Cerita Kesaksian

Dok. Kamar Bawah

Pada dasarnya catatan memanglah endapan kesaksian. Di dalamnya terangkum beragam pengalaman yang disusun secara sistematis, sporadis, atau malah acak saja. Semuanya bukan masalah. Intinya mencatat kesaksian merupakan upaya memberikan nyawa untuk hidup.

Surat Cinta untuk Bidadari Kecilku di Surga, buku kumpulan cerita Etta Adil yang merangkum kesaksiannya ini menawarkan sudut pandang literer. “Ada banyak cerita yang telah saya tuliskan di blog atau sosial blog. Cerita-cerita tersebut terkategori sebagai cerita pendek, cerita mini, catatan harian…” Tulis Etta di catatan pengantar.

Kategorisasi penulisan yang dimaksudkan merupakan kunci untuk memberikan jarak kepada pembaca agar menjadi dasar menelusuri muatan kesaksian. Terdapat 21 cerita yang bisa dipilih sesuka hati untuk mengenal ruang yang pernah dilalui Etta dalam perjalanan hidupnya.

Buku ini sekaligus memberikan kesan yang lain dari sosok Etta, yang merupakan nama pena yang digunakan M Farid W Makkulau. Kita ketahui sebelumnya, penulis yang memulai karier kepenulisannya dari wartawan ini, adalah penulis buku bertema sejarah dan kebudayaan. Meski di beberapa kesempatan, Etta sering mengungkapkan kalau menulis fiksi sudah lama pula dilakoni.

Memilih medium fiksi atau non fiksi tentulah pilihan yang dapat digunakan mengawetkan kesaksian. Dan, di buku ini, batas antara fiksi dan non fiksi itu sangatlah tipis. Sejauh ini memang elemen penulisan fiksi sudah tidak kaku lagi. Martin Aleyda, cerpenis yang dulu tergabung di kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) malah sudah lama menggabungkan kedua elemen metode penulisan tersebut. Itulah yang kini dikenal dengan istilah sastra kesaksian.

Kita bisa lihat dalam Surat Kecil untuk Bidadari Kecilku di Surga:

Sayangku…
Ayah tak tahu harus memulai bercerita apa di surat ini. Ketika engkau memutuskan untuk pergi meninggalkan ayah, di pikiran ayah, “Engkau mengkhianatiku, Nak!” (Hal. 53).

Paragraf awal cerita ini menampilkan melankoli tragis hubungan ayah dan anak. Teknik bercerita yang membocorkan rahasia. Tentu saja kita tidak tahu peristiwa apa yang melatari sehingga Si Anak memutuskan pergi yang dianggap tindakan pengkhianatan oleh Si Ayah.

Teknik memulai cerita seperti inilah yang sering digunakan sejumlah novelis masyhur. Di antaranya jika harus menyebut nama, ialah Gabriel Garcia Marquez, novelis asal Kolombia peraih Nobel Sastra tahun 1982 melalui karyanya, Seratus Tahun Kesunyian.

Membaca lanjut cerita barulah diketahui luka orangtua atas nasib bayinya. Penantian panjang mendamba anak perempuan seketika pupus karena ajal keburu datang. Si Ayah menganggap kematian anaknya tidak biasa dan bukan murni takdir. Ada kelalaian suster dalam menangani bayi, suster berbohong mengenai kondisi bayi yang sesungguhnya cacat karena tidak memiliki lubang anus.

Jadi selama tiga hari di ruang inkubator, bayi belum mengeluarkan dubur awalnya, dalam bahasa Bugis disebut tai pello. Perut bayi menjadi kembung yang mengakibatkan tangis tak henti. Orangtuanya baru mengetahui cacat pada bayi setelah ia periksa sendiri.

Rekonstruksi Realitas

Produk sastra sebagai konstruksi atas realitas menjadi alasan kalau sastra genre realisme dapat menjadi referensi faktual dalam kehidupan manusia. Setiap manusia memiliki potensi mengulang apa yang dialami orangtua di atas dalam menerima pelayanan di sebuah rumah sakit.

Sama halnya dengan rantau yang pernah dilakukan ke suatu daerah. “Di pertengahan tahun 1997, saya menginjakkan kaki dan menetap selama tiga bulan di Sorong, Provinsi Irian Jaya (sekarang lebih popular disebut Papua)…” (Hal. 25). Sebagai pemuda penuh gejolak hidup, merantau menjadi salah satu pilihan memenuhi jalan pencarian jati diri.

Jejak demikian sudah menjadi pengalaman komunal pemuda semua daerah di Sulawesi Selatan. Malah tidak lengkap fase kehidupan orang Bugis dan Makassar jika belum pernah melakukan perjalanan rantau. “Lokkako ria sompe sappai atuongemmu” Petuah Bugis yang menjadi sabda untuk melakukan perantauan mencari jejak hidup yang lebih baik di tanah orang.

Cerita berjudul Kenangan Kota Sorong dan Ingatan Terhadap Aji Saleh mengantar kita pada pergulatan manusia rantau yang menjadikan tanah tujuan layaknya tanah kelahiran sendiri. Di tingkat paling tinggi. Para perantau sudah enggan pulang ke kampung halamannya dan memilih menetap hingga ajal menjemput.

Bertaruh hidup di negeri orang, kadang jika diperlukan harus menjadi to barani, bahasa Bugis yang berarti pemberani. Sikap ini dijalankan oleh Aji Saleh, perantau asal Segeri, Pangkep yang menjadi orang paling disegani dalam lalu lintas ekonomi di pasar sentral Sorong.

Ia bukan pedagang, tetapi bertindak jasa keamanan pasar didukung puluhan anak buah. Tegasnya, Aji Saleh, pekerja non formal dalam memberikan jaminan keamaman demi lancarnya perputaran ekonomi. “Jaringan anak buah Bos Saleh menguasai transaksi ikan di pelelangan, pengiriman hasil ladang dan kebun dari pedalaman, keluar masuknya barang di pelabuhan…” (Hal. 31).

Keseseluruhan kesaksian memiliki tapak waktunya masing-masing dalam jejak waktu yang ditapaki penulisnya. Mulai masih pemuda hingga menjadi seorang ayah. Setiap cerita tidak hanya mengandung pesan moral nilai kehidupan yang dapat dijadikan cermin kehidupan, tetapi juga jejak sejarah sebagaimana tertuang di cerita Succes With Book. Tahulah kita kalau pernah ada toko buku Harmonis, bisa disebut sebagai toko buku pertama di Pangkep yang dikelolah Drs Bundu Makkulau Dg Pabeta, orangtua Etta Adil.
 _

Dimuat di saraung.com edisi 5 Juli 2016




Komentar

Postingan Populer