Di awali Piala Presiden sebagai kompetisi pra musim. PSM berbenah dengan memanggil pulang talenta lokal yang malang melintang di sejumlah klub di Jawa dan Kalimantan, Hamka Hamzah dan Zulkifly Syukur. Walau sudah berusia di atas 30 tahun, performanya masih bisa diandalkan menggalang lini pertahanan. Kehadirannya melengkapi Syamsul Chaeruddin sebagai trio gaek lokal PSM.
_

*Ditulis menjelang dimulainya Liga 1 Gojek Traveloka musim 2016-2017
Pernah dimuat di panditfootball.com edisi 10 Februari 2017



Komentar

Postingan Populer