Mereka Pulang ke Rumah dan Saya Menengok Hal Lampau



Apa yang akan dilakukan jika, pada situasi ketika Anda melihat satu persatu orang-orang di sekitar meja makan Anda di sebuah restoran menyudahi santapnya lalu bergegas pulang ke rumahnya.

Tetapi, dari mana diketahui kalau mereka pulang ke rumahnya. Baik, intinya mereka keluar dari restoran dan menuju ke tempat yang menjadi tujuan selanjutnya. Lalu, masalahnya apa, jika harus menyaksikan hal demikian. Bukankah itu suatu kewajaran.

Atau begini saja, di tempat Anda bekerja. Di akhir sore, ketika jam pulang sudah waktunya dan, Anda melihat satu orang, kemudian dua, lalu tiga, dan semua rekan kerja melirik ke Anda yang masih duduk di balik meja memandang nanar layar komputer untuk mengucap permisi untuk pulang.

Bukankah seharunya Anda juga mengemasi barang dan menuju mesin absen kemudian juga pulang. Mestinya seperti itu.

Di beberapa periode saya selalu bertindak di luar dari rencana seperti yang seharunya dilakukan. Tempat saya bekerja selalu menjadi rumah itu sendiri. Rumah yang saya datangi di Senin pagi dan baru saya tinggalkan di akhir pekan. Sabtu menjadi hari yang selalu saya tunggu.

Saya hanya meninggalkan meja kerja menjelang rekan kerja sudah merancang tempat tujuan selepas bekerja. Apakah mereka akan pulang ke rumahnya atau ke bioskop atau, memenuhi janji di sebuah kafe di jantung kota. Saya pura-pura saja berjalan keluar supaya dianggap pulang. Padahal tidak demikian, saya selalu kembali sehabis magrib.

Komputer saya aktifkan kembali dan memulai hal-hal yang perlu saya lakukan. Membaca, kadang menjadi pilihan meski tidak saya nikmati. Mengerjakan proyek penulisan biografi tawaran keluarga bisa menjadi pilihan untuk dilanjutkan. Namun, rasa jenuh dengan semua itu lebih cepat datang sebelum semuanya saya mulai.

Pilihan realistis membuka layanan menonton film daring. Ini menjadi surga yang dapat membantu saya melewati sebagian malam. Ada banyak sekali film yang menjadi pilihan. Kanal You Tube juga membantu. Saya bebas berpindah tayangan dari sepakbola, basket, musik, dan tontonan yang mendesak untuk dilihat.

Saban malam situasi macam ini terus berulang. Serasa berada di laboratorium melakukan eksperiman untuk menemukan hal-hal baru. Padahal, sesungguhnya, saya berjalan pulang ke hal-hal yang dulu ingin sekali saya lakukan.

Di kampung, ketika masih pemuda berusia 23 tahun, saya senang mengurung diri di kamar mendengarkan musik dari tape recorder. Koleksi kaset lumayan banyak. Saya bisa memutar lagu yang saya gemari sebagai latar membaca menyudahi malam. Tidak ada yang melarang. Sebab esok adalah waktu yang panjang. Waktu yang tak ingin saya jalani.

Sekarang saya melakoninya setahap demi setahap dan semua tergantung saya. Ada banyak aplikasi untuk mendengarkan musik. Semuanya dengan mudah. Sisa mengingat kaset koleksi kemudian mencari lagu dan mendengarnya kembali. Jika ada yang berbeda, itu pada media dan waktunya saja.

Dari kesempatan itu, saya memeroleh ruang yang lebih. Misalnya, saja, album Unplugged Nirvana bisa saya saksikan videonya. Begitu juga dengan Iwan Falls, Greenday, Metallica, juga Josh Groban. Malah, Edane, lagunya dapat saya ulangi sampai telinga pekak.

Penemuan terbaru: saya berjumpa dengan Seringai, Kelompok Penerbang Roket, Dialog Dini Hari, Morfem, dan banyak lagi menunggu persetejuan guna sesering mungkin didengarkan. Karena pilihannya memang banyak, saya jadi menyenangi semua jenis musik.
_

Saya tidak bisa pulang ke rumah selepas kerja sesering rekan kerja melakukannya. Pulang pergi dari Pangkep ke Makassar bukanlah jarak yang pendek. Sesekali saya upayakan pulang dua kali dalam sepekan. Usaha itu merupakan jawaban atas situasi yang kompleks.

Di fase tertentu saya menikmatinya. Saya menyebutnya saja menengok hal lampau. 

Mengapa demikian, karena itulah kesibukan membunuh sepi memperpendek jarak. Istri dan kedua anak saya tak bisa dijumpai setiap hari.

Di Sabtu siang usai jam kerja, endapan rindu segera digerogoti dengan kesibukan yang lain. Perjalanan pulang juga membutuhkan waktu rehat memulihkan stamina. Jika sempat, Dika akan ikut saya ke lapangan futsal bermain sejenak sebelum meminta diantar pulang. Malamnya, Syla, anak perempuan saya yang kupanggil Diza, baru akan kugendong sebelum lelap.

Anasir Afrisal Malna yang disebutnya pagi yang miring ke kanan menunjukkan gejala aktivitas pekerja dengan rutinitas yang sama. Apakah ini paradoks, di titik tertentu, iya. Ada ruang yang ditinggalkan untuk beraktivitas di ruang lain sebagai ladang yang, hasilnya untuk ruang yang ditinggalkan.

Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 2012 silam.

_





Komentar

M. Rifan Fajrin mengatakan…
Selamat menjalani aktivitas, Mas. Semoga Mas dan keluarga sehat-sehat selalu. :)

Postingan Populer