Pengakuan Atas Fredy S

Dok. Kamar Bawah

Beberapa tahun terakhir, menggeliat literasi yang digelorakan komunitas di sejumlah wilayah di Tanah Air. Perjumpaan para penulis dan pembaca dalam bentuk festival juga tumbuh. Di Bali ada UBUD Writers & Readers Festival, Makassar punya Makassar International Writers Festival (MIWF), di Jakarta terdapat Asean Literary Festival. Di Yogyakarta, ada program Mocosik, festival yang menggabungkan buku dan musik yang pertama kali digelar tahun ini. Berjarak puluhan kilometer dari pusat kota Yogyakarta, beberapa tahun sebelumnya sudah berlangsung Borobudur Festival and Cultural Festival. Tahun 2015, Nusa Tenggara Timur juga menggelar Festival Sastra. Di Palu, Sulawesi Tengah, tahun lalu menggelar Festival Literasi Indonesia. Masih tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Bahasa Gorontalo menginisiasi program Temu Sastra – Literasi Gorontalo untuk Indonesia.

Peristiwa literasi dalam bentuk program dan festival sudah menjalar ke titik yang belum menjadi titik produksi buku. Hal ini tentu perlu diapresiasi, bahwa geliat literasi sebagai upaya memutus mata rantai minus baca masyarakat menemukan momentumnya dan tidak melulu di kota besar di Jawa yang beriklim kuat produksi buku.
Di luar kegiatan tahunan itu, jaringan Pustaka Bergerak yang dipantik Nirwan Ahmad Arsuka dkk membumikan gerakan literasi sebagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Dan, tampaknya, menjadi model yang coba diterapkan oleh mereka yang tergerak mengantarkan buku mencari pembaca.
Koran Tempo Makassar, sebelum berhenti terbit, ada ruang khusus yang dinamai Literasi. Rubrik yang rutin diisi oleh Alwy Rachman, Ahyar Anwar (alm), Aslan Abidin, M. Aan Mansyur, Shinta Febriani. Belakangan mengundang penulis mumpuni di Makassar termasuk penulis baru. Sejumlah tulisan yang pernah tayang di sana dibukukan dan menambah tabungan literasi.
Untuk urusan membukukan tulisan, media online Makassar Nol Kilometer tak bisa disepelekan. Sebuah buku dengan judul yang sama – berisi kumpulan tulisan sudah terbit sebelum media onlinenya dibuat. Kemudian tahun 2014, buku seri kompilasi tulisan Jurnalisme Plat Kuning lahir. Apa yang diusahakan media online itu juga didorong semangat literasi.
Terbukanya ruang mengakses beragam bacaan dimungkinkan setelah reformasi. Banyak buku yang dulu dilarang beredar menjumpai pembacanya. Meski pada satu peristiwa, masih terjadi pelarangan buku tertentu.
Upaya pembatasan itu tentu saja menemui lorong buntu. Sebab, bukankah ketika Orba sedang kuat-kuatnya, peredaran buku yang dianggap berbahaya itu terdistribusi di bawah tanah, sehingga masih ada generasi yang membacanya.
Jika literasi dalam pengertiannya yang luas merupakan aktivitas membaca apa saja. Lantas, mengapa masih terjadi pelarangan terhadap buku tertentu. Apakah kegiatan literasi di ruang yang lain adalah penyeragaman cara baca. Lalu apa literasi itu sebenarnya.
Alwi Rachman, yang juga dosen FIBS Universitas Hasanuddin, Makassar menegaskan kalau literasi bukanlah menyangkut buta huruf atau melek aksara. Literasi itu jalan manusia membaca kebudayaan dan sebaliknya. Jika demikian, literasi adalah pergulatan manusia itu sendiri dalam mengarungi dan membaca zamannnya.
_
AWAL tahun 1990-an, toko buku besar belum ada di Makassar. Lema ‘literasi’ belumlah dikenal. Anwar Amin, pengelola Kedai Baca Sipakainga di Jalan Veteran Selatan menceritakan kalau toko buku di era itu memang sudah ada. Salah satu yang diingatnya adalah toko buku yang dikelola oleh ayah mendiang Prof Ahmad Ali (alm.), kolumnis di harian Fajar semasa hidupnya.
Di dekade itu pula terdapat penyewaan buku, salah satunya bernama Gagal Asmara yang menyediakan ratusan novel Fredy S, Motinggo Busye, Abdullah Harahap, Enny Arrow, Kho Ping Hoo dan lainnya. Bekas stempel penyewaan buku itu masih ada di sejumlah buku koleksinya yang ia beli tahun 2012 di toko buku loakan di Jalan Sungai Cerekang.
