Khotbah Bedebah Tere Liye


Lalu lintas percakapan dan obrolan beramai-ramai di media sosial kini berpindah ke WhatsApp, ini sesungguhnya hal lumrah saja dan tak perlu data ilmiah sebagai penunjang. Dua minggu lalu, seorang kawan melalui WA, mengirimkan cover novel Pulang, dikarenakan angin kencang dan lain hal, meski sebetulnya yang terjadi kuota sudah menipis. Gambar itu samar, semula saya kira Pulang-nya Leila S Chudori dalam cover baru.

Insting saya menangkap ini penting sekali. Dikuatkan ia menelepon memastikan kiriman gambarnya tiba dengan selamat tanpa kekurangan apa pun. Saya iyakan saja, dong, untuk menutupi ketidakberdayaan saya membeli kartu data terbaru. Sesampai di warkop barulah gambar itu terang benderang. Jaringan Wi-Fi menuntaskan segalanya.

Tak habis pikir saya, kawan itu menghendaki saya membelikannya novel Pulang-nya Tere Liye. “Saya tidak membaca Tere Liye,” tulis saya selanjutnya menanggapi. Ia menelepon lagi dan mendesak dicarikan di toko buku di Makassar. “Saya mau tahu saja caranya menulis,” ucapnya menutup obrolan.

Hingga saya merangkai kata-kata ini. Tsssaaahh! Sudah lama sekali, kan, baru mengeja kembali frasa ini. Permintaannya itu tidak kupenuhi. Malas saja ke toko buku di mall gede itu menenteng novel menuju kasir yang senyumnya sudah sangat pasaran. Takutnya, saya bakal ditegur kaum hijabers yang kebetulan sekali menenteng novel serupa. Lalu dia akan memulai obrolan: “Wah, bapak penggemar Tere Liye juga, ya!” Cuiiiiihhh! Jangan sampai deh! Tetapi, kadang juga mengimpikan peristiwa seperti itu terjadi layaknya dalam sinetron.

Nah, kemarin sore itu, pas lagi mengangkat kedua tangan untuk takbir pertama memulai rakaat pertama salat asar yang selalu saja telat ditunaikan. Malah, rakaat terakhir belum kelar, azan magrib sudah memanggil. Ya, Tuhan! Ampunilah hamba yang kelewat mengejar dunia ini.

Hape lalu bergetar di saku celana depan, sebagai orang mobail dengan informasi, saya batalkanlah takbir pertama. Rupanya seorang kawan mengirim teks copyan tulisan Bung Darwis di grup WA yang menanggapi isu kenaikan cukai rokok. Di belakang saya, dua mahkluk beda ideologi mengompori. “Ayo, ayo, ayo, batalkan salat!” satunya lagi menyeru: “Sebaiknya-baiknya mukmin, ialah yang mendirikan salat baru mengrus dunia lagi.”

Ya, Tuhan, berat sekali cobaan ini. Siapa, sih, si Tere Liye itu. Baiklah, dia menantang dengan data. Salat saya tuntaskan sebagai tambahan data bagi malaikat Raqib dan Atid kalau kemarin itu, Rabu, 24 Agustus di sisa sore sebelum petang benar-benar sempurna, hamba Allah yang hina dinah ini menuntaskan juga salat asar.

Usai membaca tuntas postingan itu dan menanggapi seperlunya dengan dua penghuni grup yang lain. Kawan yang memesan novel Tere Liye itu saya konfirmasi ulang guna memastikan apakah dia sudah melupakan rencananya membeli buku Bung Darwis. Di ujung telepon, kawan yang tak ingin sekali kalau namanya tidak disebutkan dalam catatan ini, ia tahu waktu saya menghubunginya, kalau saya sedang membuat ulasan dan pasti akan dimuat di saraung.com, media paling fenomenal di Pangkep saat ini, halah! Tak perlulah saya sebutkan namanya, tidak penting. Lagian, tulisan ini bukan untuk dia.

Rupanya, ia tetap ingin membaca novel Pulang. Saya pikir tidak ada yang salah. Tidak keliru memang membaca karya penulis yang memang produktif  dan gemar mengenakan kupluk itu. Hanya saja, mungkin, sedikit buang-buang waktu saja.

Jadi begini, Tere Liye menganggap bila cukai rokok mau naik atau tidak, semuanya tidak berpihak pada petani tembakau dan buruh pabrik. Ia menunjukkan data kalau impor tembakau dari Tiongkok menjadi santapan segar pengusaha rokok yang semakin hari memilih menggunakan mesin ketimbang jasa manusia. Sampai di sini, Tere menempatkan kalau pengusahalah yang untung dari naik dan tidaknya cukai rokok.

