Hujan yang Turun Malam Itu Telah Melindunginya, Jenderal!


Di tahun 1984, Wiji Thukul sudah merilis dua buku kumpulan puisi: Puisi Pelo dan Darman dan Lain-lain. Taman Budaya Surakarta menerbitkan keduanya. Sepuluh tahun berselang, penerbit Belanda, Manus Amici menerbitkan Mencari Tanah Lapang di tahun 1994. Dua tahun setelah ia dihilangkan, Indonesia Tera merilis Aku Ingin Jadi Peluru di tahun 2000.

Di tahun 2013, Majalah Tempo menurunkan liputan khusus mengenai Wiji Thukul, melengkapi reportase itu, disisipkan kumpulan puisi tipis 37 halaman bertajuk Para Jenderal Marah-marah-Kumpulan puisi Wiji Thukul dalam pelarian. Dibagi ke dalam tiga bagian: Puisi Lepas, Puisi Jawa, dan Puisi Lepas.

Puisi di bagian pertama pernah dimuat di jurnal Dignitas Volume VIII Nomor 1 Tahun 2012. Stanley Adi Prasetyo, pernah menjabat wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendapat manuskripnya dari tangan Wiji Thukul menjelang pelariannya. Stanley menulis artikel di jurnal terbitan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat itu mengupas puisi pemberian Thukul.

Bagian kedua berisi puisi berbahasa Jawa, juga diterbitkan Taman Budaya Surakarta tahun 1987 sebagai antologi bersama Keliek Eswe dan Sugiarto B. Kritikus menilai kalau di tahun itu merupakan proses mencari bentuk. Namun, di dekade ini pula, puisi-puisi Wiji Tukul sudah berisi protes. Bunga dan Tembok ditulis di tahun 1987.

Di bagian tiga, dilabeli Puisi Lepas yang didapatkan tim Tempo atas bantuan Jaap Erkelens, karib Wiji Thukul yang pernah menjabat Direktur Koninklijk Instituut voor Taal-Land en Volkenkunde di tahun 1990. Pada manuskrip itu terdapat puisi khusus dipersembahkan buat W.F Wertheim, sosiolog asal Belanda. Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?, demikian judulnya.

Beberapa puisi yang lain bersumber dari pembacaan puisi yang dilakukan Wiji Thukul pada 8 Mei 1995 di Teater Arena Taman Budaya Surakarta yang kemudian digandakan Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) lembaga kesenian Partai Rakyat Demokratik (PRD) dimana Wiji Thukul berkhidmat.

Mari kita simak puisi berikut:

Para Jenderal Marah-marah

Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku yang menonton. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jenderal menyeret-nyeret namaku. Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya. Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata ke luar dari mulutnya: “Namamu di televisi…” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jenderal itu sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.

Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.

Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. Seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil. Istriku sudah mandi pula. ketika berpapasan denganku kembali kalimat itu meluncur.

“Namamu di televisi….” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana kekejaman kemanusiaan itu dari pada aku.
_

Siti Dyah Sujirah yang akrab disapa Sipon, istri Wiji Thukul, mulai merasakan kekhawatiran yang akan menimpa suaminya. Jelas kalau sang suami masuk dalam daftar buruan aparat. Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga kerusuhan 1998 yang berujung tumbangnya presiden Soeharto, sejumlah aktivis masuk daftar buruan termasuk Wiji Thukul. Hingga April 1998, sejumlah sejawat masih sempat melihat Wiji Thukul, barulah di tahun 2000, Sipon melapor ke Kontras perihal menghilangnya ayah kedua anaknya.

Sebagaimana diketahui, hingga Wani dan Fajar, putri dan putra si penyair tumbuh dewasa, Wiji Thukul belum kembali. Di liputan khusus Tempo mengulas jejak pelarian Wiji Thukul hingga ke Kalimantan. Oleh jaringan kerabatnya, ia dititipkan ke sejumlah orang agar tetap aman dari intaian petugas.

