Tidak Ada yang Mencintai Argentina Melebihi Maradona

Repro. Sumber gambar di sini


Dua final edisi Piala Dunia, tahun 1986 dan 1990. Edisi 1986 diraih dan, di tahun 1990 Jerman menuntaskan dendam final empat tahun sebelumnya. Piala Dunia berikutnya, tahun 1994, si Tangan Tuhan, menjumpai lembaran akhir kiprahnya menari di lapangan.

Selanjutnya, Maradona memosisikan dirinya sebagai pendukung fanatik tim nasional Argentina. Ia duduk di bangku stadion. Bersedih dan bergembira. Menyemangati dan mencibir. Persis dengan barisan pendukung yang lain. Seolah ia tak pernah ada di atas lapangan dan merancang serangan menundukkan lawan.

Kehadirannya di stadion menyaksikan laga krusial Argentina menjadi jeda tersendiri setiap kali mata kamera mengarah kepadanya. Final sepakbola Olimpiade 2008 di Beijing, ia tentu saja hadir menyaksikan kemenangan Argentina membungkam Nigeria dengan sebiji gol Di Maria.

Di Piala Dunia 1998 di Perancis, saya tidak menyaksikan mata kamera merekam dirinya bergumul dengan fans Argentina (ingatkan saya jika lalai). Barulah di Piala Dunia 2002 di Korsel-Jepang, sejawatnya, yang dia beri umpan untuk merobek jala Nigeria di Piala Dunia 1994, Claudio Caniggia, yang dipanggil Marcelo Bielsa, ia saksikan diusir wasit di pinggir lapangan.

Jerman 2006, Maradona kembali hadir. Ia yakin kalau Argentina kali ini akan merebut tropi karena menurutnya, di tim ada empat titisannya: Riquelme, Aimar, Teves, dan Messi. Sayang, Argentina, dipaksa pulang oleh seterunya, Jerman. Jose Pakerman jarang memainkan Messi dan Aimar, mengingat empat matahari yang hampir kembar sebagaimana ungkapan Maradona.

Di Afrika Selatan tahun 2010, AFA menunjuk hidung si Boncel menyusun strategi untuk Argentina. Ia menampik la pausa, Riquelme dan memilih Veron yang sudah uzur (35 tahun). Hasilnya, Argentina menyudahi penyisihan grup dengan sempurna. 9 poin mengantarnya ke 16 besar menjumpai Meksiko kemudian, tim yang berhasil membalas kekalahan di final 1986, Jerman menghentikannya di 8 besar.

Membandingkan pencapaian Maradona dengan pelatih di tiga edisi Piala Dunia sebelumnya tidaklah memalukan. Jerman seakan ditakdirkan menjadi kutukan yang menghentikan Argentina. Tahun 2014 di Brasil, kembali, Jerman meyetop selangkah Argentina merebut tropi.

Maradona tidak jerih. Usai lengser di kursi pelatih Argentina, ia kembali ke bangku stadion. Bergembira dan bersedih. Menyemangati dan mencibir. Di tim Argentina, tak hentinya pendukung menitip harapan di kaki Messi. Piala Dunia di Rusia kembali mengulang dari awal. Meniti tangga penuh seok sejak kualifikasi dan di penyisihan grup hal itu kembali terulang.

Bermain imbang, 1-1 kontra Islandia kemudian Kroasia menggiringnya ke dasar klasemen sebelum mengulang drama ketika melakoni laga terakhir menuju Rusia. Argentina menyudahi perlawanan Nigeria. Menyebarlah foto Maradona mengacungkan jari tengah di tribun. Ia meluapkan emosinya atas keberhasilan Argentina ke 16 besar. Ia bahkan harus dirawat ke rumah sakit akibat tekanan darah yang menyerangnya.

Di sudut yang lain, masih di stadion yang sama. Kerumunan pendukung Argentina membentangkan spanduk berisi gambar wajah Maradona bersanding dengan Messi. Ratapan pendukung Argentina sebelum laga penentuan kembali semringah. Bahwa tidak adil rasanya jika Argentina secepat itu pulang dan meme Messi kembali beredar luas di media sosial.

Peta perjalanan Argentina selanjutnya sudah bisa diketahui, di 16 besar akan bertarung dengan Perancis, dan jika memenangkan laga, akan bersua Portugal apabila memulangkan Urugay. Pola selanjutnya, bila Jerman berada di jalur kemenangan, final 2014 bisa terulang. Kalkulasi ini tentu saja amat dini. Fase 16 besar sudah menjadi hidup mati bagi tim, yang kalah akan gugur dan, yang menang akan menantang pemenang yang lain.

Kalkulasi di atas adalah gambaran umum yang biasa dilakukan jika sudah melewati fase grup. Saya yakin, Maradona juga melakukan hal yang sama untuk Argentina. Siapa lawan yang bakal dihadapi di fase selanjutnya sudah bisa diketahui.

Sejauh ini, memang, tidak ada eks pemain Argentina seintens Maradona yang meluangkan waktu ke stadion. Asumsi kecintaan sebagaimana judul di atas, juga, sesungguhnya, bukanlah patokan bila itu merujuk pada kehadiran untuk menyaksikan langsung. Tentulah mantan pemain Argentina memiliki cara tersendiri mendukung tim.

Maradona saja yang menolak diam di rumah dan menyaksikan laga Argentina lewat layar kaca. Begitulah Maradona. 

Bagaimana pun masyarakat Argentina membencinya ketika tim Argentina mengalami rentetan kekalahan dan terancam batal berangkat ke Afrika Selatan tahun 2010. Maradona tetaplah dewa. Di Piala Dunia 2018, Maradona belum habis. Belum selesai untuk membela Argentina sebagai pemain atau pelatih.

_




Komentar

Postingan Populer