Panduan Membaca Berita dalam Rimba Media
“…Apa
jadinya jika media penuh dengan berita menyesatkan, tidak menyampaikan
informasi yang sesungguhnya kepada masyarakat, mengabaikan hak publik
mendapatkan informasi, dan menyajikan hiburan yang tak sehat bagi masyarakat
ketimbang menyampaikan informasi yang mengandung pendidikan atau informasi
lainnya?...”
_
Ungkapan di atas merupakan sepotong paragraf awal
Ignatius Harianto yang menuliskan pengantar di buku Suara Pers, Suara Siapa? garapan Wisnu Prasteya Utomo, terbitan
Pindai tahun 2016.
Ketika SMA, Wisnu terkesima melihat cara media
bekerja. Ia melihat dampak dari liputan yang dilakukan kakaknya yang bekerja di
salah stasiun televisi nasional. Diceritakan oleh Wisnu dalam pengantarnya,
bila bupati di daerah bersangkutan dalam liputan kakaknya itu marah, karena
merasa kecolongan ada warganya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan air susu
kemasan untuk anaknya sehingga memberinya air tajin. Tak berselang lama,
bupati, melalui dinas terkait menyalurkan bantuan tunai pada warga bersangkutan.
Fungsi media mengabarkan kesaksian sudah bekerja dan
dikonsumsi publik kemudian menjadi ruang kontrol. Namun, apakah dengan marahnya
bupati dan diberinya santunan pada warga tersebut menyelesaikan masalah
kemiskinan.
Pada posisi itulah kadang terjadi salah kaprah mengenai
peran media. Kejadian yang diceritakan Wisnu hanyalah contoh kecil betapa
pengetahuan dasar tentang media dianggap layaknya pemadam kebakaran yang
menyelesaikan satu titik masalah.
Selain debat klasik perihal objektivitas dan
subyektivitas jurnalisme bekerja, liputan kasuistik yang dianggap menyelesaikan
suatu fenomena sesungguhnya satu bagian pembingkaian (framing).
Di halaman 115, Wisnu mengutip Robert Entman dalam
Framing: Toward Clarification of a
Fractured Paradigm yang membagi empat pembingkaian: (1) Memetakan masalah
berdasarkan pertimbangan umum (definiting
problem). (2) Mendiagnosis akar
masalah dengan mengidentifikasi kekuatan yang terlibat (diagnosing causes). (3) Memberi
penilaian moral terhadap masalah (making
moral judgement). (4) Menawarkan solusi dengan menunjukkan apa yang
seharusnya ada (suggesting remedies).
Slogan media yang seringkali kita terima, hampir semua mengatakan demi
kepentingan publik dengan liputan yang akurat, mendalam, dan berimbang. Benarkah
demikian? Bagaimana melihat hegemoni ekonomi politik dari konglomerasi media
yang menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan ambisi sendiri.
Dapatkan hal itu diasumsikan sebagai ruang kebebasan pers?
“…kebebasan
pers bukan sekadar persoalan kebebesan media melakukan peliputan dan menyiarkan
sebuah berita. Kebebasan pers juga merupakan kondisi yang menjamin publik
memiliki hak untuk mendapatkan informasi maupun pengetahuan yang dibutuhkan,
serta menyatakan gagasan-gagasannya…” tulis Wisnu pada
naskah Mempertanyakan Peran Pemantau
Media (Hal. 80).
Kita tahu bersama, teknologi informasi mengubah perilaku
mengakses informasi. Beberapa liputan dan penelitian yang tersaji menunjukkan
gejala semakin berkurangnya akses terhadap media cetak.
Pada posisi itu media daring mengambil ruang yang
begitu besar. Ada banyak sekali media berbasis internet bermunculan dan
berdesakan di timeline sosial media kita.
Dari akses itulah peluang terjadinya plagiasi, saduran, hingga berita palsu (Hoax) berbaur.
Bagi mereka yang mampu melakukan pembacaan kritis
maka dapat melakukan fungsi kontrol dalam dirinya. Tetapi bagaimana dengan
warganet yang sebatas tergugah dengan isu tertentu yang mencabik rasa
kemanusiaan.
