Sehimpun Tragedi

Dok. Kamar Bawah

Saya mengingat Irhyl R Makkatutu sebagai teman di Facebook, entah siapa yang memulai melayangkan permintaan pertemaman di media sosial bikinan Mark Elliot Zuckerberg itu. Sebelumnya, namanya kerap saya baca di rubrik Budaya Harian Fajar, cerpennya selalu dimuat di sana.

Di tahun 2012, kami berjumpa kali pertama di kedai baca Sipakainga, ruang baca yang didirikan seorang tua, Anwar Amin di jalan Veteran Selatan, Makassar. Entah lagi, perjumpaan itu dimulai dengan janji ataukah pertemuan tanpa rencana. Satu yang pasti, kami saling bertukar buku. Ia menyerahkan kumcer berisi cerpen dari banyak pengarang di dalamnya. Hal yang sama saya lakukan, memberinya kumcer yang isinya buruk sekali.

Setelah itu, bisa dikatakan, sewindu gerimis berlalu, kami tak pernah berjumpa. Di Facebook, sebatas saling mengelik suka pada status yang dianggap perlu. Sekali dua kali, jika sempat membeli Fajar edisi Minggu, kadang menjumpai cerpennya dimuat. Ia lelaki yang produktif menulis cerita.
Di perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF) pada Juni 2016 lalu. Kami saling melambaikan tangan di dalam ruangan mengikuti sesi dialog novel O yang dihadiri sang empunya novel, Eka Kurniawan. Tak sempat bercakap lebih lama.

Di pengujung tahun 2016, selepas gerimis menjelang senja, tanpa janji, kami kembali bersua di salah satu warung kopi di jalan Sultan Alauddin. Segelas kopi yang kupesan sudah tandas ketika ia datang. Parasnya tidak berubah sewaktu berjumpa lima tahun silam, ada lekukan letih di kedua matanya seolah baru saja keluar dari lorong panjang gelap dan sepi. Tas punggung juga masih melekat, serasa punggungnya adalah magnet.

Ia mengajak duduk sebentar yang, mengharuskan sebatang rokok kusulut, kami bercerita sejenak tentang media online. Di akhir perjumpaan, ia memberi buku lagi. Kali ini, kumpulan cerpen tunggalnya, Lelaki Gerimis. Usai berfoto, saya pamit tanpa memberinya buku.
_

Dalam Lelaki Gerimis, Irhyl membekali setiap cerita dengan sajak dengan judul serupa. Total ada 19 cerita, 14 di antaranya pernah dimuat di rubrik Budaya Fajar, 2 cerita tayang di harian Radar Bulukumba, media cetak yang terbit di tanah kelahirannya. Satu judul dipublikasikan di harian Cakrawala. Dua cerpen sisanya belum pernah tayang di media cetak.

Irhyl memasuki labirin jiwa perempuan dalam menyampaikan pokok masalah yang sedang dihadapi. Fondasi tutur kisah bertumpuh pada seliuk penantian yang tak berwujud. Tema ini bisa ditemukan di cerpen Lelaki Gerimis, Rindu Ibu di Lebaran, dan Awal Tahun di Losari.

Tokoh di ketiga cerita itu semuanya perempuan. Konflik dua sahabat begitu pelik di Lelaki Gerimis. Ada hal yang tak terjabarkan di antara keduanya tetapi dapat dirasakan. Namun, kedua perempuan yang bersahabat itu tidak sampai mengalami klimaks konflik yang, sesungguhnya berpeluang ada. Andai itu terjadi, maka sangat klise sekali. Dua perempuan mencintai satu lelaki.

Konflik dalam diri juga tersaji di Rindu Ibu di Lebaran, cerita ini mengantar pada pengalaman jamak seorang ibu di kampung dalam menanti anaknya kembali dari rantau. Penuturan tentulah pilihan. Dan, Irhyl mengarahkan penantian yang gagal itu ke situasi sosial yang marak dihadapi pekerja imigran. Si anak, bernama Wardi sudah meniatkan pulang lebaran di kampungnya pupus karena persoalan sentimentil dua negara serumpun. Merujuk pada hubungan Indonesia dengan Malaysia.

Nalar pembaca niscaya ada, di tengah cerita ketika sudah paham kalau si ibu hanya menanti tanpa kehadiran di depan pintu, saya justru membayangkan kalau anaknya mengalami kecelakaan berujung kematian. Rupanya, tidaklah setragik demikian. Itu pilihan penuturan, sekali lagi. Tragedi (kesepian) hanya hidup di benak si ibu.

Penantian tak kunjung mewujud, juga dialami perempuan dalam Awal Tahun di Losari. Perempuan begitu tabah dan setia, tepatnya terhegemoni kuasa lelaki. Dasar penantiannya absurd. Berbekal tulisan janji lelaki yang dinanti di dinding kamar indekos.

Apakah Irhyl hendak mengumandangkan kalau dalam selilit janji, perempuanlah yang paling setia. Tetapi, di cerpen Lipa Sa’be, tokoh lelaki justru berada di posisi sebaliknya.

Cerita yang ditawarkan Irhyl menunjukkan rentetan peristiwa yang memiliki kaitan walau setiap cerpen menawarkan konteks berbeda. Relasi itu merupakan tragedi yang dialami setiap tokoh dalam menghadapi situasinya sendiri.

Meski cerpen Beternak Tikus disajikan secara komikal, tragedi tak berhenti. Di sebuah kampung, tikus berubah menjadi lahan bisnis. Saya kira, tema ini bukan alegoris untuk mengeritik perilaku korupsi. Melainkan lelucon atas lahirnya paradoks di tengah masyarakat.

Bermula dari seorang kakek yang berhasil menangkap seekor tikus yang sudah merusak dan mengotori rumah. Selanjutnya tikus itu tidak dibunuh dan justru dipelihara. Lambat laun orang-orang pada memelihara tikus karena mendatangkan keuntungan ekonomi.

Cerita ini dibungkus kisah sepasang kekasih yang muak dengan perilaku beternak tikus itu, pemuda tak lain adalah cucu dari kakek yang memulai beternak tikus, sedang perempuannya juga diliput persoalan serupa. Orangtuanya turut memelihara tikus.

Di hari ketika mereka memutuskan minggat, si lelaki dilanda kalut. Ia tak menyambut tangan kekasihnya karena hal sepele. Si perempuan datang dengan memakai kaus bergambar tokoh kartun Tom dan Jerry.

Begitulah Irhyl mengemas tragedi. Bagaimana pun pedihnya kisah, lelucon kadang terselip di dalamnya.
_








Komentar

Postingan Populer