Jalan Pedang Menuju Senjakala
Di laga internasional sekelas Piala Dunia. Hanya Roger Milla, legenda tim nasional Kamerun yang masih dipercaya bermain di usianya ke 42 tahun, itu terjadi di Piala Dunia tahun 1994 di Amerika Serikat. Setelahnya tidak ada lagi.
Rata-rata usia produktif atlet sepak bola mentok di usia 30 tahun. Jika pun ada tetap bermain di atas usia itu, peluangnya hanya sebatas penghormatan. Miroslav Klose di tim Jerman menjadi salah satu yang mujur mengakhiri karier dengan manis ketika sudah 36 tahun.
Usia bukan teka teki yang perlu dicarikan jawaban dalam ensiklopedia. Vicente del Bosque, pelatih tim Matador, Spanyol, dibuat linglung sebelum menetapkan materi pemain yang akan berlaga di Piala Eropa di Perancis. Spanyol mendulang generasi emas yang menjadi sandungan.
Apakah Bosque tidak percaya pada energi di setiap tapak usia. Tentu saja sangat dipahami. Tetapi strategi tidak selalu bertumpu pada jumlah. Beberapa pemain muda ditampik dan menetapkan pemain muda yang lain dalam skuatnya. Ia melanjutkan tradisi Luis Aragones, menepikan Raul Gonzales di Piala Eropa tahun 2008 di Austria-Swiss. Kali ini Fernando Torres yang disingkirkan oleh Bosque.
Situasi setiap tim memang berbeda. Memiliki kerumitannya masing-masing. Apa yang terjadi di tim Matador lain lagi di tim Tango. Tradisi berfikir Eropa berdiri di atas rasional. Di Amerika Latin, rasionalitas hanya lelucon. Cara pandang demikian ikut campur dalam segala lini. Termasuk dalam sepak bola. Itulah mengapa gol “tangan tuhan” Raul Ruidiaz dari Peru menjadi sah dan menjadi tiket perjalanan pulang Brasil dari Copa America Centenario (CAC).
Jauh sebelumnya, di tahun 1986, di gelaran Piala Dunia di Mexico, Maradona adalah bajingan tengik yang mengingatkan Inggris tentang tidak bergunanya rasionalitas empirik. Dengan enteng, Maradona membawa Tuhan dalam pledoinya. Paradigma empiris filsuf Inggris, Thomas Hobbes tak lebih kotoran cecak bagi Maradona.
Gelaran Copa America Centenario sudah sampai di akhir pesta ketika di Eropa tengah bergulat 16 tim yang memastikan lolos di penyisihan grup. Ulangan final Copa America tahun 2015 terulang. Chili kembali menantang Argentina di final.
Di penyisihan grup, tanpa Messi, tim Tango dengan mudah mengalahkan Chili dua gol berbalas satu. Sudah tuntaskah dendam setahun yang lalu. Sejak kekalahan di final melalui adu penalti, Argentina sudah dua kali mengalahkan Chili. Tetapi, kemenangan itu hanya berbuah tiga poin. Bukan trofi. Tidak ada dendam yang tuntas tanpa keadilan.
Argentina sebagai tim, di dalamnya ada 23 pemain yang dibawah Gerardo Martino di CAC dan menurunkan sebelas pemain di setiap laga, itu cara pandang rasionalitasnya. Hanya saja, tim Tango tak bisa tidak dikatakan sebagai panggung pemain istimewa yang selalu hadir sejak Mario Kempes.
Situasinya. Messi sudah melewatkan dua final bergengsi ketika dirinya ditasbihkan si pemain istimewa itu. Nomor sepuluh bukanlah sekadar angka sebagai nomor punggung. Lebih dalam, itu adalah titah suci. Lolosnya seorang fans masuk ke dalam lapangan lalu berlutut di kaki Messi menegaskan sakralnya kehadiran el diez, sosok istimewa dalam tim. Dan, itu adalah Messi.
Tidak masuk akal memang jika tugas berat meraih trofi macam Copa America dan Piala Dunia sepenuhnya diserahkan pada lelaki bertinggi 1,70 m yang di masa kecilnya sering sakit-sakitan. Kini Messi sudah berusia 29 tahun. Jejak peralihan menuju senjakala sudah tidak lama.
Maradona tak lagi pernah masuk tim Tango usai didepak di Piala Dunia 1994 akibat doping. Tahun 1997 di usianya ke 37 tahun, sang legenda gantung sepatu. Legenda yang lain, Gabriel Batistuta tak lagi masuk tim setelah Piala Dunia tahun 2002. Memilih pensiun di usia 36 tahun di tahun 2005.
Interval pelaksanaan kompetisi antar negara diadakan empat tahun sekali. Paling banyak bagi pemain hanya mengikuti tiga kali turnamen. Piala Dunia, misalnya, Messi sudah terlibat di Jerman tahun 2006, tahun 2010 di Afrika Selatan dan 2014 di Brasil. Piala Dunia 2018 di Rusia, Messi sudah 31 tahun. Belum terlalu uzur memang. Di ujung senjakala kariernya, Messi membiarkan bulu tumbuh di wajahnya yang akan menemaninya menempuh jalan pedang. Bertaruh melawan sisa deru nafas dalam larinya menggiring bola melewati kaki-kaki lawan.