Di grup WhatsApp yang saya ikuti, ada dua teman
saling berdebat soal krisis kemanusiaan di Myanmar terkait etnis Rohingya.
Keduanya kukuh menggunakan referensi media daring yang dianggapnya dapat dipercaya.
Padahal, bukankah setiap media memiliki bentuk
pembingkaian dan angel tertentu pada
isu yang sama. juga, tak dapat dinafikan,
media mengandung kecenderungan nilai kepercayaan dan pilihan politik.
Wisnu memakai pendekatan penelitian yang dilakukan Brendan
Nyhan dan Jason Reifler pada tahun 2012 dalam Misinformation and Fact-checking: Research Findings Froms Social
Science (Hal. 121). Manusia cenderung melakukan penolakan sebagai tindak
mempertahankan kebenaran yang diyakini jika dihadapkan pada dua informasi yang
bertentangan.
Sesungguhnya, sikap demikian bagian dari hegemoni
institusi kolektif, sehingga yang bekerja pada nalar manusia adalah noise, bentuk hambatan dari komunikator
(penyampai pesan) ke komunikan (penerima pesan). Wisnu menegaskan kalau itulah
alasan mengapa “bisnis kebencian” dari situs tertentu laku di masyarakat.
_
Meski 27 naskah yang dibagi ke dalam tiga tema (Politik, Agama, dan Komodifikasi Layar Kaca),
(Ekonomi Politik Media), dan (Media dan Etika Jurnalisme) dalam buku
ini semuanya sudah pernah di muat di sejumlah media daring (termasuk di blog
pribadi penulis) dan cetak sebagai bentuk respons Wisnu atas persoalan yang
mengemuka.
Tetap saja beberapa ulasan rasa-rasanya masihlah
relevan dengan situasi klise yang dirasakan. Komodifikasi agama sebagai isu
politik, masifnya kerja media menyuarakan isu tertentu di atas kepentingan
konglomerasi, dan konsumsi ujaran kebencian.
Pindai sendiri selaku penerbit adalah salah satu
media daring berisi liputan yang ditunjang penulis beragam profesi. Beberapa
naskah di buku ini juga sudah tayang di Pindai dimana Wisnu fokus pada ulasan media.
Salah satunya, naskah yang dijadikan judul buku,
diposting pada 7 Januari 2015. Dan, yang mendapat perhatian luas di sosial
media: Membredel Pers dari Masa ke Masa
(22 Juni 2015). Mengulas kembali kiprah kelompok politik dalam membatasi media
yang dianggap membahayakan.
Wisnu membantu kita melakukan pemetaan di era
membanjirnya informasi saat ini. Bahwa media ternama sekalipun tak bisa
bersembunyi di balik adagium cover both
sides yang dijadikan mantera menyajikan berita yang objektif.
Ia mengambil contoh pada kasus Sitok Srengenge, ada
beberpa media menurunkan liputan dengan pembingkaian berbeda. Dalam pembacaan
Wisnu menujukkan bila Tempo mencoba menempatkan kasus itu bukanlah pelecehan
seksual melainkan didasari saling suka. Sedangkan Kompas dan Jawa Pos dengan
seri liputan serupa menujukkan fakta sebaliknya.
_
Sayang sekali, buku ini sepertinya sulit ditemukan
lagi. Di beberapa toko buku online juga sudah tidak tersedia. Pindai sendiri
selaku penerbit dan media daring nampaknya stagnan. Konten terakhir yang
diposting tertanggal 8 November 2016 (http://pindai.org/2016/11/08/maha-pembentuk-rupa/).
Padahal, konten yang ditawarkan di laman pindai.org
amatlah bergizi.
Minimnya buku tentang kajian media ketika media
cetak menuju senjakala dan menjamurnya media digital, Wisnu menawarkan peta
ringkas yan dapat dijadikan kompas menyusuri rimba media.
Jadi, kabar yang kita kunyah dari satu media
bukanlah sesuatu yang perlu diyakini. Karena bisa jadi, itu hanyalah cerita
hasil konstruksi wacana.
_
Pangkep-Makassar, 13 September 2017
Komentar