Mereka yang Menyapa Dedaunan

Foto: Zul dari PSK

Biar lambat asal selamat. Pepatah lama ini bisa jadi, sepenuhnya bukan semboyan yang dijadikan kompas hidup. Tetapi, sangat berguna bagi mereka yang menolak selalu tergesa.

Jumat sore, 25 Maret, Zul dan Koko sudah menyiapkan tunggangan yang akan digunakan menantang jalan berkelok menanjak menuju perkampungan di kaki gunung Bulusaraung. Desa Tompobulu. Tur yang dinamai Camping Ground Pangkep Bersatu itu melibatkan lima klub motor scooter di Pangkep.

Kelima klub pecinta sepeda motor berbodi montok itu, Vespa Indevendent Pangkep (VIP), Persaudaraan Scooter Kabba (PSK), Pangkep Scooter Club (PSC), Vesva Comunty, dan Komves. Mereka berkumpul dan melakukan turing bersama sebagai sarana dalam mengikat emosional sesama pengguna scooter.

Zul dari PSK yang menggunakan scooter produksi tahun 1988, mengungkapkan kalau turing kali ini merupakan jelajah dalam mengunjungi desa terpencil di Pangkep. “Jika selama ini turing selalu identik dengan perjalanan luar daerah, maka PSK dan klub motor scooter yang lain bakal menjajal medan pegunungan.” Tuturnya.

Rute dimulai dari markas PSK di rumah Koko, pemuda berbadan tambun yang juga menyukai scooter sejak sejumlah anak muda di kampungnya mulai mengganti sepeda motor produk Jepang dan beralih ke produksi Piaggio, pabrikan otomotif asal Italia yang mulai mengenalkan sepeda motor praktis dan elegan itu di tahun 1945.

Di Pangkep, komunitas scooter tumbuh dan redup seiring zaman. Sekitar lima tahun lalu sebelum mereka, sudah ada klub scooter Abunawas dan Vesva 777 yang sering mangkal di bawah patung jam Semen Tonasa di titik nol kota Pangkajene saban malam Minggu. PSK, VIP, PSC, Vesva Comunty, dan Komves tentu saja generasi baru yang didominasi pemuda kelahiran 1990 an.

Melihat tahun kelahiran. Selera otomotif anak-anak muda ini tidaklah biasa. Di tengah gempuran sepeda motor yang menawarkan kecepatan. Mereka justru berlari ke belakang mencari produksi paling tua. Malah, semakin tua semakin dicari. Agus, juga dari PSK, rela merogoh kocek demi memenuhi impian memiliki vesva bonte produksi tahun1964.

Dikarenakan onderdil scooter tidak diproduksi lagi. Maka, mereka sering bertukar peralatan dan rela meluangkan waktu berjam-jam merevarasi mesin dan bodi agar kembali ke wujud semula sebagaimana aslinya. Hanya saja, impian tak selamanya berbuah manis. Itulah mengapa, ada beberapa scooter justru dipasangi beragam pernik agar terlihat unik. Misalnya saja, salah satu scooter anggota PSK dipasangi atap daun rumbia yang menarik perhatian orang.

Masih menurut Zul, lelaki lajang yang sehari-hari bekerja di rumah sakit daerah Pangkep ini, menerangkan kalau rombongan akan menginap di Tompo Bulu dan esoknya, perjalanan dilanjutkan menembusi medan berkelok dan menanjak lagi menuju desa-desa di Kecamatan Tondong Tallasa.
Sungguh, itu suatu tantangan. Pasalnya, menggunakan sepeda motor baru saja harus ekstra hati-hati. Tetapi, itulah tantangan yang hendak ditaklukkan. Di medan terjal itulah rasa persaudaraan dibangun. Meresapi belaian angin pegunungan dan melihat dedaunan melambai.

Praktis. Tidak ada jutaan pasang mata di tepi jalan melihat rombongan mereka. Di sepanjang jalan hanya ada kesunyian. Mereka, para pecinta scooter, seolah ingin berkata kalau sekali-kali lakukanlah perjalanan menyapa dedaunan di keheningan hutan. Itu penting sebagai media dalam mendekatkan diri dengan alam.

_

Dimuat di saraung.com edisi 29 Maret 2016



Komentar

Postingan Populer