Sebutlah ini takdir. Dia yang terlahir kekurangan hormon pertumbuhan dan harus melewati kehidupannya sebagai legenda. Di Argentina beredar lelucon getir tentang Messi yang disamakan dengan Che Guevara, keduanya lahir di Rosario, di masa kecil sering sakit dan lebih banyak menghirup udara di luar Argentina. Dan, keduanya tidak berguna bagi Argentina.
Che, hingga tewas selaku martir di Bolivia di tahun 1967 diingat dunia sebagai pejuang revolusi Kuba yang menggulingkan rezim diktator Fulgencio Batista. Setelah meninggalkan tanah kelahirannya di usia empat tahun, Che tak pernah memberi kontribusi bagi Argentina. Sisa hidupnya hanya milik Kuba.
Demikian halnya dengan Messi, hijrah ke Barcelona ketika berusia sebelas tahun. Klub Catalan itu menyanggupi biaya pengobatannya. Di FC Barcelona, Messi meraih gelar The Messiah karena kehadirannya meruntuhkan kejayaan Real Madrid, musuh bebuyutan Barcelona mendominasi La Liga.
Che sebagaimana dituliskan Zen RS dalam esai Sepakbola dalam Hidup Che Guevara, menjadikan sepak bola sebagai jalan diplomasi membangun komunikasi dengan penduduk negara-negara Amerika Latin yang dikunjunginya. “Sepak bola adalah senjata revolusi,” Kata Che. Di beberapa kesempatan Che bahkan sering pula bermain sebagai kiper.
Sebenarnya Messi sudah punya kans ketika membawa Argentina melaju ke final Piala Dunia 2014 dan Copa America setahun berikutnya. Sialnya, Jerman dan Chili mengalahkan Argentina. Dan kini, kembali Messi mengantar Argentina ke final CAC secara meyakinkan tanpa kekalahan. Sihirnya sudah ia buktikan dengan tiga gol ke gawang Panama dalam waktu 20 menit. Tendangan bebas ciamiknya ke gawang Amerika Serikat meluncur keras. Ia juga menjadi pelayan bagi gol yang dilesakkan Higuain, Lamela, dan Lavezzi. Sungguh sempurna.
Jika trofi CAC direngkuh Argentina, maka satu tahap keabadaiannya sudah diraih. Sisa Piala Dunia di usia senjakalanya di tahun 2018 nanti. Jika tuntas juga. Maka satire tidak berguna bagi Argentina terhapuskan. Pelik memang jalan pedang yang harus ditapaki.
Rata-rata usia produktif atlet sepak bola mentok di usia 30 tahun. Jika pun ada tetap bermain di atas usia itu, peluangnya hanya sebatas penghormatan. Miroslav Klose di tim Jerman menjadi salah satu yang mujur mengakhiri karier dengan manis ketika sudah 36 tahun.
Usia bukan teka teki yang perlu dicarikan jawaban dalam ensiklopedia. Vicente del Bosque, pelatih tim Matador, Spanyol, dibuat linglung sebelum menetapkan materi pemain yang akan berlaga di Piala Eropa di Perancis. Spanyol mendulang generasi emas yang menjadi sandungan.
Apakah Bosque tidak percaya pada energi di setiap tapak usia. Tentu saja sangat dipahami. Tetapi strategi tidak selalu bertumpu pada jumlah. Beberapa pemain muda ditampik dan menetapkan pemain muda yang lain dalam skuatnya. Ia melanjutkan tradisi Luis Aragones, menepikan Raul Gonzales di Piala Eropa tahun 2008 di Austria-Swiss. Kali ini Fernando Torres yang disingkirkan oleh Bosque.
Situasi setiap tim memang berbeda. Memiliki kerumitannya masing-masing. Apa yang terjadi di tim Matador lain lagi di tim Tango. Tradisi berfikir Eropa berdiri di atas rasional. Di Amerika Latin, rasionalitas hanya lelucon. Cara pandang demikian ikut campur dalam segala lini. Termasuk dalam sepak bola. Itulah mengapa gol “tangan tuhan” Raul Ruidiaz dari Peru menjadi sah dan menjadi tiket perjalanan pulang Brasil dari Copa America Centenario (CAC).
Jauh sebelumnya, di tahun 1986, di gelaran Piala Dunia di Mexico, Maradona adalah bajingan tengik yang mengingatkan Inggris tentang tidak bergunanya rasionalitas empirik. Dengan enteng, Maradona membawa Tuhan dalam pledoinya. Paradigma empiris filsuf Inggris, Thomas Hobbes tak lebih kotoran cecak bagi Maradona.
Gelaran Copa America Centenario sudah sampai di akhir pesta ketika di Eropa tengah bergulat 16 tim yang memastikan lolos di penyisihan grup. Ulangan final Copa America tahun 2015 terulang. Chili kembali menantang Argentina di final.
