Tentang Hujan yang Sebentar
Sekali waktu perjalanan ke Makassar, bulan Juni saat itu, tahunnya jauh sebelum Jokowi menjabat presiden ketujuh Republik Indonesia. Juga jauh sebelum Susilo Bambang Yudhoyono berhasil diingat sebagai presidan yang tak pernah dilengserkan di republik ini.
Perhitungan tetua di kampung belumlah meleset mengenai siklus musim. Enam bulan musim kemarau dan enam bulan sisanya hujan mengguyur. Maka abadilah puisi Sapardi Djoko Damono tentang hujan bulan Juni itu.
Jadi begini ceritanya. Kisah semacam ini tentulah tidak intim yang menunjukkan bahwa peristiwanya biasa saja, sangat biasa sekali, malah, saya membonceng di vesva butut seorang kawan, tujuan ke Makassar saat itu hanyalah untuk, sekadar menikmati pisang epe dan sarabba di Pantai Losari.
Bukan apa-apa, sebagai orang Sulawesi Selatan, di usia menjelang 20 tahunan, saya dan kawan itu belum pernah sekalipun memiliki pengalaman duduk-duduk di pantai Losari bahkan setelah musisi lokal, Anci Laricci mendendangkan tembang yang terkenal mengenai pengalaman menikmati penganan di Losari.
Walau saya menempuh studi sekolah tingkat menengah atas di Makassar saat itu, memesan segelas sarabba dan sepiring pisang epe belum pernah saya lakoni. Nah, mumpung lagi libur dan kawan saya itu baru saja menjual dua karung gabah, maka jadilah petualangan di sisa sore di bulan Juni saat itu di tahun yang, petunjuknya sudah dijelaskan di atas (sila tebak sendiri kisaran tahunnya).
Menempuh perjalanan puluhan kilo meter menunggangi vesva butut itu, kalau kalian mau tahu ya, rasanya kayak ada manis-manisnya gitu. Kami tak hanya menyinggahi SPBU, warung, namun juga berteduh di bawah rindang pohon di tepi jalan.
Beberapa kali mesin tiba-tiba mati. Anda tahu apa yang diperbuat jika vesva ngadat. Dimiringkan ke kiri, kawan. Mengapa ke kiri dan bukan ke kanan. Ini bukan soal pilihan ideologi ya, lebih karena mesin vesva itu berada di kanan. Saya juga kurang paham mengapa harus dimiringkan ke kiri kaitannya dengan letak mesin. Tetapi menurut scooteris yang sudah level makrifat, tipsnya memang begitu.
Dan, sebagai scooteris yang tak mau berdosa pada leluhur. Kami yakin saja dengan metode itu tadi. Memiringkan vesva ke kiri. Kunfayakun, mesin hidup lagi. Alhamdulillah ya! Perjalanan kembali dilanjutkan. Separuh perjalanan sudah ditempuh. Tibalah waktunya singgah memarkir vesva di tepi jalan. Di bawah rindang pohon tentunya.
Keren saja bertingkah demikian. Meregangkan persendian sembari menyulut rokok. Melegakan tenggorokan dengan air kemasan. Dan ini, menertawakan laju sepeda motor produk Jepan. Kami menganggap kalau mereka yang menunggangi kuda besi semacam itu adalah, orang-orang yang bergegas tanpa memiliki agenda perjalanan yang indah. Alasan (sok) filosofis memang untuk menutupi ketidakmampuan membeli sepeda motor sejenis.
Dasar, kami lupa kalau masih separuh perjalanan. Bulan Juni saat itu, sekali lagi saya tegaskan. Realisme puisi Sapardi terjwujud. Kami saja tidak tabah melanjutkan perjalanan. Hujan yang turun sampai tumpah-tumpah di luar perhitungan. Lupa tepatnya, kalau sudah musim hujan. Memiringkan vesva ke kiri atau ke kanan hingga sejam lamanya juga tidak bakal menghentikan hujan. Berteduh dan berusaha melupakan agenda ke Losari menjadi agenda susulan yang mendesak didahulukan.
Sejumlah pengendara roda dua juga singgah di tempat kami berteduh. Begitu hujan agak redah, mereka yang memiliki mantel segera saja menghidupkan mesin. Menggilas aspal yang basah. Sejenak, hujan benar-benar telah berhenti. Butuh sebatang rokok memastikan melanjutkan perjalanan ke lokasi tujuan atau kembali pulang.
Perjudian dimenangkan rencana awal. Vesva kembali dihidupkan. Namun, namanya musim hujan, sudah pasti air yang turun (kalian pikir apa, ha!). Gas diundur untuk memastikan tempat berteduh yang nyaman.
Sedialah payung sebelum hujan. Pepatah ini tentu saja tidak berlaku bagi kami. Kalaupun ada payung saat itu, tetap saja tak dapat digunakan di atas laju sepeda motor. Hujan yang turun tidaklah lama. Pantang menyerah. Kembali vesva melaju. Tak lama hujan mengguyur lagi. kami Singgah lagi. Melaju kembali begitu hujan redah dan memilih menepi jika hujan kembali turun. Begitu seterusnya. Hingga kami tak sadar sedang melaju pulang ke rumah.
Pernahkah anda mengalaminya. Melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor tanpa membawa mantel. Lalu, hujan sebentar turun sebentar redah. Atau pernahkah anda sudah dibungkus mantel sebagai tindakan siaga satu atas petunjuk langit barat yang menghitam.
Kemudian tak lama perjalanan ditempuh, eh mentari sedang terik-teriknya. Pasangan mata pengendara yang lain menatap sepintas guna memastikan kita ini masih waras atau memang telah terjadi hujan. Mantel dilepas dan perjalanan kembali dilanjutkan. Dan, hujan turun lagi. Hujan yang sebentar.
