Enggak Gampang Jadi Aktivis
Eka Kurniawan di novel O, mengisahkan perjalanan seorang monyet yang ingin berubah menjadi manusia agar bisa dekat dengan kekasihnya, juga monyet, bernama Entang Kosasih, yang telah berhasil mewujud manusia.
Impian gilanya itu membawa O, nama monyet betina itu ke dalam ragam peristiwa pelik kehidupan binatang dan manusia yang, pada akhirnya ia tewas sebagai monyet, bukan selaku manusia, sebab ia gagal mencapaianya. “Enggak gampang jadi manusia,” ujarnya.
Ali Syariati, pemikir asal Iran, menegaskan kalau manusia itu sudah ada sebagai wujud (human being) tetapi belum tentu mengada seutuhnya manusia (human becoming). Karena masih dalam tataran berwujud manusia, seperti punya mata, telinga, dan anggota tubuh yang lainnya.
Memang enggak gampang jadi manusia. Sama halnya dengan curhat kawan di grup WhatsApp yang diisi sejumlah aktivis pembaharu di Pangkep. Katanya, sih begitu. Disebut aktivis pilihan. Meski separuh warga Pangkep telah mengklaim dirinya aktivis, tetapi jika belum layak masuk di grup WA yang dihuni aktivis pembaharu itu maka tidak dianggap. Aktivis juga punya kelas, loh!
Harus diakui memang, aktivis di grup WA bernama Para Penggerutu itu adalah mereka yang menempuh jalan terjal. Tidak tahulah kalau besok-besok jika sudah dapat proyek tryliunan atau telah mengenakan seragam hijau kelabu.
Tetapi, jangan salah! Menjadi aktivis atau bisa dilabeli sebagai aktvis itu juga tidak mudah. Kata salah satu aktivis di grup Para Penggerutu, menyebutkan kalau menjadi ustaz malah lebih mudah. Jadi, enggak gampang jadi aktivis. Seorang aktivis yang lain menuturkan, kalau ia rela menunda kuliah hukumnya selama tujuh tahun agar layak disebut aktivis.
Gembong aktivis di grup Para Penggerutu selain doyan menggerutu juga paling sering curhat. Salah satu anggotanya sampai sekarang masih berstatus terlapor di Polres Pangkep akibat curhatnya di Facebook telah meruntuhkan keangkuhan tembok Puskesmas di kampungnya. Curhat aktivis memang lebih berbahaya daripada bom. Camkan itu!
Ada lagi satu, lulusan dari universitas di Yogyakarta, saking seriusnya menapaki jalan aktivisme. Ia jatuh bangun membangun rumah singgah bagi kaum aktivis. Ia ingin aktivis di Pangkep menjadikan rumah itu sebagai tempat mangkal membicarakan apa saja. Semuanya tersedia, koleksi buku, ruang rapat, fasilitas internet, aneka makanan dan minuman, utamanya kopi. Ya, rumah singgah itu memang lebih pas disebut warkop ketimbang indekos.
Tegasnya, di grup Para Penggerutu, dihuni aktivis jempolan. Jika tidak ada isu seksi, maka penggunjingan bisa dimulai dengan membincang anggota grup yang penuh kesadaran memilih keluar karena tak kuasa mengikuti ritme obrolan yang berlangsung hingga subuh. Mengapa sampai subuh, ini juga masih misteri. Namun, desas desus yang diedarkan oleh mantan anggota grup mengakui kalau beberapa anggota grup biasanya baru pulas jika sudah mendengar azan subuh.
Kemarin, ada anggota grup yang curhat lagi mengenai evolusi keaktivisiannya. Dimulai ketika ikut-ikutan dalam orhanisasi berlabel agama hingga berlabel palu gerobak. Ia menguak luka masa lalu ketika dirinya ditipu. Sialnya, yang menipunya itu bukan penjual obat yang sering ia kunjungi di pasar. Melainkan karibnya sendiri. Seseorang yang sudah dianggap sebagai teman sejati, guru, hingga sebagai orang tua di dunia per-aktivis-an di Pangkep.
