Buku Sepakbola yang Urung Terbit di Usia Keempat Dika Lentera

Sampul buku kumpulan esai sepakbola yang belum terbit

Setelah angka satu dan dua, adalah tiga, kemudian empat. Angka empat bagi saya pernah menjadi suatu penanda. Semacam ada fase yang telah terlewati untuk kemudian termenung tentang hal yang baru saja menjadi fondasi.

Jika demikian, bukan lagi pernah menjadi penanda, melainkan titik pijak. Pada angka empat saya mulai menggemari sosok pemain sepakbola. Kira-kira, ketika saya kelas enam sekolah dasar atau, kelas dua sekolah menengah atas. Persisnya saya lupa, tetapi tak jauh dari fase itu.

Angka empat menjadi nomor punggung yang dikenakan Demetrio Albertini, pemain Italia yang membela AC Milan dan sempat memperkuat FC Barcelona. Siapa Albertini, saya tidak tahu. Di kisaran tahun itu, di fase sekolah dasar beranjak SMP, menyaksikan tayangan sepakbola di televisi belum menjadi rutinitas karena memang tayangan demikian amatlah jarang.

Seorang pesepakbola di kampung yang memiliki tumpukan Tabloid Bola bekas di rumahnya menjadi pengantar. Di beberapa kesempatan ketika ia berbincang sesama pesepakbola di rumahnya, ia terang menyebut Albertini sebagai pemain yang hebat. Mungkin itu menjadi pemain idolanya.

Di sejumlah edisi Tabloid Bola, foto Albertini saya temukan mengenakan seragam AC Milan. Tentu saja tertera angka empat di punggung dan di celana bagian depan sebelah kanan. Perkara selanjutnya, saya tahu kalau Albertini tidaklah sering mencetak gol. Lalu mengapa ia diidolakan.
_

Sekali dua kali ketika Seri A Italia disiarkan di layar kaca, jika sempat, saya ikut menyaksikan laga AC Milan dan fokus menikmati cara bermain Albertini. Biasa-biasa saja, saya kira, tidak ada yang istimewa. Ia berdiri di depan bek, belakangan kuketahui kalau posisi itu dinamakan gelandang bertahan.

Namun, angka empat telanjur menjadi istimewa. Ketika bermain bola bersama teman-teman, kaos oblong yang kukenakan pernah digambari angka empat oleh seseorang yang pandai menulis huruf balok. Saya memang menginginkan demikan. Teman-teman yang lain menggunakan nomor yang disukainya.

Belakang hari, saya memiliki patokan kalau empat menjadi spesial. Angka terakhir tahun kelahiran saya juga empat. Meski ini sedikit merupakan usaha menghubungkan hal-hal yang sifatnya ketepatan belaka. Angan saya waktu kecil, jika kelak, saya menjadi pesepakbola dan bermain di tim tarkam, saya akan memilih nomor empat.

Nwanko Kanu, pemain asal Kamerun, berposisi penyerang, ketika bermain di Arsenal, ia malah memakai nomor punggung empat. Hal itu jelas menggeser pandangan saya mengenai penggunaan nomor punggung di tim sepakbola. Tebakan saya, Kanu tak bisa menggunakan nomor sembilan atau sepuluh karena ada pemain yang lebih dulu memakai nomor itu. Namun, di timnas, Kanu juga memakai nomor yang sama. Artinya, itu memang pilihan.
_

Dika Lentera, nama yang kugunakan di seragam tim Camp Ijo & Friends. Tm futsal yang sebagian besar aggotanya merupakan alumnus dan mahasiswa STAI DDI Pangkep. Di tim itu, jelas, saya memilih angka empat. Tim ini sesungguhnya bukanlah tim profesional, juga tak bisa disebut tim amatir, hanya berupa kumpulan untuk bermain futsal di akhir pekan saja. Ajang saling berjumpa dan bergembira. Pada satu kesepakatan, kami ingin membuat seragam. Seperti itulah rencananya.

Saya bangga saja menggunakan nomor punggung itu. Impian masa kecil yang baru bisa mewujud setelah memastikan kalau saya tak pernah memperkuat tim tarkam di kampung sebagaimana teman-teman seangkatan.

Dika Lentera yang kini berusia empat tahun. Dari fase tiga tahun menuju ke empat, tentu banyak sekali proses yang dilalui. Ia tumbuh dan bertindak seiring apa yang dijumpai di lingkungan di mana ia melewatinya.