Di penyisihan grup, tanpa Messi, tim Tango dengan mudah mengalahkan Chili dua gol berbalas satu. Sudah tuntaskah dendam setahun yang lalu. Sejak kekalahan di final melalui adu penalti, Argentina sudah dua kali mengalahkan Chili. Tetapi, kemenangan itu hanya berbuah tiga poin. Bukan trofi. Tidak ada dendam yang tuntas tanpa keadilan.
Argentina sebagai tim, di dalamnya ada 23 pemain yang dibawah Gerardo Martino di CAC dan menurunkan sebelas pemain di setiap laga, itu cara pandang rasionalitasnya. Hanya saja, tim Tango tak bisa tidak dikatakan sebagai panggung pemain istimewa yang selalu hadir sejak Mario Kempes.
Situasinya. Messi sudah melewatkan dua final bergengsi ketika dirinya ditasbihkan si pemain istimewa itu. Nomor sepuluh bukanlah sekadar angka sebagai nomor punggung. Lebih dalam, itu adalah titah suci. Lolosnya seorang fans masuk ke dalam lapangan lalu berlutut di kaki Messi menegaskan sakralnya kehadiran el diez, sosok istimewa dalam tim. Dan, itu adalah Messi.
Tidak masuk akal memang jika tugas berat meraih trofi macam Copa America dan Piala Dunia sepenuhnya diserahkan pada lelaki bertinggi 1,70 m yang di masa kecilnya sering sakit-sakitan. Kini Messi sudah berusia 29 tahun. Jejak peralihan menuju senjakala sudah tidak lama.
Maradona tak lagi pernah masuk tim Tango usai didepak di Piala Dunia 1994 akibat doping. Tahun 1997 di usianya ke 37 tahun, sang legenda gantung sepatu. Legenda yang lain, Gabriel Batistuta tak lagi masuk tim setelah Piala Dunia tahun 2002. Memilih pensiun di usia 36 tahun di tahun 2005.
Interval pelaksanaan kompetisi antar negara diadakan empat tahun sekali. Paling banyak bagi pemain hanya mengikuti tiga kali turnamen. Piala Dunia, misalnya, Messi sudah terlibat di Jerman tahun 2006, tahun 2010 di Afrika Selatan dan 2014 di Brasil. Piala Dunia 2018 di Rusia, Messi sudah 31 tahun. Belum terlalu uzur memang. Di ujung senjakala kariernya, Messi membiarkan bulu tumbuh di wajahnya yang akan menemaninya menempuh jalan pedang. Bertaruh melawan sisa deru nafas dalam larinya menggiring bola melewati kaki-kaki lawan.
Sebutlah ini takdir. Dia yang terlahir kekurangan hormon pertumbuhan dan harus melewati kehidupannya sebagai legenda. Di Argentina beredar lelucon getir tentang Messi yang disamakan dengan Che Guevara, keduanya lahir di Rosario, di masa kecil sering sakit dan lebih banyak menghirup udara di luar Argentina. Dan, keduanya tidak berguna bagi Argentina.
Che, hingga tewas selaku martir di Bolivia di tahun 1967 diingat dunia sebagai pejuang revolusi Kuba yang menggulingkan rezim diktator Fulgencio Batista. Setelah meninggalkan tanah kelahirannya di usia empat tahun, Che tak pernah memberi kontribusi bagi Argentina. Sisa hidupnya hanya milik Kuba.
Demikian halnya dengan Messi, hijrah ke Barcelona ketika berusia sebelas tahun. Klub Catalan itu menyanggupi biaya pengobatannya. Di FC Barcelona, Messi meraih gelar The Messiah karena kehadirannya meruntuhkan kejayaan Real Madrid, musuh bebuyutan Barcelona mendominasi La Liga.
Che sebagaimana dituliskan Zen RS dalam esai Sepakbola dalam Hidup Che Guevara, menjadikan sepak bola sebagai jalan diplomasi membangun komunikasi dengan penduduk negara-negara Amerika Latin yang dikunjunginya. “Sepak bola adalah senjata revolusi,” Kata Che. Di beberapa kesempatan Che bahkan sering pula bermain sebagai kiper.
Sebenarnya Messi sudah punya kans ketika membawa Argentina melaju ke final Piala Dunia 2014 dan Copa America setahun berikutnya. Sialnya, Jerman dan Chili mengalahkan Argentina. Dan kini, kembali Messi mengantar Argentina ke final CAC secara meyakinkan tanpa kekalahan. Sihirnya sudah ia buktikan dengan tiga gol ke gawang Panama dalam waktu 20 menit. Tendangan bebas ciamiknya ke gawang Amerika Serikat meluncur keras. Ia juga menjadi pelayan bagi gol yang dilesakkan Higuain, Lamela, dan Lavezzi. Sungguh sempurna.
Jika trofi CAC direngkuh Argentina, maka satu tahap keabadaiannya sudah diraih. Sisa Piala Dunia di usia senjakalanya di tahun 2018 nanti. Jika tuntas juga. Maka satire tidak berguna bagi Argentina terhapuskan. Pelik memang jalan pedang yang harus ditapaki.
*
Pernah dimuat di saraung.com edisi 24 Juni 2016
Komentar