Curhatnya ini selain mengaduk emosi anggota grup, sampe ada yang marah dan akan menuntut penipu yang menyebut dirinya aktivis itu. Ada yang tak bisa berkata apa-apa dan sebatas mengirim gambar motion sedih. Sisanya, entahlah, kali saja sedang menunaikan salat asar. Juga yang penting, isi curhatnya menambah daftar panjang musuh kaum aktivis. Selain dipenjara, dibunuh, dikucilkan, aktivis juga harus siap ditipu.
Di dunia aktivis rupanya ada yang seperti itu, ya? Mungkin saja temannya teman yang mau menipu itu memulainya dengan curhat juga. Masa iya diungkapkan dalam rapat resmi orhanisasi. Karena teman yang menjadi korban itu merupakan aktivis berhati malaikat, maka dipenuhilah permintaan temannya itu. Dalam benaknya tak terbayangkan bakal ditikam dari belakang. Bukankah mereka satu orhanisasi. Senasib sepenanggungan. Satu tujuan satu komando. Tangan terkepal maju ke muka dengan pekikan: rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.
Enggak gampang memang menjadi aktivis. Pada Pilkada lalu, separuh warga Pangkep yang aktivis itu bermain dalam konstalasi politik mendukung kandidat berbeda. Hasilnya setelah pemenang ditetapkan, lahir prasangka kalau si A atau si B telah ditandai oleh rombongan aktivis yang kandidatnya menang arisan. Untunglah cuma ditandai di medsos saja dan bukan ditandai di KTP macam tapol Orba dulu.
Di buku biografi KH Wahid Hasyim terbitan Tempo, ayahanda Gusdur, dinukilkan Tan Malaka di malam buta mengunjungi rumah sang kiyai. Gusdur yang masih kecil saat itu memberikan kesaksian kalau bapaknya sering kedatangan tamu bernama Ibrahim.
Ibrahim tak lain adalah Tan Malaka. Lalu apa maksud pembicaraan dua orang beda latar belakang itu. Apakah Tan Malaka akan maju sebagai ketua organisasi kemasyarakatan Nahdatul Ulama? Saya kira, Tan harus tahu diri soal itu, jika terjadi, dosanya makin tak terampuni di gembong Musso.
Kedatangan Tan Malaka ingin curhat saja dengan sang kiyai mengenai beragam kemungkinan yang bisa dilakukan mengawal kemerdekaan. Tan Malaka memang dikenal akrab dengan kalangan ulama. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Tan selain menyelinap di malam-malam tertentu. Di luar sana, ribuan mata mengintai gerak-geriknya.
Aktivisme Tan Malaka tentu saja berbeda dengan tindak tanduk di grup Para Penggerutu sok aktivis itu. Lalu apa dong, relevansinya kisah Tan Malaka di sini. Sesungguhnya, tidak ada sama sekali. Sama tidak ada hubungannya dengan kisah monyet gila dalam novel O, juga pendapat Ali Syariati di awal catatan ini. Semuanya dipaksakan saja biar kesannya intelek. Itu saja, tidak lebih.
Saya saja mudah terhasut. Curhat teman aktvis perempuan paling disegani di Pangkep itu mulanya dimaksudkan sebagai informasi kalau ada juga temannya kena tipu dari mantan temannya punya teman oleh mantan aktivis. Eh, oleh kawan dianggapnya sebagai poin penting untuk dikabarkan. Berengseknya, tumpukan curhatan itu diarahkan di hidung saya. Dia pikir menulis itu gampang. Saking dianggap gampangnya, ada juga kawan seenak perut ingin membuat website untuk diisi hal yang sangat spesifik. Bayangkanlah, di website itu nantinya hanya akan dibahas biji kopi. Tidak ada yang lain. All about coffe.
Sekali lagi, enggak gampang jadi manusia. Enggak gampang jalani hidup sebagai aktivis. Ditipu itu masih enteng, coy! Tan Malaka itu dibunuh, loh! Ali Syariati juga dihabisi sebelum hasil aktivismenya mewujud di Iran tahun 1979. Revolusi yang menggulingkan Syah Pahlevi. Eka Kurniawan, semasa kuliah juga berjalan di rel aktivis sebelum dikenal sebagai penulis. Dan, aktivis di grup Para Penggerutu?????? Ah, sudahlah! Yuk, mulai menggunjing teman saja. Anggap saja itu bagian dari revolusi. Bukankah revolusi bermula dari penggunjingan juga?