Ia menabung kenangan di rumah nenek dari pihak emaknya. Situasi seperti itu memang sudah berlangsung sejak lama, saya menghitungnya selama tiga tahun dua bulan. Sepuluh bulan sisanya dihabiskan di dua tempat indekos, delapan bulan di Maros dan dua bulan di Makassar.

Itulah mengapa, Dika begitu lekat dengan neneknya. Ia bisa terjaga di malam hari karena menyadari neneknya tidak tidur di dekatnya. Ia merengek dan pindah ke samping neneknya lalu lelap hingga pagi.

Hal lain yang membuatnya terjaga jika merasa haus atau gerah. Nah, hal ini kadang menyulut amarah emaknya dan, terkadang menyeret saya. Kejadiannya jika Dika menolak dibuatkan susu atau dikipasi oleh emaknya. Maunya sama nenek.

Di suatu malam, karena neneknya kebanyakan terjaga sehingga staminanya menurun. Ia mengalami pening yang tak dapat ditahan. Pilihannya, ia perlu dirawat inap di rumah sakit. Hal demikian memang tidak sering, tetapi kejadian itu menyadarkan hal tentang cara berkomunikasi dengan anak. Dika, akan bertindak demikian jika emaknya atau saya memarahinya. Ia mengingatnya dan ogah tidur bersama kami. Pelarian paling dekat, ia akan mencari kehangatan di pelukan neneknya.

“Anak belajar dari kehidupannya,” Dorothy L Nolte, mengingatkan demikian. Orangtua kadang lupa dan sering mengulang petuah klise. Situasi zaman yang berubah mengantar anak menyesuaikan diri dan menyerap standar aktualisasi diri. Sumber terdekat yang memalingkan dunia anak dari realitas yang dijumpainya ialah, tayangan di layar kaca. Salah satu pilihan yang paling banyak ditempuh.

Dika dan kakeknya akan berebut kuasa di depan kotak bergambar guna merebut ruang dalam menentukan tontonan. Serial kartun Upin dan Ipin serta serial kartun yang lain adalah penegas eksistensi bagi Dika. Selebihnya, siaran pertandingan sepakbola, tinju, sinetron, kuis, reality show milik orang dewasa. Tantangannnya, serial kartun memakan waktu begitu banyak.

“Pagi, bola. Siang, bola. Malam, bola. Apami itu. Bola terus. Bosan saya,” Gerutu Dika jika kalah dalam perebutan ruang.

Selanjutnya, kadang ia menangis dan mencari alternatif aktualisasi yang lain. Pilihannya ada pada hape atau laptop. Hape dalam genggamannya, layanan You Tube memaku kedua matanya. Ia bebas berpindah tontonan yang disukainya. Di laptop, ia menyadari kalau video yang saya unduh di You Tube terbatas dan membuatnya lekas jenuh. Semua video telah disaksikan.

Waktu luang menjadi pertaruhan. Situasi yang saya hadapi kadang begitu. Tantangan yang dihadapi berubah dalam membangun biduk rumah tangga. Setelah anak lahir dan bertumbuh dengan segala kompleksitas yang melingkupi. Waktu bermain bersama anak terpangkas.

Hal yang dihadapi Dika dan dunianya juga terbatas. Tidak banyak anak seusianya berkeliaran yang bisa diajak bermain. Kalau pun ada, waktu bermainnya amatlah terbatas. Di sepanjang hari-hari mencapai usia keempat. Kehadiran saya sangat sedikit. Melakoni pekerjaan di Makassar dan Dika bernaung di bawah atap rumah neneknya di Pangkep menjadi rentangan ruang yang tidak dapat kulipat sesering saya menyulut rokok.

Ia mulai mengutarakan pendapat. Berbalik jika tidak sependapat. Diam bila tidak sesuai inginnya. Pendapat umum yang sering didengar, ada anak yang bertindak melampaui usianya. Dari mana ia mempelajarinya dan menetapkan kesimpulan untuk kepentingannya.

Tanta Mantan, seorang tetangga yang membuka warung kecil di rumahnya, memberikan pengakuan kalau Dika pernah datang membeli cemilan berbahan cokelat yang digemarinya dengan membawa uang kertas mainan.

