Bahasa dan Kolonialisme

Repro. Kamar Bawah. Sumber gambar di sini

Usai membaca postingan di blog Eka Kurniawan, penggubah novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas tentang buku yang diterjemahkan, saya jadi mengurungkan niat untuk membaca sebuah buku dalam bahasa yang lain. Misalnya, membaca Romeo dan Juliet sebagaimana awal mula karya itu dilahirkan dalam bahasa asli pembuatnya.

Rupanya perjalanan bahasa tidak bebas nilai. Syahdan! Ketika era kolonial merajalela di paruh abad 16, tak banyak negara jajahan yang mampu mempertahankan bahasa aslinya. Guinea Bissau, negara yang terletak di Afrika Tengah merupakan bekas koloni Portugal yang kehilangan bahasa lokal akibat penjajahan.
Berdasarkan laporan Paulo Freire, pendidik multikultural asal Brasil yang pernah mengabdikan diri untuk program pendidikan penyadaran di Guinea Bissau di dekade 70 an, menemukan kalau sebagian besar masyarakat di sana tak bisa lagi mengindetifikasi bahasa warisan leluhur mereka. Pasalnya, Portugal menabalkan penggunaan bahasa Portugis sebagai jembatan komunikasi seraya mengharamkan bahasa creol, bahasa asli masyarakat.
Penjajahan fisik boleh saja tamat, akan tetapi tidak demikian dengan dominasi. Dan, itu menjadi sempurna dengan bahasa. Tak banyak yang melihat bahasa sebagai bentuk hegemoni. Untuk kasus di Guinea Bissau, datang dari seorang tokoh pro kemerdekaannya, Amilcar Cabral. Ia menegaskan kalau untuk meng-Afrika-kan kembali Afrika, maka perlu mengembalikan bahasa aslinya.
Lalu apa kaitannya dengan buku hasil terjemahan yang kita konsumsi? Selintas memang tidak terhubung. Namun, hal di atas boleh dijadikan peta akan keadaan kita. Mengingat negara kelautan yang kita huni ini pernah pula menjadi tempat tumbuhnya kolonialisme.
Bayangkan saja, untuk mengetahui sejarah perjalanan suku bangsa di republik ini, kita mesti meminjam literatur dari luar, karena para peneliti asinglah yang giat mengumpulkan artefak kebudayaan kita.
Mereka menelusuri lorong-lorong waktu, merampungkan wawancara dan mengumpulkan naskah. Lalu menyimpulkannya ke dalam bahasa yang berbeda. Setelah itu diarsipkan di negeri asal mereka. Kegigihan BF Mattes bisa dijadikan contoh, sebab keberadaan naskah asli Lagaligo di perpustakaan Leiden, Belanda, tak lepas dari usahanya.
Apakah ini sesuatu yang menyedihkan! Mungkin iya, mungkin pula tidak. Tetapi, kita sepertinya terjebak pada kubangan hegemoni. Mungkin semangat inilah yang coba diusung Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir. Ia membuat proyek pemikiran kalau Barat mesti pula dibaca menggunakan kacamata Timur.
Terbitlah buku monumentalnya, Oksidentalisme, sebagai jawaban atas kegelisahan Edward Said yang menulis Orientalisme sebagai rekam kegigihan pemikir Barat dalam menjadikan Timur sebagai obyek.
Lantas, penting manakah, mengeja buku terjemahan atau membaca bahasa aslinya? 
Untuk hal ini, YB Mangunwijaya pernah mengutarakan sebuah kasus terkait terjemahan novel Gabriel Garcia Marquez, menurutnya, membaca karya terjemahan peraih Nobel sastra tahun 1982 itu tak semenarik ketika membaca dalam bahasa aslinya. Benarkah demikian? Mungkin saja dalam kapasitas pengarang novel Burung-Burung Manyar itu.
Sampai di sini, mari kita ukur situasi kita. Dimulai dengan hal sederhana, kita pasti punya penyanyi favorit dari dalam negeri maupun dari luar. Nah, mari kita ingat tembang dari luar yang sering kita dengarkan. Semisal Black Or White dari almahrum Michael Jakson, meski bahasanya asing tetapi kita turut menggoyangkan kepala. Pada wilayah itu, mungkin kita menikmatinya. Dan menjadi lain jika tembang itu didengarkan dalam bahasa kita.
Hal ini sama halnya dengan kasus yang disodorkan Eka Kurniawan, mungkin kita tak akan benar-benar menikmati novel Seratus Tahun Kesunyian gubahan Gabriel Garcia Marquez manakala kita membacanya dalam bahasa Spanyol. Mungkin pula kita tidak benar-benar menikmati dan sepakat begitu saja akan hasil penelitian orang luar yang menuliskan biografi kebudayaaan kita. Ya, semunya bisa menjadi mungkin.
_
Pernah dimuat di qureta.com




Komentar

Postingan Populer