Beberapa Hal Salah Kaprah Mengenai Orang Pangkep

Dok. Pribadi
Pesan pendek yang dikirim seorang kawan telat saya baca. Sehari sebelumnya telah ia sampaikan kalau esok hari, ia akan singgah di rumah, rihat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Makassar.

Sejak kami akrab, ia selalu singgah di rumah bila ada keperluan ke Makassar. Dulu, di tahun 2002, kami pernah tinggal bersama di sekretariat lembaga kala masih menempuh studi di Makassar. Saat itu ia sudah semester lima di Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan saya masih kelas dua di SMK 1 UMI. Karena lokasi gedung sama, intensitas pertemuan tentu saja berlangsung hampir saban hari.

Di rentang tahun 2007 hingga 2009, ia kembali ke kampung halamannya di Kabupaten Soppeng. Gelar sarjana yang telah diraih memutus masa tinggalnya di Makassar. Kembali ke kampung menjadi pilihan realistis.

Bahasa Arab yang dikuasai bisa saja menjadi pengantar memasuki pondok pesantren. Namun, nampaknya, ia ogah meluangkan waktu sebagi guru. Romansa sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama kuliah teramat sayang ditinggalkan. Setiap kali ia ke Makassar, itu berarti ia memenuhi undangan juniornya mengisi satu materi dalam forum pengkaderan.

Sebelum kami akrab, ia sering singgah di sejumlah warung makan Sop Saudara di Pangkep. “Hampir semua warung Sop Saudara sudah saya singgahi. Rupanya, setiap warung menyajikan rasa sop berbeda dan harganya juga variatif,” ujarnya.

Sejak pertama kenalan, begitu saya bilang dari Pangkep, dimulutnya langsung terlontar dugaan kalau saya memiliki empang yang luas. “Oh, orang Pangkepki, banyak itu ikan boluta,” tuturnya dalam logat Makassar.

Maksudnya, tentu saja, saya ini dianggap memilki empang dengan stok ikan bolu (bandeng) melimpah. Terang saja saya jelaskan kalau orangtua tua saya bukanlah petambak dan saya tidak memiliki empang. Mendengar itu, ada gerut kekecawaan di dahinya.

Pernah juga di hari pertama sekolah di Makassar, teman sebangku menanyakan asal daerah. Ya, saya jawab, dong, saya ini dari Paris, maksudnya, Pangkep (w)iringsalo, akronim joke yang popular di kalangan pemuda di Pangkep, sebutan itu merujuk pada pinggir sungai (wiringsalo) sebelum tergantikan dengan istilah PIS (Pinggir Sungai).

“Oh, banyak jeruk, dong,” tanggapnya. Mendengar itu, serasa teman baru itu telah mengenal saya sudah tahunan.

Saya jelaskan lagi kalau saya tidak memiliki kebun jeruk. Di kampung saya, malah, jeruk tidak dapat tumbuh dengan baik. Lokasi perkebunan jeruk itu ada di Kecamatan Labakkang, Marang, dan Segeri. “Berarti kamu bukan asli Pangkep, kalau begitu,” tanggapnya kemudian. Ya, Tuhan, ini apa lagi. Baru kenal saja sudah menghakimi demikian kejamnya.

Selama sekolah di Makassar dan berkenalan dengan orang-orang dari daerah yang lain di Sulawesi Selatan, selalu saja muncul hal di luar dugaan. Misalnya lagi, saya pernah datang menginap di rumah teman, di meja makan kala santap malam berlangsung, bapaknya teman bertanya asal saya. Tentulah saya bilang dari Pangkep

“Oh, orang Pangkep, Nak,”

Iye, Pak, saya dari Pangkep,”

“Bapak kamu pasti kerja di Semen Tonasa,”

Ingin rasanya saya jawab: “Kok, bapak tahu,”

Ia lalu bilang: “Muka kamu kayak tembok,”

Bapak saya dikira pegawai di perusahaan semen terbesar di Indonesia Timur, rasanya itu seolah sedang mandi air pancuran. Berjarak sekitar tujuh kilometer dari rumah, memang bekas lokasi pabrik semen tonasa. Tetapi, tidak semua orang-orang yang tinggal di sekitar area pabrik bekerja di Tonasa. Termasuk bapak saya.

Tidak sampai di situ saja, mengenalkan diri sebagai orang Pangkep, kerap pula dikira berasal dari pulau dan untungnya, tidak sampai dianggap memiliki pulau pribadi. Jika itu sampai terjadi, maka suatu kesyukuran sekaligus derita.

Kembali ke teman saya yang berasal dari Soppeng. Setiap kali ia singgah di rumah, ia berharap bakal disajikan Sop Saudara. Mungkin, ia mengira kalau bahan Sop Saudara itu sudah tersedia di halaman rumah orang Pangkep. Dan, semua orang Pangkep pandai memasak Sop Saudara.

Sebenarnya bukan masalah, sebagai orang Pangkep, ada kebanggaan tersendiri. Sebab, rupanya, orang di luar sana mengenal sumber daya alam di Pangkep melimpah. Juga, kuliner Sop Saudara yang melegenda.

Setiap tahun, sejak 2010, Pemda Pangkep menggelar hajatan festival Sop Saudara. Hanya saja, sekali lagi, jangan dianggap kalau sajian Sop Saudara itu dimasak langsung oleh bupati Pangkep. Itu jelas salah kaprah.
_

Dimuat di saraung.com edisi 6 Januari 2017



Komentar

Postingan Populer