Ketika Tanta Mantan menampik mengenai uang yang dibawa tidak berlaku. Dika enteng menjawab kalau ia tidak diberi uang oleh emaknya. Kepolosan itu membuat Tanta Mantan luluh dan memberinya cemilan yang diinginkan.

Tidak behenti di situ, Dika tidak langsung pulang dan memilih tinggal menghabiskan cemilan yang baru saja digenggamnya. “Nalaranga mamaku makan beginian, nanti sakit lagi gigiku,” tuturnya.

Tanta Mantan kemudian menyampaikan hal itu kepada emaknya Dika.

Heran dan kaget. Itu perasaan emaknya waktu menyampaikan ke saya. Dan, saya, tentu saja tertawa.
_

“Puisi membuatmu mengerti tanpa kau pahami lebih dulu” kurang lebih begitu ujar penyair, TS Eliot. Serupa tingkah laku anak yang membuatmu mengingat tapak hidup yang pernah kau jalani. Ada hal yang melintas untuk segera dipahami.

Bukan semacam janji. Lebih pada bentuk untuk meninggalkan jejak saja. Sejumlah naskah perihal sepakbola sudah disiapkan agar terbit sebagai buku. Tentu, ada banyak hal yang membuatnya mandek. Tetap mendekam dan semua rencana gugur satu-satu.

Naskah itu pernah saya ajukan pada dua penerbit di Yogyakarta. Penerbit pertama tidak memberikan respons. Itu wajar, naskah itu memang sangat buruk. Penerbit kedua, karena memang membuka diri pada proses penerbitan mandiri, semua ada pada saya untuk memutuskan lanjut atau tidak. Pada akhirnya tetap batal karena situasi klise: minimnya pendanaan.

Mengembalikan pada rencana awal dengan menerbitkannya sendiri memakai penerbit yang telah dibentuk bisa menjadi jawaban. Seorang teman membantu mencarikan dana meski tetap tidak mencukupi. Ujung-ujungnya, naskah itu tetap mendekam sebagaimana dana dari usaha kawan itu.

Sampul yang dirancang seorang teman, hanya terpajang sebagai latar di hape dan di notebook. Hari-hari yang terus berganti membawa pada lupa. Rencana menerbitkan buku kumpulan esai sepakbola tidak lagi mendesak.

Sesekali di kala senggang, Dika saya ajak naik motor mengunjungi taman atau makan di warung bakso. Di satu kesempatan, kami melintas di area stadion Andi Mappe. Dari kejauhan, nampak dari pintu stadion yang terbuka, terlihat sejumlah anak-anak bermain sepakbola.

Hal yang jarang saya saksikan, ataukah, saya yang memang jarang berkunjung ke stadion. Begitu sepeda motor terparkir, Dika berlari menuju anak-anak itu. Ia hendak melibatkan diri dalam permainan. Di sisi garis permainan, berdiri lelaki, kira-kira, berusia 40 atau 45 tahun berkostum olahraga. Di mulutnya terdapat semprit berwarna merah. Ia sedang mengawasi anak didiknya bermain.

Dika memalingkan perhatian dari anak-anak itu begitu kusodori bola. Ia berlari menghampiri bola yang sedang menggelinding ke arahnya. Bola itu milik sekolah sepakbola yang sedang latihan. Pelatih yang melihat saya menendang bola miliknya hanya diam. Sebentar kemudian kami berbincang banyak dan menyudahi percakapan begitu Dika meminta pulang.

Dari kesempatan itu, tercipta beberapa potret. Satu pose Dika memeragakan satu adegan. Kaki kanannya menginjak bola dan kedua tangannya terpacak ke pinggang dengan tatapan ke kiri. Saya jepret dari belakang. Itu waktu Dika berusia tiga tahun lebih. Kelak, di kemudian hari, potret itu saya desain untuk kujadikan sampul buku menggantikan rancangan teman.

Membuat sampul sesuai selera gampang-gampang susah. Saya tidak begitu mahir menggunakan beragam program desain. Beberapa desain sampul yang kubuat atau, terkadang, membuat rancangan spanduk, saya hanya mengandalkan tempelan foto memakai CorrelDraw. Jika dilakukan secara manual, itu seperti membuat kolase.

Lalu, apakah buku itu usai setelah adanya sampul baru. Kasusnya sama saja. naskah itu tetap mendekam. Mestinya, sesuai rencana, buku itu harusnya kelar di usia keempatnya Dika.




Komentar

Postingan Populer