Komedi Satir Manusia dan Binatang


Membaca sepuluh halaman pertama O, saya mengira Si O merupakan monyet jantan. Menjelang bab pertama usai, rupanya, Si O itu betina. Barulah kembali menyadari kalau Eka Kurniawan selalu menempatkan betina (perempuan) dalam situasi penuh penderitaan.

Seperti tiga novel sebelumnya. Eka memulai O dengan adegan. Teknik bercerita yang baru akan diketahui muasalnya di bab selanjutnya. Paragraf pembuka adalah kunci.

Seekor monyet mengacungkan revolver ke arah polisi. Kelak, Entang Kosasih, monyet bengal itu membunuh Joni Simbolong, polisi yang bertugas di daerah pinggiran, Rawah Kalong.

Jalinan kisah timbul tenggelam. Semua tokoh memiliki ruang mengenalkan siapa dirinya. Tak terkecuali kaleng ikan sarden yang dijadikan Betalumur sebagai alat menampung receh pengunjung yang merasa perlu berderma usai menonton pagelaran topeng monyetnya yang diperagakan O.

Muasal kelumit kisah hanya milik O dan Betalumur. Monyet ingin menjadi manusia dan manusia hendak belajar menjadi binatang. Semuanya didorong peristiwa lampau tokohnya yang, dipahami pembuktian cinta.

O, atas petunjuk Manikmaya, tikus betina yang pandai membaca tanda-tanda, menyarankannya ke pasar. Di sana ia bisa memulai pelacakan jejak Entang Kosasih, kekasihnya, yang diyakini begitu saja telah berhasil menjadi manusia sebagaimana monyet-monyet tua mendongengkan riwayat Armo Gundul, monyet paling pemberani di zamannya yang diceritakan berubah menjadi manusia. Berbekal dongeng itulah Entang Kosasih menaruh minat. Jalannya tentu ada dan itu tidaklah gampang.

Kisah mengalir seiring latar politik membeking. Berpusat di Jakarta dengan realitasnya di era Orde Baru sedang kuat-kuatnya. Adanya sisa pemukiman di pinggiran jalan tol yang menjadi kontras dengan kawasan pemukiman mewah di sudut lain. Merupakan gambaran luka pembangunan yang digalakkan rezim politik Orde Baru.

Sobar mewakili aparatus negara yang hidup tanpa beban di kekuasaan Orde Baru. Sedangkan Dara refresentasi warga tak berdaya. Di petak kehidupan yang lain, Betalumur, pawang topeng monyet bertaruh kerasnya hidup di ibu kota. Ia tidak sendiri. Ada pasangan pemulung, Mat Angin dan Ma Kungkung. Mereka tinggal di lokasi yang sama. Gedung tua terbengkalai.

Konflik manusia kelas bawah sebagai korban hegemoni negara dialami Ma Kungkung ketika mencoba peruntungan nasib di Jakarta. Ia mengalami pemerkosaan oleh preman terminal. Setelahya. Ia tidak mengadu ke kantor polisi sebagai ruang melaporkan tindak kejahatan. Bisa jadi ia tidak tahu jalan ke sana. Ia bertahan sendiri melawan rasa lapar dan malu dalam dirinya. Sebagai seorang istri. Tentulah perasaan demikian berkecamuk.

Ia menggelandang saja hingga melihat seseorang memungut barang bekas. Dari sanalah belajar bertindak sama. Setelah modal cukup. Ia berani pulang ke kampungnya dan menceritakan naas pada suaminya, Mat Angin. Sang suami menerimanya dan keduanya lalu kembali ke kota mengampuh hidup sebagai pemulung. Desa bukan lagi surga. Hidup di kota lebih baik walau hanya memulung.
Keterkaitan konflik antar tokoh manusia dihubungkan dengan binatang. Joni Simbolon bersama karibnya sesama polisi, Sobar, karena perintah dari atasan dipinta bertugas di Rawah Kalong. Tugasnya mengawasi gerak-gerik Toni Bagong, preman kelas teri yang menjalankan bisnis peredaran narkoba.

Rumitnya, Sobar menaruh benih janin di perut Dara, perempuan yang membenci polisi sejak bapaknya dibunuh di desa akibat perebutan lahan antara warga dengan negara. Mereka bertemu di sela lempar batu bila mahasiswa berdemonstrasi melawan aparat. Toni dan Dara kadang tampil di sana. Selanjutnya, mereka berdua terlibat hubungan yang juga rumit. Apakah Toni mencintainya layaknya kekasih ataukah menempatkan Dara tak lebih sebagai objek kekerasan. Dan, Sobar geram karenanya. Dendamnya melebihi tugasnya sebagai polisi terhadap preman tengik itu.

Entang Kosasih berhasil mencuri revolver Sobar yang tidak disadarinya usai menyelamatkan bocah bernama Uyung yang hampir mati dimangsa Bobo, ular sanca yang juga tinggal di Rawah Kalong. Entang Kosasih belajar kilat melihat Toni Simbolong menggunakan benda itu.

Ada bos komplotan preman tewas dikoyak anjing piaraannya sendiri bernama Wulandari. Pasalnya, Jarwo Edan, sang bos, kerap memanggang anak Wulandari sebagai santapan. Wulandari berhasil kabur terpisah dengan anaknya yang masih sempat hidup, Kirik. Anak buah Jarwo Edan, Rudi Gudel, berjanji akan mencari Wulandari dan anaknya untuk balas dendam.

