Hikayat Merah Putih di Pagar Halaman



Bendera kita masih merah putih


Ingatan sedari kecil ketika Pak Desa tampil di depan jemaat salat Jumat di Masjid, mengumumkan tentang perlunya memasang bendera seminggu sebelum dan sesudah 17 Agustus tak lekang oleh waktu.

Usai mendengar pengunguman itu, di sore hari, warga sudah mulai bekerja memperbaiki pagar dan mengecat dengan kombinasi dua warna: merah dan putih. Dan, tentu saja, tak lupa memasang tiang bambu dengan bendera berkibar di ujung.

Di era itu, sekitar pertengahan tahun 90 an, bentuk pagar dan cat semuanya harus seragam. Namun, sekuat-kuatnya doktrin penyeragaman, tetap saja nampak perbedaan. Utamanya mengenai ukuran bendera yang dikibarkan. Ada yang berukuran besar, sedang, dan kecil. Juga kualitas warna di masing-masing bedera.

Hal demikian menjadi perbincanga tersendiri. Warga yang ukuran benderanya besar dan warnanya masih kinclong serasa punya kuasa mencibir warga yang ukuran benderanya kecil dan warnanya kusam. Meski tidak terucap, itu merupakan sentimen rasa nasionalisme. Bahwa warga yang di depan rumahnya berkibar bendera besar adalah perwujudan penghormatan paling tinggi atas peringatan kemerdekaan. Sedang yang benderanya kusam kadang dilabeli tidak menghargai jasa pahlawan.
_

Kini, mengingat peristiwa memperingati kemerdekaan di masa lampau mengantar pada sunggingan senyum. Dulu, serasa ada yang perlu diwaspadai. Setiap menjelang kemerdekaan, kita memerlukan musuh di luar diri kita untuk dilawan. Untunglah di masa itu tidak ada kejadian warga berkelahi hanya karena saling mengejek ukuran bendera.

Namun, disadari atau tidak, stigma tentang ukuran bendera yang dipasang di pagar halaman merupakan bagian kerja sistem konstruksi politik di bawah naungan Orde Baru. Meminjam istilah Antonio Gramsci, hegemoni bekerja di pola pikir masyarakat dalam melanggengkan kuasa yang sedang bekerja.

Mitos bendera merah putih yang melambangkan keberanian dan kesucian di balik warna merah dan putih tidak boleh kusam. Di satu sisi, bendera ini menjadi persoalan pelik. Meski hanya sekali setahun dikibarkan di halaman rumah, urusannya bisa runyam pada pemilik rumah jika babinsa lewat dan menemukan kejanggalan. 

Serasa kena tilang polisi di jalan, setelah SIM dan STNK diperlihatkan, petugas akan memeriksa kondisi sepeda motor yang digunakan. Mulai dari kaca spion hingga plat nomor. Begitulah. Babinsa akan menanyakan kusamnya kain bendera, pendeknya tiang bambu yang digunakan, atau mengapa ukuran bendera begitu kecil.

“…kusutnya kain bendera di halaman rumah kita//Bukan suatu alasan untuk kita tinggalkan…” potongan lirik tembang Sumbang Iwan Falls menyitir perlakuan demikian. Walau teror yang dialami warga biasanya berakhir sebagai humor saja tetapi tetap membuat bulu kuduk berdiri. Satu yang diingat, pada satu fase tentang perayaan kemerdakaan meninggalkan stigma.
_

Waktu bergerak. Orba Baru tumbang, Pak Desa yang dulu mengumumkan perlunya memasang bendera di halaman rumah sudah wafat. Babinsa yang menyempatkan berkeliling desa tidak lagi singgah mengencangkan ikat pinggang seraya memelototi penghuni rumah.

Agustusan belum berubah. Selain lomba-lomba, memasang bendera di halaman rumah tetap dilakukan. Kali ini warga berinisiatif sendiri tanpa digerakkan imbauan kepala desa. Jika ada warga yang tidak memasang bendera atau lupa, misalnya, sudah bukan masalah. 

Bendera memang lebih dari sehelai kain. Padanya terbentang ruang yang mengandung jejak. Kibarannya bukan sekadar digoyangkan angin. Ada gelombang perjuangan supaya bisa tegak. Imajinasi itu sudah tertanam di masing-masing batok kepala masyarakat Indonesia.

Pola kesadaran masyarakat yang hidup di kampung menafsirkannya bukan lagi sebagai perintah. Perlahan bergeser menjadi penghormatan yang sebenar-benarnya patuh. Bahwa, tanpa dipintah pun, bendera yang dikibarkan di halaman rumah tidak lagi perayaan temporal atas desakan.

Di fase lain, merah putih di halaman rumah tidak sendiri. Di sisi kanan dan kiri terpasang bendera yang lain dengan varian warna beragam atau tetap merah putih dengan ukuran menjuntai ke bawah. Tidak ada lagi pakem ukuran bendera harus persegi panjang. Maka semakin ramailah pagar halaman. Hal itu menyiratkan perayaan kemerdekaan lebih beragam dan bahagia.

Bila ada rumah tangga tidak memasang lebih dari satu tiang bendera tidak lagi digunjingkan sebagai laku tidak nasionalis. Stigma perayaan kemerdekaan dalam sehelai bendera di halaman rumah perlahan tergusur. Malah, ada warga yang terus-menerus memasang bendera merah putih. Ia punya pledoi dalam selirik lagu wajib nasional: …siapa berani menurungkan engkau//serentak rakyatmu membela//sang merah putih yang perwira//berkibarlah selama-lamanya.
_

Denyut kehidupan di kampung dalam mengingat kemerdekaan dapat ditafsirkan ke dalam pengibaran bendera di halam rumah. Perubahan interaksi terjadi seiring situasi zaman. Terbangun swadaya pemasangan bendera, umbul-umbul, atau segala pernik yang dirasa perlu untuk dipasang.

Kira-kira, di awal tahun 2000 an, di kampung saya, Desa Kabba, Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan setiap menjelang Agustusan, warga bergotong royong membangun gapura di depan lorong kampung. Semua bahan baku didapatkan dari swadaya yang bisa diberikan. 

Meski tindakan itu bagian dari instruksi pemerintah kabupaten, paling tidak, nampak kebersamaan warga bekerja sama yang juga bagian dari menjaga keharmonisan sosial dan menghilangkan mental mencipta musuh di luar diri hanya pada sehelai bendera di pagar halaman.

Perisitiwa komunal demikian juga bagian dari fase yang pernah dilewati bersama. Dalam perjalanannya di kemudian hari berhenti karena beragam hal. Satu yang pasti, pengibaran bendera di pagar halaman masih berlangsung. 

Tanpa dikatakan, itu tindakan kesadaran warga di kampung merawat api kemerdekaan. Kini, pada HUT RI 72, bendera di pagar halaman warga berkibar bagai gelombang.
_



Komentar

Postingan Populer