Di Lantai Dua

Dok. Kamar Bawah

Jarak menjadi bentangan yang selalu dikeluhkan. Barangkali saja, itu bisa dijadikan alasan mengapa, ada kerumunan yang disebut kota. Segalanya begitu dekat karena semuanya adalah titik pusat.

Benarkah demikian. Memperpendek jarak sebagai bagian rencana melekatkan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan. Terlalu sepele jika hal seperti itu harus dibahas dengan sekali duduk di meja kopi. Begini saja, segala hal yang dikeluhkan sesungguhnya, berupa keinginan yang belum dicapai atau, telah digenggam namun ingin dikembalikan kesediakala.





_
Setelah sebulan pindah ke lokasi kerja yang baru. Beberapa kehilangan kembali muncul. Hadir bersamaan dengan jarak yang telah kupangkas. Rupanya, jarak itu bukan semata memotong jarak tempuh dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Kedekatan itu juga hadir dalam perjalanan yang panjang.

Di sepanjang perjalanan menuju dan kembali dari lokasi bekerja, di kiri kanan jalan tampak benih kenangan yang dulu kutabung di balik jendela mikrolet bila emak mengajak saya ke Makassar. Kenangan itu bertumbuh seiring saya sudah bisa melakukan perjalanan seorang diri di hari-hari yang lain.

Tak selalu, tetapi sesekali melintas cibiran mengutuk hari-hari yang basah. Perjalanan serasa berat dan lambat di tengah mustahilnya menghentikan peralihan detik. Dunia ini memaksa untuk bergegas. Persisnya dunia kerja yang kutapaki. Waktu bukan persoalan relativitas melainkan kepastian.
_

Dinginnya waktu menjadi kurungan di lantai dua. Di dalam dinding kaca di balik jejeran meja yang dipenuhi kertas, jadwal, dan perjanjian. Perangkat komputer menjadi lawan bicara di jam-jam yang sibuk. Jalinan percakapan di grup WhatsApp menjadi perangkat tambahan.

Dulu sekali, impian mengenakan setelan kemeja saban pagi merupakan imajinasi tentang hidup yang selayaknya dijalani. Prosesnya harus bertahap dan satu-satunya jalan, ialah meniti tangga pada jenjang sekolah formal.

Sayang, waktu bukanlah kekekalan. Tetapi, waktu juga berjalan meninggalkan hal-hal yang usang. Perubahan pola pikir mengubah jalannya proses. Meninggalkan segala hal yang tak dapat diajak menembus waktu yang terus bergerak.

Andai tidak ada yang disebut takdir. Maka tidak ada alasan yang dapat tersepakati begitu cepat. Dapat dibayangkan perdebatan dari segala situasi tidak bakal bertemu pada satu titik untuk menyudahi pembicaraan.



Komentar

Postingan Populer