Membincang Pelayanan Kesehatan di Pangkep

Dok. Pribadi

Di Teras Inspirasi, demikian lokasi itu dinamai di sisi Barat halaman di stadion Andi Mappe Pangkep. Pas depan warkop D’Corner. Berjarak sekitar satu kilo dari ruas jalan poros Trans Sulawesi yang mulai ramai dilintasi pemudik meninggalkan kota Makassar menuju kampung halamannya di sisa Ramadan 1437 H. Sejumlah orang dari pelbagai kalangan malah tengah membincang persoalan publik.

Upaya itu dilakukan Komite Komunitas Demokrasi Pangkep (KKDP) didukung sejumlah lembaga, Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Pangkep, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Stand Up Indo Pangkep. Serta media online, Bebas Batas.Com juga Saraung.Com. Menggelar dialog publik mengetengahkan isu pelayanan kesehatan di Pangkep.

Program ini merupakan lanjutan dari dialog yang sudah dilakukan sebelumnya di lokasi yang sama sebagai respons atas rentetan peristiwa menyangkut pelayanan kesehatan. KKDP telah mengundang instansi terkait guna mengefektifkan tema dialog yang diangkat, Menggeledah Pelayanan Kesehatan di Pangkep. Hanya saja, tidak semua sempat hadir, termasuk undangan sejumlah kepala Puskesmas.
Meski demikian, dialog tetap terlaksana. Archi 115 Band membuka dialog dengan tembang Malam Lailatur Qadar yang dipopulerkan Bimbo. Archut, dari Komunitas Stand Up Indo Pangkep didaulat selaku moderator. “Menggeledah ada dua kemungkinan, yakni menemukan hal buruk atau yang baik.” Ia memulai.

Wakil Ketua I DPRD Pangkep, Ir Rizaldi Parumpa diberi kesempatan pertama. “Saya kaget membaca temanya, ada yang harus digeledah,” ucapnya disambut senyum. Rizaldi mengungkapkan kalau pembahasan anggaran menyangkut pelayanan kesehatan selalu didahulukan bahkan jauh sebelum terbentuknya Pansus Pelayanan Kesehatan di DPRD Pangkep.

Dari perkembangan pembahasan di Pansus sudah menetapkan beberapa poin rekomendasi, di antaranya, fasilitas di bangsal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pangkep harus sama dengan ruang VIP yang, membedakan hanya jumlah pasien saja dalam satu ruangan.

Dari Dinas Kesehatan Pangkep, hadir Koordinator Pelayanan Medis, Ilham Ilyas mewakili Kadis Kesehatan, dr Indriani yang berhalangan datang. Menjelaskan kalau pelayanan kesehatan merupakan aplikasi dari dua Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 75 Tahun 2014 yang mengatur fasilitas fisik dan No 46 Tahun 2014 soal pelayanan kesehatan.

“Jika sampai tahun 2019 masih ada Puskesmas belum terakreditasi. Maka Puskesmas bersangkutan tidak dibolehkan beroperasi,” ungkap Ilham. Pernyataan ini mengagetkan peserta. Ilham berkukuh kalau hal tersebut sudah menjadi aturan yang harus dijalankan. Tentu menjadi masalah, andai proses akreditasi benar-benar tidak tercapai. Namun, itulah tantangan yang harus dituntaskan sebagai tolak ukur.

Apa yang disampaikan Ilham mengenai akreditasi Puskesmas, di sisi lain menjadi penting dilakukan dalam peningkatan layanan kesehatan. Sebagai layanan kesehatan di tingat Kecamatan dan menjadi akses yang paling cepat dijangkau masyarakat sebelum ke rumah sakit. Puskesmas memang perlu memiliki standarisasi.

Menanggapi pernyataan Rizaldi, Ilham menantang DPRD agar lebih aktif melakukan monitoring karena di Puskesmas atau di rumah sakit justru terdapat fasilitas yang tidak difungsikan. Sesungguhnya secara fungsional, pihak Kadis Kesehatan punya wewenang menyampaikan teguran ke pihak Puskesmas karena masih dalam lingkup pengawasannya. Berbeda dengan pengelolaan rumah sakit yang sudah di luar otoritas Kadis Kesehatan. Ilham berharap, ke depannya, ada perubahan regulasi mengenai tata kelola rumah sakit yang harusnya melibatkan Dinas Kesehatan di tingkat kabupaten supaya bisa melakukan kontrol.

Archut memandu jalannya dialog secara komikal. Di sela peralihan dengar pendapat ke peserta yang lain, tak lupa ia menyelipkan selingan humor yang mengundang tawa. Sebagai Comic, sebutan untuk pelaku Stand Up Comedy, Archut memiliki keahlian memelintir pernyataan peserta menjadi lelucon kritis.

Haniah, dari KPI melayangkan tandingan wacana mengenai regulasi pelayanan kesehatan. Menurutnya, pelayanan kesehatan dijalankan berdasar aturan yang lebih tinggi, yakni Undang Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan daripada Permenkes atau SOP yang sifatnya insidentil.

