Ode Messi


Messi yang tertanam di batok kepala kita. Ialah alien bertubuh manusia. Diutus ke bumi karena kutukan. Mudah saja baginya memenangi gelar pemain terbaik sejagad berkali-kali. Tak sedikit ia menampilkan sihir di lapangan. Sang Penyelemat, segera menjadi sebutan kultus baginya. Jangan salah, untuk tetap dianggap manusia, ia disebut juga Si Kutu, sebagai gelar profan baginya.

Dari mana informasi semua itu kita dapatkan. Siapakah yang memulainya. Bukan siapa-siapa. Kita sendirilah yang berperan. Mengonsumsi konstruksi yang didapat kemudian melakukan konstruksi ulang. Kita melakukan kesenangan duniawi sesuka perut sebagai respons terhadap penciptaan global sebuah kisah.

Kita melepaskan sisi kemanusiaan yang terpaut dengan logika di bumi. Mencipta realitas yang sesungguhnya tidak bisa hidup di sekitar kita. Memakai pendekatan Freudian, ilusi ini kita copot dari dalam mimpi. Sebuah tindakan melupakan sesak realitas. Tetapi justru terjebak pada pseudo.

Messi bukanlah pendendam, meski rasa itu ia resapi dari orang-orang yang menyimpan ekspektasi di pundaknya. Sebuah capaian agar tim nasional negaranya, Argentina, segera merengkuh trofi. Bukan sesuatu yang salah memang. Kedua kuping Messi tidaklah tuli. Di titik di mana ia bersimpuh laiknya manusia dan bukan alien sebagaimana yang disematkan. Ia ingin menukar semua trofi Ballon d’Or dengan sebiji trofi piala dunia.

Suatu ketegasan saya kira. Anggaplah pernyataan itu lepas begitu saja di tengah kerumunan manusia. Tetap sebagai bukti kalau Messi sangat ingin membawa Tim Tango meraih trofi. Kekalahan dua final dari tahun 2014 dan 2015. Messi masih masih bisa menenangkan diri kalau kesempatan masih ada. Ia tabah memulai dari awal lagi.

Copa America Centenario (CAC) yang digelar setahun kemudian pasca gelaran Copa America 2015, kompetisi negara Amerika Selatan (Conmebol) yang sejatinya dilaksanakan empat tahun sekali sejak 2007. Menjadi ruang pertama bagi Messi bersama Argentina mengulangi menapaki anak tangga.
Messi menuju Amerika Serikat masih bersama endapan luka yang membayangi di dunia final prestius yang dilalui. Memenangkan semua gelar di Eropa bersama FC Barcelona, menjadi titik awal kutukan untuknya. Messi memanen pujian dan kritik juga tugas berat untuk menjiplak pencapaian serupa bersama negaranya.

Analisis tak berkeseduhan bahkan dengan menggunakan komparasi antara Messi di Barcelona dengan Messi ketika mengenakan seragam tim nasional Argentina semata menjadi lumeran pelampiasan kejengkelan. Insfrastruktur di Barcelona tak jauh beda dengan di Argentina. Zen RS di esainya, Mite Messi yang didasarkan pada kegagalan final Piala Dunia 2014 sudah tidak berlaku. Messi sudah didampingi malaikat penyelamat jika sosok itu disematakn pada Angel Di Maria. Ia masuk starting line up di final CAC. Walau tidak tampil impresif.

Tetapi, bukankah tanpa Messi Argentina sudah mengalahkan Chile di penyisihan grup. Kita boleh berdelik kalau situasinya lain. Laga final sunggulah penuh beban mental tak terpermanai. Hal ini bisa dirasakan sekalipun oleh mereka yang bukan pesepabola profesional.

Hanya saja, Messi, dengan bakatnya telah menancapkan tujuan itu sendiri. Pemain terbaik di dunia yang diraihnya hingga lima kali menjadi rumus yang hanya dirinya dapat menjelaskan. Disebut sebagai kutukan pada akhirnya menjadi keadilan agar Messi tetap sebagai manusia. Bukan alien yang akhirnya takluk di bumi karena kesombongannya.

Bersama Tata Martino di Barcalona yang menggantikan mendiang Tito Vilanova, Barcelona tidak meraih gelar di musim 2013-2014. Skuat Blaugrana di eranya tidaklah jauh beda ketika Pep Guardiola membimbing Messi, Iniesta, dan Xavi. Jika merujuk pada materi pemain. Barcelona tetaplah Barcelona.

Argentina mengulang perjalanan yang sama. baik-baik saja di penyisihan kemudian gugup di final. Messi tak hanya melawan skuat Chile. Dia harus pula melawan dirinya sendiri. Titipan harapan di pundaknya tak kuasa ia pikul. Maradona saja tidak sampai mengalami nasib demikian. Begitu cepat dilupakan setelah kasus doping di Piala Dunia 1994.

Jika Belanda adalah tim nasional yang disebut juara tanpa gelar Piala Dunia karena telah tiga kali tembus ke final (1974, 1978, dan 2010) namu selalu gagal. Maka Messi, menjadi pemain yang memiliki kelebihan di atas rata-rata pemain lain yang gagal di tiga final.

Memilih mundur dari timnas pada akhirnya jawaban mengakhiri kutukan atas dirinya. Tidak ada lagi yang dicaci dan dipuja. Ia menyelesaikan nasibnya sendiri. Messi tetaplah manusia dengan anugerah lebih selaku pesepakbola. Ia memiliki pencapaian tersendiri bersama Argentina.

Messi di batok kepala kita selanjutnya adalah Messi sebagai manusia yang sudah berhenti mengejar keinginannya. Ia tidak diselesaikan dengan usia. Melainkan kembali ke rumahnya dan menutup pintu. Mungkin dengan cara itu. Manusia di luar dirinya berhenti pula membangun konstruksi terhadapnya. Tidak Messi, manusia itu memang cerewet. Kau tetap akan diceriatakan layaknya dongeng.
_

Dimuat di saraung.com edisi 27 Juni 2016




Komentar

Postingan Populer