Membayangkan Tim (Idola) Sepakbola

Repro. Sumber gambar di sini

Cibiran teman di grup WhatsApp mengenai kekalahan Argentina 3 gol tanpa balas dari Kroasia di penyisihan grup D Piala Dunia 2018 direspons dengan beragam meme yang, justru menguatkan kalau pelatih tim idolanya tidak becus menurunkan pemain.


Tidak bisa tidak. Setiap kali gelaran sepakbola empat tahunan ini digelar. Argentina selalu ditempatkan di atas tim negara yang lain. Argentina, sebelum Spanyol dikenal memeragakan sepakbola indah di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Negara Maradona itulah yang selalu dilabeli pengusung sepakbola indah. Walau, sesungguhya, jika mau melihat lebih dalam. Tim Argentina tidaklah sedemikian indah sebagaimana labelisasi yang selama ini telanjur diamini.

Perjalanan Argentina menuju Piala Dunia di Rusia sudah menjadi isu yang terus dibicarakan dan berlanjut hingga menempati grup D bersama Islandia, Kroasia, dan lawan abadinya di Piala Dunia, Nigeria.

Kedigdayaan Argentina di Piala Dunia 1986 adalah dongeng yang terus diproduksi sebagai upaya menutupi keculasan pencapaian di Piala Dunia 1978. Dekade itu, dunia membayangkan kalau Johan Cruijff yang seharusnya mengangkat tropi. Namun, sepakbola, di tangan militer yang berkuasa di Argentina menjadikannya pertunjukan sirkus.

Tetapi, Maradona, si anak ajaib yang bandel itu juga memeragakan sepakbola sebagai laku culas sekaligus penari hebat sepanjang masa. Kedua hal ini tak bisa ditutupi. Tuhan maha tahu, tetapi menunda. Inggris meringis lewat dua gol dari rupa yang berbeda dari Maradona.
Saya kira, titiknya di Piala Dunia 1986 itulah sehingga Argentina selalu ditempatkan sebagai tim di atas tim yang lain tiap kali Piala Dunia digelar. Sihir Maradona melampaui ekspektasi orang mengenai formasi. Walau, jika acuannya pada kemampuan individu, Pele juga menari di Piala Dunia yang dilakoni.

Pertanyaannya, siapakah yang memengaruhi proses perubahan. Apakah invidu atau masyarakat. Di Piala Dunia 2006, bukankah Argentina sudah kehilangan sosok macam Maradona yang menari seorang diri. dalam hal ini, Riquelme perlu dibaca sebagai sosok yang lain.

Manusia menjadi fana untuk mengawetkan taktik. Demikian halnya tim Spanyol yang hanya menyeruduk bola kesana kemari layaknya Banteng di hadapan matador sebelum memenangkan Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia pertamanya lalu berganti julukan menjadi La Roja (Spanyol tak lagi marah).

Hal ini pula yang menjadi dasar seorang teman di grup WhatsApp yang lain, pengidola Spanyol agar terus memainkan sepakbola indah sesuai imajinasinya di Piala Dunia 2010 dan dua edisi Piala Eropa (2008 dan 2012). Lalu, apakah Spanyol sudah berhenti (masih dengan skema yang sama) memainkan sepakbola indah di Piala Dunia 2014.

Ia menduga kalau Portugal tim untuk seorang pemain. Hanya Ronaldo yang menjebol gawang De Gea tiga kali. Barangkali saja, teman saya itu lupa kalau Ronaldo hanya bermain 8 menit di final Piala Eropa 2016. Dan, satu lagi, gol penentu kemenangan tentu saja bukan sepakan Ronaldo. Bisakah dikatakan kalau Portugal hanya tim bagi Ronaldo.

Portugal sering disebut sebagai imitasi sepakbola Brasil saking rancaknya para pemainnya mengolah bola. Apakah itu dapat disaksikan di Prancis. Memang Portugal melenggang ke final Eropa 2004 ketika para pemain rancak masih dalam skuat. Hasilnya, defensif Yunani membuyarkan semuanya. Tidakkah kita melihat defensifitas itu di tubuh Portugal membuyarkan rancak Prancis di final 2016.

Pengidola garis keras Portugal bisa saja kecewa dengan tim 2016 dengan formasi 2004. Sebuah strategi adalah sebuah waktu. Menjadi efektif di waktu tertentu dan tidak berguna di waktu lain. Kini, Argentina sedang mengalaminya. Pengidola Argentina berdoa agar Nigeria dapat dikalahkan dan Kroasia memesan tiket pulang bagi Islandia di laga akhir.

Tarian Maradona bisa saja membutakan para pengidola ini. Jika harus tetap waras, Maradona adalah sebuah waktu. Karena itu menjadi temporal. Tradisi El Diez, orang diistimewahkan di tim Argentina yang selalu memakai nomor sepuluh dalam sejarah tim menjadi tidak berguna dan bisa saja efektif. Piala Dunia 2014 adalah capaian sekaligus kutukan.

Membayangkan tim sepakbola yang diidolakan harus juga memahami siklus waktu. Bukankah penerapan teknologi di Piala Dunia kali ini sudah sangat membantu. Karena itu, kali ini Tuhan tidak akan menunda, kecuali wasit mengganti perannya di lapangan.
_



Komentar

Postingan Populer