Mengacu pada puisi Di Ruang Ini yang Bernafas Cuma Aku, ia tak dapat berkeliaran, mendekam di suatu kamar seorang diri: di ruang ini yang bernafas cuma aku cecak dan serangga. Larik pertama puisi itu. Manuskrip puisi ini tidaklah berjudul, tim Tempo menjadikan larik pertamanya sebagai judul untuk memudahkan pembaca dan tata letak di dalam buku. Terdapat 18 puisi tanpa judul, di bagian pertama terangkum 17 dan satunya lagi ditempatkan di bagian ketiga.

Pada hari-hari yang mencekam itu, Wiji Thukul kehilangan akses menghubungi istri dan anaknya. Ia hanya bercakap dengan dirinya sendiri melalui puisi. Sedikit pelepas lelah didapat ketika truk bak terbuka membawanya pergi.

Aku Diburu Pemerintahku Sendiri

aku diburu pemerintahku sendiri
layaknya aku ini
penderita penyakit berbahaya
aku sekarang buron
tapi jadi buron pemerintah yang
lalim
bukanlah cacat
pun seandainya aku dijebloskan
ke dalam penjaranya
aku sekarang terlentang
di belakang bak truk
yang melaju kencang
berbantal tas
dan punggung tangan
kuhisap dalam-dalam
segarnya udara malam
langit amat jernih
oleh jutaan bintang
sungguh
baru malam ini
begitu merdeka paru-paruku
malam sangat jernih
sejernih pikiranku
walau penguasa hendak
mengeruhkan
tapi siapa mampu mengusik
ketenangan bintang-bintang?

Pelarian Wiji Thukul tanpa peta. Ia tak tahu hendak kemana. Pilihannya harus pergi sejauh yang dapat dijangkau. Mungkin saja, pilihan kabur untuk menyelematkan keluarganya supaya risiko melawan penguasa cukup dia yang merasakan.

Wani, tentulah masih bocah belasan tahun kala itu. Ia menulis pesan yang, mungkin pula, pesan itu baru dibaca Wani di belakang hari.

Wani, Bapakmu Harus Pergi

Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari polisi
jawab saja:
“karena bapakku orang berani”
kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri
masuk rumah kita

Dalam pelariannya, Wiji Thukul tetap mengolok-olok penguasa yang lalim. Puisi Kekuasaan yang Sewenang-wenang, Ayo Kita Tebakan, dan Apa Penguasa Kira adalah keberanian suara di era kekuasaan otoriter. Ia menegaskan kalau suara tak bisa dibungkam dengan bedil sekalipun.

sesungguhnya suara itu tak bisa
diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan
nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku.

Larik pertama Sajak Suara di atas menjadi peneguh jalan duri yang dipilih. Menjadi kelanjutan di sajak berjudul Penyair. Saya tuliskan potongan larik keduanya:

…..jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan
pemberontakan
dan tetes darah.

Dan, di larik terakhir puisi bertajuk Sajak, ia menuliskan:

aku ingin menuliskan sajakku
dan mengucapkan kembali
kata-kata kita
yang hilang dicuri di depan
matamu
_

Ia telah beristirahat, jenderal. Hujan yang turun di malam itu telah melindunginya. Sebagai penutup, mari simak potongan sajak berikut ini:

Hujan Malam Ini Turun

hujan malam ini turun
untuk melindungiku
intel-intel yang bergaji kecil
pasti jengkel dengan yang
memerintahmu
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
agar aku bisa istirahat
agar tenagaku pulih
setelah berhari-hari lelah
agar aku tetap segar
dan menang…..

Kini, 19 tahun pasca lengsernya Soeharto, pemimpin Orba dan jenderal yang dilawan Wiji Thukul. Jika patok itu dibaca sebagai tahun menghilangnya penyair pelo ini, maka, sudah 19 tahun pula ia tak kembali. Ia, boleh jadi telah beristirahat di suatu tempat dan tak ada lagi kata-kata baru yang diteriakkan. Tetapi, kata-kata yang telah ditulisnya tidak akan pernah beristirahat, jenderal!

_

*Pernah dimuat di rubrik pustaka saraung.com

Komentar

Postingan Populer