“….Hingga kita lupa, Sampoerna, untung setahunnya bisa 10 trlyun loh. 10.000.000.000.000, tuh nol-nya banyak banget. Kalau gaji kalian di kantor ‘cuma’ 10 juta per bulan, kalian butuh 1.000.000 bulan untuk dapat uang ini.” 

Kutipan di atas dari Tere Liye. Ia sangsi kalau perusahaan rokok berpihak pada petani tembakau dan buruh pabrik. “Bisnis adalah bisnis” ia tegaskan. Jika yang dikhawatirkan pemecatan buruh, masih menurut Tere Liye, jauh sebelum cukai rokok bakal dinaikkan, PT. HM. Sampoerna sudah memecat 4.900 buruhnya di tahun 2014. Bentoel juga menutup pabriknya dari 11 sisa 3. Termasuk Gudang Garam yang turut mem-PHK 4.000 lebih buruhnya.

Di akhir tulisan, Tere mengungkapkan kejujurannya, bahwa seruan moralnya ini tidak diperuntukkan bagi perokok yang sudah level langitan sekalipun. Ia cuek bebek kalau ada yang mati atau sehat gara-gara rokok. Ia mendedikasikan khotbahnya itu untuk pengikut di Fanpagenya saja.

“…yg saya peduli, di page ini, 2/3 anggotanya adalah remaja, merekalah tujuan sy menulis. Saat mereka memikirkan tulisan ini, akan lahir jutaan generasi baru yang tahu persis jika merokok itu tidak bikin jantan, macho, cowboy, dsbgnya, merokok itu justeru bikin impoten. Jadi tidak perlu GR ngamuk2 nulis komen marah, tulisan ini bukan untuk kalian.” 

Yang di atas juga kutipan dari Tere Leye. Sengaja saya tuliskan sesuai dari sananya. Saya tidak ingin mengubah penulisannya yang, tentu berdasar penulisan baku tidaklah demikian harusnya. Saya berbaik sangka, loh! Kali saja Tera Liye kebelet pipis sehingga tak sempat lagi melakukan pengeditan sebelum masing-masing penggemarnya yang jumlahnya,  masyaalloh, luar biasa tumpahnya, membagikannya lagi ke 765 grup WA atau 876 grup FB yan diikuti. Atau, jangan-jangan, tulisan ini memang dikerjakan di atas jamban. Keren, kan! Penulis produktif emang gitu gayanya. Semua tempat adalah ruang menulis.

Saya perlu kembali dulu ke kawan yang memesan novel Pulang itu. Padanya saya sampaikan kalau salah satu novel laris Tere Liye itu berjudul Negeri Para Bedebah. Data soal ini ada, kok! Saya malas saja menyebutkan sumbernya di sini. Si Tere juga tidak menyebutkan sumber datanya. Tetapi tidak mengapa, bukankah Tere nulisnya di Fanpage, tidak sedang mengajukan draf skripsi.

Ia malah tertarik. Selanjutnya kawan itu maunya digoyang tak mau Pulang. Ya, sudah, semoga saja novel itu masih ada stoknya di toko buku langganan saya. Lagi pula, tahun 2015 lalu, Tere Liye membuat gaduh netizen dengan isu yang sama. Pokoknya sama, ia mengajukan kalkulasi matematis yang masuk akal soal untung rugi antara pengusaha dan perokok. Karena datanya sama dan sudah dipecahkan gelasnya biar ramai di tahun itu juga, pokok ini lupakan saja. Catatan Iqbal Aji Daryono di Mojok.Co sudah bijak sekali.

Iya, ya? Saya juga baru sadar. Saya merokok sejak SD dan sempat menabung kekhawatiran jika kelak, saya bakal ditinggal kabur istri jika tidak mampu membuahinya. Namun, Alhamdulillah, ya! Setelah anak pertama lahir, saya semakin yakin kalau merokok tidak ada hubungannya dengan impoten. Saya bahkan bisa membuat istri hamil lagi hanya dengan memukul bokongnya dengan celana dalam. Bedebah juga itu si Tere Liye, nakut-nakutin generasi bahaya laten impoten.

Btw, tulisan ini bukan untuk pecinta dan si Tere Liye sendiri, ya! Tidak perlu GeeeRrrr, loh! Catatan ini didedikasikan dengan sangat lebay kepada pembaca Saraung.Com yang tersebar di delapan penjuru mata angin. Kalau mau menanggapi, sila kirim sanggahan di email Saraung.Com. Tak perlu repot gunakan data, kok!
*

Dimuat di saraung.com edisi 25 Agustus 2016
Ilustrasi: Kang Yuyun Nurachman




Komentar

Postingan Populer