Impian gilanya itu membawa O, nama monyet betina itu ke dalam ragam peristiwa pelik kehidupan binatang dan manusia yang, pada akhirnya ia tewas sebagai monyet, bukan selaku manusia, sebab ia gagal mencapaianya. “Enggak gampang jadi manusia,” ujarnya.
Ali Syariati, pemikir asal Iran, menegaskan kalau manusia itu sudah ada sebagai wujud (human being) tetapi belum tentu mengada seutuhnya manusia (human becoming). Karena masih dalam tataran berwujud manusia, seperti punya mata, telinga, dan anggota tubuh yang lainnya.
Memang enggak gampang jadi manusia. Sama halnya dengan curhat kawan di grup WhatsApp yang diisi sejumlah aktivis pembaharu di Pangkep. Katanya, sih begitu. Disebut aktivis pilihan. Meski separuh warga Pangkep telah mengklaim dirinya aktivis, tetapi jika belum layak masuk di grup WA yang dihuni aktivis pembaharu itu maka tidak dianggap. Aktivis juga punya kelas, loh!
Harus diakui memang, aktivis di grup WA bernama Para Penggerutu itu adalah mereka yang menempuh jalan terjal. Tidak tahulah kalau besok-besok jika sudah dapat proyek tryliunan atau telah mengenakan seragam hijau kelabu.
Tetapi, jangan salah! Menjadi aktivis atau bisa dilabeli sebagai aktvis itu juga tidak mudah. Kata salah satu aktivis di grup Para Penggerutu, menyebutkan kalau menjadi ustaz malah lebih mudah. Jadi, enggak gampang jadi aktivis. Seorang aktivis yang lain menuturkan, kalau ia rela menunda kuliah hukumnya selama tujuh tahun agar layak disebut aktivis.
Gembong aktivis di grup Para Penggerutu selain doyan menggerutu juga paling sering curhat. Salah satu anggotanya sampai sekarang masih berstatus terlapor di Polres Pangkep akibat curhatnya di Facebook telah meruntuhkan keangkuhan tembok Puskesmas di kampungnya. Curhat aktivis memang lebih berbahaya daripada bom. Camkan itu!
Ada lagi satu, lulusan dari universitas di Yogyakarta, saking seriusnya menapaki jalan aktivisme. Ia jatuh bangun membangun rumah singgah bagi kaum aktivis. Ia ingin aktivis di Pangkep menjadikan rumah itu sebagai tempat mangkal membicarakan apa saja. Semuanya tersedia, koleksi buku, ruang rapat, fasilitas internet, aneka makanan dan minuman, utamanya kopi. Ya, rumah singgah itu memang lebih pas disebut warkop ketimbang indekos.
Tegasnya, di grup Para Penggerutu, dihuni aktivis jempolan. Jika tidak ada isu seksi, maka penggunjingan bisa dimulai dengan membincang anggota grup yang penuh kesadaran memilih keluar karena tak kuasa mengikuti ritme obrolan yang berlangsung hingga subuh. Mengapa sampai subuh, ini juga masih misteri. Namun, desas desus yang diedarkan oleh mantan anggota grup mengakui kalau beberapa anggota grup biasanya baru pulas jika sudah mendengar azan subuh.
Kemarin, ada anggota grup yang curhat lagi mengenai evolusi keaktivisiannya. Dimulai ketika ikut-ikutan dalam orhanisasi berlabel agama hingga berlabel palu gerobak. Ia menguak luka masa lalu ketika dirinya ditipu. Sialnya, yang menipunya itu bukan penjual obat yang sering ia kunjungi di pasar. Melainkan karibnya sendiri. Seseorang yang sudah dianggap sebagai teman sejati, guru, hingga sebagai orang tua di dunia per-aktivis-an di Pangkep.
Curhatnya ini selain mengaduk emosi anggota grup, sampe ada yang marah dan akan menuntut penipu yang menyebut dirinya aktivis itu. Ada yang tak bisa berkata apa-apa dan sebatas mengirim gambar motion sedih. Sisanya, entahlah, kali saja sedang menunaikan salat asar. Juga yang penting, isi curhatnya menambah daftar panjang musuh kaum aktivis. Selain dipenjara, dibunuh, dikucilkan, aktivis juga harus siap ditipu.