Sewaktu kecil, muda-mudi di kampung sering saya dapati membaca novel Fredy S dan melarang kami yang masih kecil menyentuhnya. Sekali waktu, anak perempuan guru mengaji saya yang sudah SMA juga saya pergoki membaca Fredy dan memelototkan mata agar menjauh.
Salah satu kakak perempuan saya juga menyimpan novel Fredy di bawah lipatan bajunya di lemari. Di kala senggang, teman perempuan sebayanya kerap ke rumah dan membaca Fredy beramai-ramai. Riuh tawa terdengar lalu redam jika emak menegur supaya tidak ribut.
Lipatan waktu di masa kecil itu menumbuhkan tanya. Memasuki masa SMP, saya masih menemukan satu atau dua buku Fredy di rumah atau di rumah sepupu. Halamannya saya buka dan mencari tahu sebab apa buku itu dibaca. Dan, rupanya. Fredy ya begitu.
Jungkir balik cara pandang terhadap Fredy baru terjadi tahun 2011 ketika membaca esai Muhidin M. Dahlan di blognya berjudul “Fredy S, Seks, dan G30S”. Sepak terjang Fredy perlahan mulai terkuak yang tidak pernah menampilkan latar belakang dirinya di halaman terakhir semua novel yang diterbitkannya.
Gus Muh, sapaan penulis novel Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur itu menyebutkan kalau kerja literasi Fredy S tidaklah sembarang. Empat tahun setelah Arifin C. Noer merilis film Pengkhianatan G30S/PKI, Fredy merilis “Heksalogi Terpidana” bertema G30S meliputi 6 judul roman. “Dari segi volume halaman, masing-masing buku rata-rata 200-an halaman. Dilihat tebalnya (1200 halaman), pekerjaan Fredy ini tergolong serius,” tulis Gus Muh.
Karya Fredy mengisi waktu relung pembaca generasi 1980-1990 an, peredaran bukunya menjangkau hingga ke pelosok. Di Sulawesi Selatan, berjarak sekitar 230 km di utara kota Makassar, Rahmat Munawwar, seorang blogger yang melewati masa sekolah menengah atasnya di Sengkang, Wajo. Tahun 1993 sudah mendapati sejumlah novel Fredy yang disewakan di kantin sekolah.
“Satu hal yang menarik dari Fredy S, adalah tawaran sensualitas yang menggelitik imajinasi pembaca dan berpengaruh ke beberapa hal. Salah satunya bagi saya, memantik pembaca untuk menulis. Secara tidak langsung Fredy S mengajarkan alur dalam penulisan,” ungkapnya melalui obrolan di Facebook beberapa hari lalu.
Di tengah minimnya bacaan di zamannya, Rahmat menganggap karya Fredy merupakan bacaan alternatif dari buku pelajaran sekolah di perpustakaan. Ia tak memungkiri pengaruh Fredy di sejumlah cerpen yang digubahnya. “Sebagai mantan pembaca Fredy S, saya dapat manfaat dalam penciptaan alur dan penokohan,” terangnya.
Majalah Historia Nomor 19 Tahun II, 2014 menurunkan liputan khusus mengenai Fredy S. Nama lahirnya Bambang Eko Siswanto, lahir di Semarang pada 5 Mei 1954. Sebelum menulis novel, Fredy Siswanto, yang kemudian familiar dengan Fredy S sebagai nama pena, menerbitkan sejumlah komik bergenre percintaan. Melukis poster film, menggarap novel silat, mengampuh sebagai wartawan, terjun ke dunia film sebelum menghibahkan diri menulis ratusan novel popular (yang dianggap picisan).
“Novel pertamanya Senyummu adalah Tangisku (terbit 1978) diangkat ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung lakon yang membintanginya sederet artis papan atas: Soekarno M. Noor, Rano Karno, Anita Carolina, dan Farida Pasha. Setahun kemudian, novelnya Sejuta Serat Sutera juga difilmkan. Bintangnya Rudi Salam dan Tanty Josepha,” tulis Wenri Wanhar di laman online Historia.
Fredy S merupakan penanda zaman dalam dunia sastra, meski dalam arus utama kesusastraan namanya tidak dianggap walau karyanya juga menyasar pembaca di Malaysia dan Singapura. Tahun 2009, Gus Muh bersama karibnya di Indonesia Buku menerbitkan buku setebal 1.000 halaman bertajuk Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikubur. Catatan Wenri mengingatkan kalau nomor urut ke-32 tidak ada. Keterangan dari Gus Muh, itu nomor didedikasikan bagi Fredy. Dibiarkan kosong karena saat itu tidak berhasil menggali sosok Fredy.
