Sengkarut Kuasa dalam Sepakbola




Sumber Foto di sini

Dianulirnya gol Wiljam Pluim ke gawang Persija dalam lanjutan Liga 1 Gojek Traveloka pada hari lalu kembali mengingatkan betapa sepakbola bukanlah permainan yang bebas nilai dalam traktat aturan yang telah tersepekati.

Gol yang seharusnya mengubah kedudukan untuk kemenangan PSM Makassar itu memantik amarah fans PSM. Tetapi, wasit bergeming, nafasnya meniup semprit di mulutnya yang membuat Pluim meradang. 

Sungguh disayangkan, tentu saja, sebab pengelola liga memakai jasa wasit dari luar sebagai upaya meningkatkan kualitas pertandingan malah melahirkan caci maki. Kamaruddin Azis, salah satu suporter PSM yang menyaksikan langsung di stadion menulis di Kompasiana yang diposting pada 16 Agustus dan telah dilihat (view) sebanyak tiga ribu lebih netizen.

“Wasit, Saya Mau Mengumpat, Boleh?” begitu judul tulisannya. “Begini. Kemarin sore (15/8), dua pemain Persija di hadapan Pluim tak satupun mengangkat tangan (insting lumrah kalau memang ada hands ball), Ketika Wiljam Pluim menahan bola umpan heading Hamka Hamzah…” Ia memulai.

Gerakan Pulim menerima umpan benar-benar bersih. Dan, seharusnya memang gol itu sah. Jika harus membandingkan gol Maradona di perempat final Piala Dunia 1986 kala Argentina mengencingi Inggris menjadi dua peristiwa yang kontras. Gol Maradona yang disebutnya gol tangan tuhan itu justru sah di mata wasit.

Bertahun-tahun kemudian teknologi garis gawang mulai diterapkan di sejumlah pertandingan di liga Eropa dan gelaran pertandingan internasional antar negara yang dimulai titiknya ketika gol gelandang Inggris, Lampard ke gawang Jerman di Piala Dunia 2006 juga dianulir wasit.

Kita tahu, gol Maradona dan Pluim tidaklah diputuskan berdasar teknologi garis gawang karena yang diperdebatkan bukanlah posisi bola di garis gawang. Kedua gol yang tercipta dari pemain beda generasi ini jelas menggoyangkan jala gawang. Pangkal masalahnya ada pada wasit.

Menilik insting lumrah pemain, khususnya seorang bek yang diungkapkan Azis dalam ulasannya menjadi tindakan yang dilakukan untuk memengaruhi keputusan wasit. Bek Inggris pada kasus proses gol Maradona insting lumrah itu dilakukan sedangkan situasi gol Pluim tidak terjadi. Beberapa kejadian insting lumrah itu kerap dilakukan pemain jika membaca situasi berbahaya yang sedang dihadapi meski itu tindakan pura-pura saja. Ada banyak contoh demikian yang seringkali dijumpai di sejumlah pertandingan.

Kontroversi

Pertentangan cara melihat kejadian pada ujungnya mewajarkan kontroversi. Bisa menjadi biasa jika pertandingan itu sebatas persahabtan dan menyulut amarah bila itu pertandingan dalam kompetisi.

Sepakbola menjadi etalase memamerkan kuasa. Peliknya karena keputusan di atas lapangan melahirkan keuntungan dan kerugian. Apakah keputusan wasit asal Iran di laga Persija kontra PSM menguntungkan Persija ataukah itu bentuk kepandiran pegambilan keputusan. Namun, yang jelas, kerugian bagi PSM yang tengah berusaha menjaga asa memuncaki klasemen.

Profesi wasit selaku hakim di lapangan sesungguhnya sebuah paradoks tersendiri atas kuasa yang sedang dijalankan. Liputan Franklin Foer tentang sengkarut kuasa di dalam sepakbola Italia yang dibukukan dalam Memahami Dunia Lewat Sepakbola (Marjin Kiri: 2017) sedikit membeberkan hal demikian.

Il Processo, program televesi di Italia yang fokus mengupas sepak terjang wasit dalam setiap pertadingan di Seri A. Di balik pertandingan antar klub di Italia media mengambil peran tersendiri. Koran Corriere dello Sport yang berpihak pada dua klub ibu kota, AS Roma SS Lazio pernah setiap hari menurunkan liputan yang menyudutkan wasit. 

Hal itu dilakukan karena Juventus yang digenggam Agnelli dan AC Milan yang berada di balik jas Berlusconi disinyalir berada di balik penetapan wasit yang akan memimpin tiap laga. Dalam satu pertandingan antara Internationale Milan melawan Juventus, Ronaldo da Lima yang saat itu memperkuat Inter luput dari keputusan wasit untuk memberinya penalti meski sang penyerang asal Brasil itu jelas dilanggar pemain Juventus.

Calcipoli istilah yang dikonsumsi publik sepakbola dunia menyangkut hukum rimba di kompetisi sepakbola Italia. Scudeto Juventus pernah dicabut dan turun kasta ke Seri B setelah pada satu fase kerja mafia itu terkuak.

Praktik kuasa demikian lebih halus ketimbang istilah sepakbola gajah yang pernah diperagakan di kompetisi negeri ini beberapa tahun lalu. Proses lahirnya Liga Indonesia yang kini ditempeli dua nama sponsor utama adalah keputusan mutakhir dari apa yang menggerogoti induk sepakbola Indonesia.

Perlu diingat kalau di tengah perebutan kuasa sepakbola di Indonesia pernah terjadi dua kompetisi berebut pengaruh. Sengkarut kuasa seperti itu jelas merupakan praktik politik dalam sepakbola. Imbasnya, pemain yang berlaga di kompetisi Indonesia Primer League (IPL) tidak dibolehkan memperkuat tim nasional Indonesia.

Setelah semua berlalu, sepakbola tetap tak bisa lepas dari praktik kuasa dalam bentuknya yang beragam. Upaya menghadirkan kompetisi yang sehat menyisakan persoalan. Keputusan pengelola Liga 1 Gojek Traveloka menghadirkan wasit dari luar untuk menjawab kritik publik tentang inferior wasit lokal tercederai dalam laga Persija kontra PSM.

Menghadirkan kompetisi yang bermartabat memang tidaklah mudah. Ada banyak sekali tantangan yang dihadapi. Jika bukan ulah suporter yang brutal, perkelahian antar pemain pun bisa saja terjadi selain keputusan kontroversial dari wasit. 

Saya kira, memutus kinerja wasit lokal di sisa akhir kompetisi dan menggantinya secara keseluruhan dengan wasit dari luar bukanlah solusi yang bijak. Kita juga memiliki wasit yang kepemimpinannya dapat dibanggakan. 

Namun, hal itu akan berbeda jika sengkarut kuasa dalam sepakbola bertindak atas kuasa modal dan kepentingan pihak tertentu. Di balik upaya menyehatkan kompetisi tersembunyi agenda lain yang merugikan pemain, tim, dan pecinta sepakbola.
_

Pangkep, 20 Agustus 2017
Dimuat di Tribun Timur Edisi Kamis, 24 Agustus 2017




Komentar

Postingan Populer