Lebih lanjut, Haniah menambahkan mengenai keluhan yang disampaikan masyarakat mestinya ditanggapi dengan peningkatan layanan yang lebih baik. Secara spesifik, perempuan membutuhkan fasilitas pelayanan kesehatan lebih ketimbang lelaki. Perempuan harus dipahami memiliki sisi lain karena mengalami haid dan melahirkan. Di titik itulah, jika perempuan menjadi pasien di instansi kesehatan memerlukan pelayanan khusus dan fasilitas tambahan. “Hal ini erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi.” Tegasnya.

Mengakumulasi pengalaman mendatangi pelayanan kesehatan, dominan selalu menyangkut peliknya pelayanan administrasi. Nany, aktivis Aisyiyah Muhammadiyah menceritakan kisah temannya yang ingin meminjam mobil ambulans di Puskesmas Pangkajene. Tetapi, hal tersebut tidak bisa diakomodasi karena hari libur dan Puskesmas tutup. “Jadi, bisakah kita melarang warga sakit di hari libur?” Ucapnya. Ini kontras, karena bukankah di Puskesmas memberlakukan jam kerja shif, jadi di hari libur tetap ada petugas yang melayani.

Syahrul Syaf, pemerhati persoalan publik, juga mengungkapkan hal serupa. Administrasi dianggapnya merupakan hal urgen yang harus diselesaikan terlebih dahulu ketimbang melakukan pertolongan pertama pada pasien. Hal ini jelas melupakan sisi kemanusiaan. Ia menawarkan solusi futuristik mengurai sengkarut persoalan administrasi ini menggunakan digitalisasi.

Kesaksian Hamzah dari pulau Sabutung, tenaga medis yang bertugas justru mereka yang hanya berstatus honorer atau sukarela. Ia sangsih dengan layanan yang diberikan sebab mereka justru tidak ditunjang dengan kompensasi gaji yang jelas. Justru tenaga medis yang dibayar negara malah jarang berada di lokasi.

“Bisakah pelayanan kesehatan berubah ke arah lebih baik dengan tunjangan fasilitas lengkap?” Pertanyaan retoris ini diajukan Asran Idrus. Pengelola warkop D’Corner ini tidak dapat menutupi kegusarannya jika pelayanan kesehatan dibahas.

Ia bahkan muak dan menganggap kalau dialog dengan isu pelayanan kesehatan hanyalah buang-buang waktu. “Masyarakat tidak mau tahu apa itu Undang Undang dan Permenkes. Intinya, masyarakat datang ke Puskesmas atau ke rumah sakit ingin dilayani dan berharap sembuh,” ketusnya. Kegusarannya tidak sampai di situ. Asran juga sangsih, katanya, usaha mulia ini akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan peubahan mental di instansi kesehatan. Ungkapannya ini meriuhkan jalannya dialog karena ditentang oleh Rizaldi yang menganggap dialog tetap perlu dilakukan sebagai ruang saling berbagi meski isunya berulang.

Penulis, M Farid W Makkulau, kembali mengingatkan soal keluhan warga yang diposting ke media sosial kaitannya dengan layanan kesehatan. Ia tergelitik ingin mendengar respons Ilham. Di luar dugaan, Ilham justru tidak tahu soal kasus itu. Padahal sudah berjalan hampir sebulan sejak Misbah Maggading dilaporkan ke Polres Pangkep oleh drg Zulfitriani yang bertugas di Puskesmas Tondong Tallasa.

Ilham mengatakan kalau hal demikian sudah bukan wewenang kerjanya. Ia sebatas melakukan koordinasi mengenai berjalannya pelayanan kesehatan di Puskesmas. Soal keluhan atau solusi yang ingin disampaikan warga, Ilham menyampaikan kalau di setiap Puskesmas sudah ada kotak saran.

Muhammad Ramli Sirajuddin, aktivis sosial, menagih tanggung jawab struktural. Ia kecewa jika tidak ada teguran dari pimpinan kepada bawahan yang bertindak menanggapi keluhan warga secara berlebihan sampai harus melapor ke pihak berwajib. Bagaimanapun, harus ada komunikasi dan mediasi supaya tindakan demikian tidak terulang. Ia memaklumi jika masih ada jabatan lebih tinggi di atas jabatan Ilham sebagai eksekutor soal urusan memberikan teguran.

Zulkifli, pendiri ruang maya Kampung Pangkep, menilai kalau lembaga pemerintah sudah harus berbenah meninggalkan cara manual dalam menerima masukan dari warga. “Kotak saran sudah tidak relevan dengan situasi saat ini. Lagi pula, informasinya tidak menjadi konsumsi publik karena hanya pihak Puskesmas yang tahu. Media sosial, tidak bisa tidak, sudah harus digunakan untuk mengetahui kritik dan saran dari warga.” Terangnya

Di sisa waktu. Rizaldi Parumpa menyarankan supaya hasil dialog ini melahirkan sejumlah poin untuk dimasukkan sebagai rekomendasi ke Pansus Pelayanan Kesehatan DPRD. Legislator dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini juga menantang untuk kembali merancang dialog yang lebih komplit dengan menghadirkan perwakilan lembaga profesi kedokteran, Kepala RSUD Pangkep, Kadis Kesehatan, dan Kepala Puskesmas.
_

Dimuat di saraung.com edisi 3 Juli 2016



Komentar

Postingan Populer