Kepada empat kawan penggerutu di Pangkep: Nhany, Ria, Mun, dan Afdal saya tawari untuk membaca Fredy S. Mulanya Nhany dan Mun menanggapi kalau tidak pernah mendengar nama Fredy. Itu sangat mungkin karena mereka lahir awal tahun 1980-an dan 1990-an. Sama dengan saya. Setelah memberikan gambaran singkat, responsnya berubah yang menunjukkan kalau nama Fredy sudah didengar dan mengetahui novel apa yang ditulis.
Ria dan Afdal, masih satu generasi, langsung mengiyakan dan tertarik membaca tetapi keduanya tak memilik novelnya. Afdal menerangkan kalau dirinya pernah membaca salah satu novel Fredy secara sembunyi.
Berbeda dengan Badauni A. Palinrungi, kawan penggerutu lainnya di Pangkep, menuturkan kalau novel Fredy lebih biru dari film biru itu sendiri. “Film biru tidak memancing keliaran imajinasi. Berbeda ketika mengeja novel Fredy. Meski berupa teks tetapi sangat visual,” ungkapnya.
Tahun 2013, saya menemukan penjual buku loakan di Pasar Sentral Makassar, puluhan novel Fredy dijual bersamaan ragam buku lainnya seperti bacaan Surah Pendek atau Panduan Praktik Salat juga buku Primbon Wanita. Satu judul roman senilai Rp 5.000,- dan saya memutuskan membeli 10 judul. Di Jalan Kandea, juga terdapat toko buku yang menjual novel Fredy.
Pengalaman membaca, hal ditabukan tidaklah sebagaimana disangkakan. Sejumlah cerita percintaan datar saja. Malah, adegan cerita di novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas atau di beberapa adegan seks di Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan lebih menantang. Saya mulai sangsi, apakah itu benar karya Fredy atau bukan. Kembali ke ulasan Wenri, nama tenar Fredy S memang sering dicatut tanpa seizinnya untuk novel serupa.
Pengalaman pembacaan Rahmat juga mengingatkan kalau inti cerita seks Fredy terletak di bagian ketiga. Karena bagian pertama dan kedua adalah alur dan penokohan. “Jadi, jika ingin langsung membaca cerita seksnya, langsung saja ke bagian ketiga,” tuturnya. Namun, tetap saja saya tidak menemukan cerita seks di roman Fredy yang kubeli itu.
Hingga Fredy S wafat pada 24 Januari 2015, sama dengan kematian Abdullah Harahap, penulis seangkatannya yang dikenal maestro novel horor. Tidak ada perayaan hiruk pikuk di linimasa medsos apalagi headline di koran-koran ketika ada penulis ternama berpulang. Dan, sangat mungkin, jutaan pembacanya di dalam negeri atau di Malaysia juga Singapura tak mengetahui mangkatnya penulis idola mereka.
Sejumlah festival yang saya sebutkan di awal, selain MIWF, festival lainnya tak pernah saya hadiri. Saya tidak tahu persis apakah Fredy S pernah menjadi semacam agenda pembicaraan di sana.
“Fredy S memang tidak seperti Sitor Situmorang atau Pramoedya Ananta Toer yang kematiannya diabadikan media massa seantero negeri dan karya-karyanya bisa dibacakan berhari-hari. Fredy kalis dari semua itu. Bahkan katalog Perpustakaan Nasional Republik Nasional (PNRI) emoh merekam karyanya karena mungkin dianggap buku jorok; seberapa puluh pun judul yang ditulis Fredy,” kenang Gus Muh di Mojok.Co yang mengingatkan kematian Fredy S.
Di perhelatan MIWF tahun 2016, Eka Kurniawan menyebutkan kalau salah satu masalah utama perbukuan di Indonesia menyangkut peredaran. Distribusi berpusat di kota dan jaringan toko buku tertentu. Pembecak dengan pakaian kucel tentu enggan masuk ke Gramedia, misalnya, untuk menengok buku. Andai, buku tersedia di warung kopi, di terminal, atau di pos ronda di kampung. Satu tantangan sudah dilewati.
Sehingga baginya, tidak keliru jika harta karun kesusastraan (tanpa petik) Indonesia berutang budi pada roman yang dianggap picisan oleh kritikus, akademisi, dan bahkan sastrawan itu sendiri. Di kota kecil di Jawa Barat, Pangandaran, roman Abdullah Harahap, Motinggo Busye, dan SB Chandra adalah akses bacaan yang menemaniya melewati masa remaja.
