Saat Anak Tidak Mengenal Lelah




Dika Lentera menyempatkan foto di atas scooter milik bikers yang sedang rihat di Taman Musafir


Beberapa status teman di Facebook yang memiliki anak kecil, seringkali menuliskan kalau tingkah anak mereka tidak mengenal waktu istirahat. Selalu ingin bermain. Fasenya bisa dimulai ketika anak memasuki usia enam bulan. Meski belum bisa berjalan, tetapi bayi selalu butuh teman bermain dan kedua matanya kadang terjaga hingga tengah malam. Dan, itu membutuhkan perhatian, jika tidak, si bayi akan menangis. Di situlah tantangannya, menemani bayi bermain sampai lelap.

Pada satu fase tertentu akan berlangsung demikian yang menjadi pengalaman komunal setiap orangtua. Semakin beranjak, tingkah anak akan berubah. Dari merangkak, berjalan, dan akhirnya berlari. Saat ini, tahap berlari itu sedang berlangsung. Anak lelaki saya, Dika Lentera, sedang gesitnya. Usia tiga tahun adalah kematangan kedua kakinya menendang bola dan mengayuh sepeda.

Mengutarakan keinginan juga sudah dipahami. Jika bosan bermain di rumah, ia akan merengek ke taman Musafir bermain papan luncur atau naik odong-odong di bambu runcing. “Bapak Adu, ayo main odom-odom di ambu uncing,” begitu caranya mengajak.
Perjalanan ke sana dari rumah melewati taman Musafir sehingga terlebih dahulu singgah bermain papan luncur. Di siang hari, arena permainan odong-odong memang belum nampak karena pemiliknya baru memasangnya di sore hari. Tetapi, Dika tidak akan percaya kalau tidak melihatnya langsung. Sesampai di bambu runcing: “tidak adapi odom-odom, malampi kapa” ucapnya.

Selanjutnya adalah perjalanan pulang yang selalu berakhir di warung bakso. “Bapak Adu, ayo mamma acco. Acco uwari,” pintanya kemudian. Maka singgalah kami di warung bakso Quary. Sesampai di rumah, sepeda mungil sudah menanti untuk dikayuh hingga magrib. Di selah waktu menuju isya, ia akan bermain atau tepatnya memantik orang dewasa di rumah untuk melarangnya. Televisi akan dimatikan ketika beberapa pasang mata fokus melihat adegan sinetron. Pada akhirnya, ingatannya kembali pada odong-odong. 

*
Dunia anak bukanlah dunia orang dewasa. Anak tidak mengenal larangan. Ia akan menangis sebagai perlawanan jika inginnya tidak dituruti. Namun, benarkah hal demikian. Apakah setiap anak di dunia pada usia itu akan bertingkah sama. Pengalaman sejumlah orangtua mengatakan tidak semuanya. Ada anak di usia dua hingga tiga tahun akan menuruti pinta orangtuanya dan fokus bermain pada satu jenis mainan. 

Relasi anak dan orangtua ada pada pola pengasuhan yang diberikan orangtua. Beberapa penelitian menunjukkan kalau anak sebenarnya tidak bosan bermain pada satu permainan tertentu, melainkan kejenuhan yang hadir adalah tidak ada kawan main.

Nah, di situlah tantangan selanjutnya, orang dewasa saat tertentu menerapkan sisi kedewasaannya ketika bermain dengan anak kecil. Bila mobil mainan ditabrakkan oleh anak ke tembok, seketika orang dewasa melarangnya. Sama halnya kalau anak mencoreti tembok dengan pensil warna atau bulpoin.

Di rumah, semua mainan yang pernah dibelikan sudah pada hancur. Beberapa sudut tembok juga penuh dengan coretan. Saya pernah membelikan crayon dan kertas gambar. Bila ditemani, ia akan telaten menggunakan crayon untuk mencoret sesukanya. Bila dibiarkan bermain sendiri, maka sasarannya adalah tembok. 

Bagi saya itu bukan masalah, tetapi lain cerita jika dilihat sama emaknya. Moralitas orang dewasa akan keluar dari mulutnya. Pada titik itu, telah terjadi sudut pandang melihat objek. Tembok dengan sapuan cat akan terlihat indah di mata sebagian orang dewasa. Bagi sebagian anak yang belum bisa memberikan penilaian, akan memandang lain. Fungsi crayon di tangannya untuk mencoret apa saja.

Pertentangan cara pandang ini bentuk sederhana atas objektifitas sebuah kebenaran. Jadi, musuh kebenaran bukanlah kejahatan melainkan adanya kebenaran yang lain. Pengakuan kebenaran yang lain itulah yang tidak bisa diterima di atas pengakuan jamak atas kebenaran.

Sejarah pengasuhan anak adalah riwayat pertentangan ide. Di titik tertentu bisa dikatakan demikian. Di sepanjang hari selama tiga tahun, pertentangan itu saya rasakan. Didasari pada endapan latar kultur dua keluarga besar. Pada ujungnya, orangtualah yang kadang merasa lelah dan anak tetap saja berlari menjumpai fase demi fase kesadarannya. 

Maughn Gregory dari Montclair State University yang berkedudukan di New Jersey, Amerika Serikat melalui program Philosophy for Children mengupayakan perlunya dialog terhadap anak. Ia mendasarkan asumsi programnya dari hasil penelitian kalau anak sudah memiliki intuisi filosofis, karena itulah anak kadang mengajukan pertanyaan berentetan yang membuat orang dewasa tersenyum atau lelah menjawab.

Ya, Tuhan, anak-anak tidak ada lelahnya.

*
Makassar, 1 Februari 2017

Bacaan terkait:





Komentar

Postingan Populer