Rumah Saraung Bukanlah Rumah Makan

Banner promo buku terbitan Rumah Saraung

PROYEK penerbitan majalah sastra, kemudian buku, di bawah bendera Lentera harus dimuseumkan. Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pangkal masalahnya bukan pada konflik perebutan kekuasaan apalagi pertengkaran menyangkut uang. Juga, jangan bayangkan adanya gesekan perbedaan cara pandang.
Kami, yang pernah sama-sama mendirikan Lentera tetap menjalin keakraban, malah semakin sublim. Ulasan mengenai kiprah Lentera sebagaimana saya tulis di Pocer Dot Co. Lentera: Upaya Menjadi Pelopor Penerbitan di Tanah Pangke(http://pocer.co/read/lentera-upaya-menjadi-pelopor-penerbitan-di-tanah-pangkep) tayang pada 9 Februari 2017 lalu sudah cukup menjelaskan.
Dan, kini, penerbitan Rumah Saraung, masih berkedudukan di Pangkep, juga tak bisa dikatakan reinkarnasi dari Lentera. Walau semangatnya, sepenuhnya tak bisa lepas dari Lentera.
Jadi, begini ceritanya:
Memang, niat menerbitkan buku menggunakan bendera Lentera sempat terbersit, dan bahkan, sudah disiapkan sejumlah naskah. Hanya karena kelengkapan legalitas lembaga maka nama Lentera urung dipakai kembali. Ini tentu menyedihkan. Tak satu pun dari kami menyimpan Akta Notaris lembaga yang menjadi salah satu syarat pengajuan ISBN ke Perpustakaan Nasional.
Salah satu anggota sempat menyimpan kopiannya. Setelah dibaca saksama, kami harus sadar kalau isi akta itu sudah tidak memungkinkan menjadi acuan. Tak perlulah saya jelaskan sedetail mungkin. Intinya, saya dan seorang rekan bernama Badauni AP, berinisitif membentuk lembaga baru saja.
Lagi pula, mengenai anggota Lentera yang lain sudah pada tenang dengan profesi masing-masing dalam menunjang kehidupan keluarga mereka. Melibatkan mereka kembali adalah sama halnya dengan mengulang kejadian yang sudah-sudah. Saya dan Uni, sapaan Badauni AP, meyakini kalau teman-teman di Lentera tidak bakal protes mengenai hal ini.
Mengingat sebelumnya, kami berlima, di luar Lentera: saya, Uni, Pio, Zul, dan Ramez sepakat membentuk media daring Saraung Dot Com di tahun 2016. Nah, mengapa tidak nama penerbitan mengacu dari nama media itu. Lagian, media itu belum memiliki legalitas. Akhirnya, dengan adanya sisa dana kegiatan ditambah patungan biaya antara saya, Uni, dan Pio, Akta Notaris diurus memakai nama Rumah Saraung. Maksudnya, tentu saja, legalitas atas nama Rumah Saraung mewadahi media Saraung Dot Com dan Rumah Saraung sendiri sebagai nama penerbitan.
_
Memasuki usia setahun Saraung Dot Com, beberapa naskah dikurasi untuk dibukukan. Rencananya akan diluncurkan di perayaan satu tahun. Hanya saja, niatan itu tidak terwujud, sejak disiapkan pada Februari lalu, buku itu baru naik cetak di bulan Mei. Malah, naskah seorang teman, Nhany Rachman Khan lebih dulu diterbitkan dan diluncurkan pada 24 Mei lalu (http://saraung.com/membincang-catatan-nhany-di-pangkep-nol-kilometer/).
Belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika masih menggunakan nama Lentera, metode cetak buku masihlah menempuh sistem Print On Demand (POD) dan dipasarkan secara daring. Pre Order kami buka begitu buku sudah dipastikan naik cetak.
Tantangannya tentu saja ada pada modal produksi sehingga sistem POD menjadi pilihan. Di Rumah Saraung kami bekerja semrawut. Membaca ulang naskah secara bergantian antara saya dan Uni. Ahmad Ardian, seorang teman, kami pakai jasanya untuk membuat desain kover dengan bayaran standar pertemanan. Ahyar Manzis, dulunya menjabat Direktur Eksekutif di Lentera juga ditugasi memeriksa aksara. Semuanya tanpa kontrak yang jelas mengenai apakah nanti akan menerima bayaran.
Intinya, kami main tunjuk saja sesuka perut. Kata pengantar untuk buku Catatan Nhany karya Nhany Rachman Khan, misalnya, Zul saya kirimi pesan pendek melalui WhatsApp mengutarakan maksud. Belum juga menyanggupi, saya sampaikan lagi kalau draf naskah sudah saya kirimkan ke emailnya.
Hal yang sama berlaku pada Rahmat HM, Founder Pangkep Initiative, komunitas yang memulai perpustakaan jalanan di Pangkep. Padanya saya meminta membubuhkan endorsement. Hasilnya, Zul dan Rahmat senang mendengar mengenai penerbitan buku itu. Dan, kun fayakun, maka jadilah catatan pengantar dan endorsement itu.
Setali tiga uang dengan buku kurasi naskah yang pernah tayang di Saraung Dot Com. Salah satu hasil jepretan teman, Andi Agussalim mengenai aktivitas warga di Kampung Toli-Toli kala air Sungai Pangkajene surut sedang mencari siput kecil dijadikan gambar sampul yang dikerjakan oleh Ahmad Ardian.
Agus sangat bahagia dengan pemilihan fotonya itu. Ya, ia bahagia tanpa tendensi apa pun. Buku ini selanjutnya dijuduli Kenali Pangkepmu: Beberapa Hal yang Perlu Diketahui. Direktur Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR Sulawesi Selatan), Abdul Karim yang memiliki ikatan emosional dengan Pangkep karena lembaganya pernah mengelola program Sekolah Demokrasi selama tiga tahun (2010-2012) di Pangkep ditugaskan memberi endorsement.
Kini, dua buku terbitan Rumah Saraung telah dirilis dan menjumpai pembacanya. Dengan demikian, Rumah Saraung bukanlah rumah makan sebagaimana disematkan seseorang ketika kami memesan stempel penerbitan.
“Oh, mauki bikin rumah makan,” ujarnya dalam dialek Makassar ketika file logo saya serahkan.
Kira-kira begitulah secara singkat hal ikhwal penerbitan Rumah Saraung. Disadari sekali lagi, penerbit ini mengupayakan penerbitan buku di Pangkep, kota kecil berjarak sekitar 50 km di sisi utara kota Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan yang hampir bisa dikatakan tidak ada toko buku di sana, khususnya jika itu dimaknai ruang yang semata menjual buku beraneka genre.
Perlu diketahui pula bahwa Pangkep di Sulawesi Selatan sangat dikenal sebagai daerah penghasil ikan bandeng dan kuliner Sop Saudara. Karena itulah rumah makan di Pangkep sangat mudah dijumpai.
Namun, sekali lagi, saya tegaskan bahwa Rumah Saraung adalah nama penerbit, bukan rumah makan.
_
Pernah dimuat di Pocer.Co



Komentar

Postingan Populer