Penulis dan salah satu penerjemah buku Manusia Bugis karya Cristian Pelras, selain Abdurahman Abu, Nurhady Sirimorok mengungkapkan kalau Fredy juga pernah dibaca kala melewati masa remajanya di Pare-Pare, kota kecil lainnya di Sulawesi Selatan berjarak ratusan kilometer di utara kota Makassar.
Kehadiran karya Fredy serupa menemukan potongan koran yang dijadikan pembungkus baju di pasar. Dibaca sambil lalu kemudian lupa. Novel Fredy didapat dari pinjaman teman SMA jika ada yang membawanya ke sekolah atau di tempat ia meluangkan waktu bersama teman sejawatnya.
Minimnya akses bacaan sastra di kotanya menjadi sandungan selain sebagai pemuda yang tidak memiliki uang jajan lebih untuk disisihkan membeli buku bacaan. Praktis, novel Fredy ia seumpama menemukan potongan koran di pasar kemudian dibaca dan dilupakan dan tidak berpengaruh secara pribadi.
“Meskipun Fredy S berpengaruh, tidak memancing saya mencari bacaan lain karena minimnya akses bacaan. Jadi, novel Fredy baru dibaca jika sudah ada di tangan,” tuturnya. Lebih jauh ia menuturkan kalau novel Fredy tak bisa dikatakan aib karena dalam literasi – aib itu berupa plagiasi. “Sependek yang saya ketahui, tidak pernah terdengar ia melakukan plagiasi,” ia menambahkan.
Sekali waktu Eka pernah bersitegang dengan seseorang yang menimpalinya di kedai kopi. Ia sedang membaca The Strangeness in My Mind dan selanjutnya terjadilah adu ocehan yang diakibatkan – karena orang itu menganggap Eka seolah mendewakan Orhan Pamuk di peta kesusastraan Turki. Eka geram dan hampir menyumpal mulut orang itu dengan tisu.
Pengalaman Eka itu dituangkan di blognya berujudul Membayangkan Enny Arrow sebagai Tonggak Kesusastraan Indonesia. Ia membayangkan karya Enny Arrow diterjemahkan ke sejumlah bahasa kemudian ulasannya terbit di The Paris Review atau Granta. Orang di luar sana kemudian menjadikan novel Enny sebagai pintu masuk kesusastraan Indonesia. Hasilnya, muncul orang seperti di kedai kopi itu yang melakukan bantahan kalau kesusastraan Indonesia tidaklah cabul. Tetapi, orang di luar sana sudah telanjur menyukai Enny yang dianggapkan berhasil menulis cerita porno.
Bagaimana dengan Fredy? Tentu bukan tindakan kriminal jika membaca novelnya. Anwar J. Rachman, penulis yang mengelola perpustakaan Kampung Buku di Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar, mengatakan kalau orang berhak masuk ke dunia literasi dari beragam genre, bisa komik sampai bacaan berupa novel Fredy S.
Pada dekade 90-an, entah bagaimana distribusi novel Fredy S bisa menjangkau kota kabupaten di Sulawesi Selatan. Anwar mengenang kalau di kampung halamannya di Rappang, Sidrap, juga berjarak ratusan kilometer dari Makassar, penyewaan novel Fredy S juga ada.
Jika bicara literasi pada dekade itu, selain Fredy S, serial cerita silat Wiro Sableng gubahan Bastion Tito, Lupus besutan Hilman Olga, dan Balada Si Roy dari Gola Gong tak bisa dilupakan. “Selain Fredy S yang mungkin membuat generasi saat itu terpapar bacaan, saya salah satu remaja bercita-cita berjalan jauh ke banyak tempat oleh cerita Gola Gong,” terangnya.
Lalu, apakah membaca Fredy S adalah aib dan dosa dalam literasi? Anwar menerangkan kalau aib dalam literasi adalah tidak membantu penyebaran buku, tidak membaca, atau tidak menulis.
Novel Fredy S memanglah tidak dilarang di era Orba sebagaimana yang menimpa karya Pramoedya Ananta Toer dan sejumlah karya penulis lainnya yang dianggap berbahaya. Meski begitu, cukup bernyalikah membacanya di ruang publik – bahkan ketika ruang berekspresi sudah seliar sekarang.
Jika membaca Pram ketika Orba sedang kuat-kuatnya dianggap subversif oleh penguasa, maka boleh jadi membaca Fredy di era Orba hingga sekarang masih dicap subversif oleh kekuasaan moralitas di sekitar.
_
Referensi

Komentar

Kyndaerim mengatakan…
Lagi bersihin blog eh nemu blog ini, hehe..
Tulisannya bagus..

Postingan Populer