Perhitungan tetua di kampung belumlah meleset mengenai siklus musim. Enam bulan musim kemarau dan enam bulan sisanya hujan mengguyur. Maka abadilah puisi Sapardi Djoko Damono tentang hujan bulan Juni itu.
Jadi begini ceritanya. Kisah semacam ini tentulah tidak intim yang menunjukkan bahwa peristiwanya biasa saja, sangat biasa sekali, malah, saya membonceng di vesva butut seorang kawan, tujuan ke Makassar saat itu hanyalah untuk, sekadar menikmati pisang epe dan sarabba di Pantai Losari.
Bukan apa-apa, sebagai orang Sulawesi Selatan, di usia menjelang 20 tahunan, saya dan kawan itu belum pernah sekalipun memiliki pengalaman duduk-duduk di pantai Losari bahkan setelah musisi lokal, Anci Laricci mendendangkan tembang yang terkenal mengenai pengalaman menikmati penganan di Losari.
Walau saya menempuh studi sekolah tingkat menengah atas di Makassar saat itu, memesan segelas sarabba dan sepiring pisang epe belum pernah saya lakoni. Nah, mumpung lagi libur dan kawan saya itu baru saja menjual dua karung gabah, maka jadilah petualangan di sisa sore di bulan Juni saat itu di tahun yang, petunjuknya sudah dijelaskan di atas (sila tebak sendiri kisaran tahunnya).
Menempuh perjalanan puluhan kilo meter menunggangi vesva butut itu, kalau kalian mau tahu ya, rasanya kayak ada manis-manisnya gitu. Kami tak hanya menyinggahi SPBU, warung, namun juga berteduh di bawah rindang pohon di tepi jalan.
Beberapa kali mesin tiba-tiba mati. Anda tahu apa yang diperbuat jika vesva ngadat. Dimiringkan ke kiri, kawan. Mengapa ke kiri dan bukan ke kanan. Ini bukan soal pilihan ideologi ya, lebih karena mesin vesva itu berada di kanan. Saya juga kurang paham mengapa harus dimiringkan ke kiri kaitannya dengan letak mesin. Tetapi menurut scooteris yang sudah level makrifat, tipsnya memang begitu.
Dan, sebagai scooteris yang tak mau berdosa pada leluhur. Kami yakin saja dengan metode itu tadi. Memiringkan vesva ke kiri. Kunfayakun, mesin hidup lagi. Alhamdulillah ya! Perjalanan kembali dilanjutkan. Separuh perjalanan sudah ditempuh. Tibalah waktunya singgah memarkir vesva di tepi jalan. Di bawah rindang pohon tentunya.
Keren saja bertingkah demikian. Meregangkan persendian sembari menyulut rokok. Melegakan tenggorokan dengan air kemasan. Dan ini, menertawakan laju sepeda motor produk Jepan. Kami menganggap kalau mereka yang menunggangi kuda besi semacam itu adalah, orang-orang yang bergegas tanpa memiliki agenda perjalanan yang indah. Alasan (sok) filosofis memang untuk menutupi ketidakmampuan membeli sepeda motor sejenis.
Dasar, kami lupa kalau masih separuh perjalanan. Bulan Juni saat itu, sekali lagi saya tegaskan. Realisme puisi Sapardi terjwujud. Kami saja tidak tabah melanjutkan perjalanan. Hujan yang turun sampai tumpah-tumpah di luar perhitungan. Lupa tepatnya, kalau sudah musim hujan. Memiringkan vesva ke kiri atau ke kanan hingga sejam lamanya juga tidak bakal menghentikan hujan. Berteduh dan berusaha melupakan agenda ke Losari menjadi agenda susulan yang mendesak didahulukan.
Sejumlah pengendara roda dua juga singgah di tempat kami berteduh. Begitu hujan agak redah, mereka yang memiliki mantel segera saja menghidupkan mesin. Menggilas aspal yang basah. Sejenak, hujan benar-benar telah berhenti. Butuh sebatang rokok memastikan melanjutkan perjalanan ke lokasi tujuan atau kembali pulang.
Perjudian dimenangkan rencana awal. Vesva kembali dihidupkan. Namun, namanya musim hujan, sudah pasti air yang turun (kalian pikir apa, ha!). Gas diundur untuk memastikan tempat berteduh yang nyaman.
Sedialah payung sebelum hujan. Pepatah ini tentu saja tidak berlaku bagi kami. Kalaupun ada payung saat itu, tetap saja tak dapat digunakan di atas laju sepeda motor. Hujan yang turun tidaklah lama. Pantang menyerah. Kembali vesva melaju. Tak lama hujan mengguyur lagi. kami Singgah lagi. Melaju kembali begitu hujan redah dan memilih menepi jika hujan kembali turun. Begitu seterusnya. Hingga kami tak sadar sedang melaju pulang ke rumah.
Pernahkah anda mengalaminya. Melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor tanpa membawa mantel. Lalu, hujan sebentar turun sebentar redah. Atau pernahkah anda sudah dibungkus mantel sebagai tindakan siaga satu atas petunjuk langit barat yang menghitam.
Kemudian tak lama perjalanan ditempuh, eh mentari sedang terik-teriknya. Pasangan mata pengendara yang lain menatap sepintas guna memastikan kita ini masih waras atau memang telah terjadi hujan. Mantel dilepas dan perjalanan kembali dilanjutkan. Dan, hujan turun lagi. Hujan yang sebentar.
*
Pernah dimuat di saraung.com
Komentar