Di dunia aktivis rupanya ada yang seperti itu, ya? Mungkin saja temannya teman yang mau menipu itu memulainya dengan curhat juga. Masa iya diungkapkan dalam rapat resmi orhanisasi. Karena teman yang menjadi korban itu merupakan aktivis berhati malaikat, maka dipenuhilah permintaan temannya itu. Dalam benaknya tak terbayangkan bakal ditikam dari belakang. Bukankah mereka satu orhanisasi. Senasib sepenanggungan. Satu tujuan satu komando. Tangan terkepal maju ke muka dengan pekikan: rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.
Enggak gampang memang menjadi aktivis. Pada Pilkada lalu, separuh warga Pangkep yang aktivis itu bermain dalam konstalasi politik mendukung kandidat berbeda. Hasilnya setelah pemenang ditetapkan, lahir prasangka kalau si A atau si B telah ditandai oleh rombongan aktivis yang kandidatnya menang arisan. Untunglah cuma ditandai di medsos saja dan bukan ditandai di KTP macam tapol Orba dulu.
Di buku biografi KH Wahid Hasyim terbitan Tempo, ayahanda Gusdur, dinukilkan Tan Malaka di malam buta mengunjungi rumah sang kiyai. Gusdur yang masih kecil saat itu memberikan kesaksian kalau bapaknya sering kedatangan tamu bernama Ibrahim.
Ibrahim tak lain adalah Tan Malaka. Lalu apa maksud pembicaraan dua orang beda latar belakang itu. Apakah Tan Malaka akan maju sebagai ketua organisasi kemasyarakatan Nahdatul Ulama? Saya kira, Tan harus tahu diri soal itu, jika terjadi, dosanya makin tak terampuni di gembong Musso.
Kedatangan Tan Malaka ingin curhat saja dengan sang kiyai mengenai beragam kemungkinan yang bisa dilakukan mengawal kemerdekaan. Tan Malaka memang dikenal akrab dengan kalangan ulama. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Tan selain menyelinap di malam-malam tertentu. Di luar sana, ribuan mata mengintai gerak-geriknya.
Aktivisme Tan Malaka tentu saja berbeda dengan tindak tanduk di grup Para Penggerutu sok aktivis itu. Lalu apa dong, relevansinya kisah Tan Malaka di sini. Sesungguhnya, tidak ada sama sekali. Sama tidak ada hubungannya dengan kisah monyet gila dalam novel O, juga pendapat Ali Syariati di awal catatan ini. Semuanya dipaksakan saja biar kesannya intelek. Itu saja, tidak lebih.
Saya saja mudah terhasut. Curhat teman aktvis perempuan paling disegani di Pangkep itu mulanya dimaksudkan sebagai informasi kalau ada juga temannya kena tipu dari mantan temannya punya teman oleh mantan aktivis. Eh, oleh kawan dianggapnya sebagai poin penting untuk dikabarkan. Berengseknya, tumpukan curhatan itu diarahkan di hidung saya. Dia pikir menulis itu gampang. Saking dianggap gampangnya, ada juga kawan seenak perut ingin membuat website untuk diisi hal yang sangat spesifik. Bayangkanlah, di website itu nantinya hanya akan dibahas biji kopi. Tidak ada yang lain. All about coffe.
Sekali lagi, enggak gampang jadi manusia. Enggak gampang jalani hidup sebagai aktivis. Ditipu itu masih enteng, coy! Tan Malaka itu dibunuh, loh! Ali Syariati juga dihabisi sebelum hasil aktivismenya mewujud di Iran tahun 1979. Revolusi yang menggulingkan Syah Pahlevi. Eka Kurniawan, semasa kuliah juga berjalan di rel aktivis sebelum dikenal sebagai penulis. Dan, aktivis di grup Para Penggerutu?????? Ah, sudahlah! Yuk, mulai menggunjing teman saja. Anggap saja itu bagian dari revolusi. Bukankah revolusi bermula dari penggunjingan juga?
_
Dimuat di saraung.com edisi 30 Agustus 2016
Komentar