Perwakilan masyarakat kelas menengah, Rini Juwita, menemukan Kirik serupa mayat anjing berjalan. Dialah yang membawa Kirik ke dokter hewan. Sebelumnya, Kirik sering datang menjumpai O dan menghasutnya agar membebaskan diri dari Betalumur. Tetapi O enggan. Satu-satunya jalan agar bisa menjadi manusia, ialah belajar gerak-gerik manusia. Dan, proses itu hanya didapatkan dengan menjadi topeng monyet.

Dari kelompok pemuka agama, Syekh Asyhadie, mengamalkan sisi syariatnya saja dan melepas misi agama dengan realitas sosial. semakin dibuat takjub ketika seekor burung kakatua bernama Siti diam-diam mengikuti pengajiannya dan pandai mengulang apa yang telah diucapkannya: “Dirikan salat”. Menurutnya, itu adalah wujud kekuasaan Allah. Ma Kungkung lalu sadar akan pentingnya medirikan perintah salat dari Siti yang hinggap di gedung tua.

Tidak semua tokoh yang ada terhubung langsung dengan konflik manusia dan binatang. Utamanya yang berpangkal dari O dengan Betalumur. Kehadiran tokoh-tokoh itu semacam jedah tetapi menghadirkan konflik tak kalah peliknya. Kocak dan mendebarkan. Kisah Kiai Sobirin menawarkan sisi lain. Ihwal cinta sufistik Kiai buta dengan perempuan gila.

Eka menampikan pergulatan tanpa henti ihwal saling memangsa sesama mahkluk hidup. Binatang membunuh manusia dan manusia menghabisi binatang. Dalam perjalanannya, O ditipu oleh manusia yang memberinya makanan. O mengira kalau manusia itu baik. Nyatanya, ia dijebak dan dijual ke pengepul monyet. Dari sanalah ia berpindah tangan ke manusia yang lain. Hingga Betalumur mendapatkannya.

Ini semacam jalan melupakan masalah. Baik binatang dan manusia dalam cerita Eka kali ini. Mereka melepaskan kuasa akal kepada hal-hal magis. Ada sesuatu yang menakutkan dalam diri manusia yang dikendalikan nafsu kebinatangan ingin membunuh. Rini Juwita, membiarkan Leo, anjing besar, memangsa suaminya sendiri.

Betalumur yang dianggap Rude Gudel punya niat menyembunyikan Kirik. Karena Rini Juwita pernah terlibat pembicaraan dengannya. Mampus dihajar. Tidak ada yang menolongnya. Semuanya diam. Termasuk polisi yang kebetulan ada di lokasi ketika Betalumur sudah tidak berdaya diseret anak buah Rudi Gudel. Sebaliknya, O, meski sering disiksa Betalumur menampilkan sisi kemanusiaannya ketika pawangnya dipukuli. Ia meronta melawan. Apa daya, ia tak punya kuasa.

“Enggak gampang hidup jadi manusia. Lebih enggak gampang hidup jadi babi.” Ucap Nya Banjarwati, sosok tua yang memungut Betalumur yang sudah sekarat. Betalumur kemudian teringat masa lalunya dari perempuan yang membuatnya jatuh cinta. Bahwa belajarlah dari binatang. Begitulah sehingga ia dimantrai menjadi babi oleh Nyai Banjarwati. Sialnya, itulah jalan kematian tragis Betalumur. Ia diuber warga karena dianggap babi ngepet.

Jasad monyet Entang Kosasih memang tidak diketemukan walau O melihat dengan jelas kekasihnya tumbang dikenai pelor. Ia percaya saja sebab jasad Armo Gundul juga tidak dijumpai di dalam hutan. Melainkan yang muncul sosok manusia gagah. Toni Bagong di sudut lain menjelma buaya dan memangsa sopir taksi yang dibajaknya usai menembak dua ikan besar di sungai. Kedua ikan itu jelmaan Sobar dan Dara.

Manusia dan binatang adalah mahkluk hidup yang punya beban tentang masa lalunya. Karena dibekali otak, maka sangat memungkinkan terjadi. Jebakan ingatan menjadi ramuan. Berpadu komedi sekaligus satire. Eka meminjam dongeng dan fabel dan menolak jalan struktralis dalam menggunakannya. Di bawah hegemoni kekuasaan fasis, masyarakat tidak memiliki kuasa pilihan bertindak. Memakai pemetaan Pauol Freire, terjebak ke dalam pola kesadaran magis sebagai suluh bertindak.

Ketika O diajak Mimi Jamilah, waria yang merawatnya setelah Betalumur tidak kembali usai dihajar Rudi Gudel bersama anak buahnya, O gugup dan rikuh di hadapan Kaisar Dangdut, Entang Kosasih, tak dapat dibayangkan andai ia dikenali dan masih dalam wujud monyet. Namun, Si Kaisar Dangdut menganggap perjumpaan itu sebuah lelucon. Ia memang mendamba perempuan masa lalunya, tetapi bukan monyet. Rosalina, perempuan yang membuka jalan karier menyanyinya. Sayang, perempuan itu juga tewas di tangan preman yang pernah dia taklukkan kala membela Entang Kosasih sedang dipalak.

Pada akhirnya endapan ingatan memulangkan tokohnya ke realitas hidup yang harus ditapaki sewajarnya. Di sudut kesadaran O, ia menyadari kalau Kaisar Dangdut bukanlah Entang Kosasih, monyet bengal, kekasihnya. Juga, mustahil bisa mengubah wujudnya menjadi manusia. Impian binatang menjadi manusia hanyalah komedi dan harapan manusia berubah binatang tak lebiih, usaha mengokohkan satire kehidupan yang konyol.

Pernah dimuat di rubrik pustaka saraung.com

Komentar

Postingan Populer